Kalimantan Tengah dipilih Presiden Joko Widod menjadi salah satu kawasan lumbung pangan nasional. Namun, produksi padi dua tahun belakangan terus menurun seiring dengan hilangnya lahan pertanian.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Produksi padi di Kalimantan Tengah menurun dalam dua tahun terakhir. Berbagai faktor menjadi penyebab, seperti turunnya luas panen dan pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalteng, produksi padi tahun 2020 sebanyak 425,11 ribu ton gabah kering giling (GKG). Jumlah itu menurun sebanyak 18,45 ribu ton dibanding tahun 2019 yang mencapai 443,56 ribu ton GKG.
Jika dibandingkan tahun 2018, data BPS juga menunjukkan penurunan produksi padi sebanyak 71,21 ribu ton GKG. Tahun itu, provinsi dengan luas 1,3 kali Pulau Jawa itu mampu memproduksi 514,77 ribu ton GKG.
Kepala Bidang Statistik Produksi BPS Provinsi Kalteng Gatot Rusdyanto mengungkapkan, banyak faktor yang menyebabkan turunnya produksi padi di Kalteng seperti pandemi Covid-19 hingga turunnya luas lahan pertanian.
”Ada tiga wilayah dengan produksi padi paling rendah, yakni Palangkaraya, Kotawaringin Barat, dan Kabupaten Gunung Mas,” kata Gatot di sela-sela jumpa media pada Senin (2/11/2020). Di Kota Palangkaraya, misalnya, produksi padi paling rendah karena tidak semua warga mau bertani di masa pandemi Covid-19.
Selain pandemi Covid-19, turunnya luas lahan panen padi juga menjadi penyebab. Tahun 2020, lanjut Gatot, luas panen padi di Kalteng 144,21 ribu hektar atau menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 146,14 ribu hektar.
”Luas panen yang menurun, pastinya produksi atau hasilnya juga ikut menurun. Luas panen padi di Kalteng turunnya mencapai 1,32 persen dari tahun 2019. Jika dibanding tahun 2018 juga turun,” ujar Gatot.
Alih fungsi lahan
Penurunan luas panen padi di Kalteng dinilai sejumlah pihak merupakan dampak alih fungsi lahan dan konflik tata ruang. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, masih banyak petani dan peladang di Kalteng yang kebunnya masuk dalam kawasan hutan.
Berikan ruang kepada masyarakat untuk mengelola kebunnya secara arif. (Dimas Novian Hartono)
”Berikan ruang kepada masyarakat untuk mengelola kebunnya secara arif, masih banyak wilayah pertanian dan perladangan di Kalteng yang terbentur kawasan hutan, harusnya itu dikeluarkan sehingga banyak petani bisa mengelola lahannya mandiri tanpa rasa takut,” kata Dimas.
Alih fungsi lahan menjadi perkebunan juga menjadi faktor utama banyaknya petani tidak lagi berladang dan menanam padi. Dimas menambahkan, pihaknya mencatat, sejak 2005-2018 setidaknya terdapat 345 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tidak optimal.
Selain itu, ancaman larangan membakar lahan juga ikut menjadi faktor turunnya produksi padi. ”Petani dan peladang juga rawan kriminalisasi, mereka ketakutan karena ancaman penangkapan oleh pihak kepolisian karena dianggap menjadi penyebab kebakaran lahan karena aktivitas pertaniannya,” kata Dimas.
Lumbung pangan
Meski demikian, saat ini setidaknya 168.000 hektar lahan disiapkan pemerintah untuk pertanian padi dan komoditas lainnya. Lahan itu disiapkan setelah Kalteng ditetapkan sebagai salah satu daerah lumbung pangan nasional melalui program strategis nasional food estate oleh Presiden Joko Widodo.
Pelaksana Tugas Gubernur Kalteng Habib Said Ismail menyatakan pihaknya optimistis program itu akan menjadikan Kalteng lumbung pangan Indonesia. Ia percaya food estate bisa menyumbang produksi beras yang tinggi tidak hanya untuk Pulau Kalimantan, tetapi juga Indonesia.
”Niat Presiden adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup petani sehingga petani menjadi sejahtera dan makmur,” kata Habib dalam siaran pers melalui Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Kalteng, beberapa saat lalu.
Meski demikian, niat pemerintah untuk membangun lumbung pangan di Kalteng menuai banyak kritik. Salah satunya dari Forum Masyarakat Adat Heart of Borneo (HOB). Forum yang beranggotakan perwakilan masyarakat adat dari semua provinsi di Pulau Kalimantan, juga komunitas adat dari Sarawak dan Sabah di Malaysia itu menilai food estate dan segala macam kebijakan yang diterapkan pemerintah saat ini menyudutkan pertanian tradisional
Peneliti Institut Dayakologi Pontianak, Richardus Giring Malabo, mengatakan, pemerintah tidak pernah melibatkan masyarakat adat untuk mengambil keputusan atau memberi pertimbangan dalam pembuatan program. Padahal, program tersebut berkaitan erat dengan masyarakat adat.