Persoalan Lahan Masih Bayangi Petani dan Peladang di Kalteng
Pada Hari Pangan Sedunia, petani di Kalteng masih belum merdeka dari masalah lahan. Mulai dari persoalan lahan hingga konflik lahan membayangi petani. Pemerintah didesak untuk menghadirkan solusi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Petani dan peladang di Kalimantan Tengah masih berhadapan dengan beragam masalah, mulai dari terbentur kawasan hutan hingga konflik lahan. Salah satu solusi untuk petani dari pemerintah adalah megaproyek lumbung pangan nasional (food estate). Namun, proyek itu pun masih menuai banyak kritik.
Kepala Desa Kubung, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Edy Zacheus mengungkapkan, dari total 12.225 hektar luas desa, sekitar 80 persennya masuk dalam kawasan hutan lindung, mulai dari permukiman hingga ladang-ladang milik masyarakat.
”Kami mau memotong kayu saja sudah pasti bermasalah dengan hukum, apalagi di sini kan ladang berpindah, jadi takut juga. Tetapi, kalau tidak tanam mau makan apa masyarakat,” ujar Edy saat dihubungi dari Palangkaraya, Jumat (16/10/2020).
Hal serupa juga terjadi di Desa Ulu Jejabo, Kabupaten Lamandau, Kalteng. Kepala Desa Ulu Jejabo Malano menyebutkan, 100 persen wilayah administrasi desa masih masuk dalam kawasan hutan lindung. Ia juga bercerita, ada warganya yang pernah ditegur aparat penegak hukum lantaran membuka ladang di kebunnya sendiri.
”Jadi sembunyi-sembunyi berladangnya. Kami sudah berkali-kali menyampaikan kepada pemerintah kabupaten sampai provinsi untuk mengeluarkan kami dari kawasan hutan agar masyarakat, khususnya peladang dan petani ini, bisa bertani tanpa ada rasa takut,” kata Malano.
Persoalan tata ruang merupakan persoalan klasik di Kalteng. Hingga kini, rencana tata ruang dan wilayah provinsi (RTRWP) Kalteng masih menggunakan kebijakan lama yang bermasalah. Persoalan yang muncul dalam kebijakan tersebut justru persoalan batas wilayah.
Dari data Kantor Staf Presiden, sedikitnya ada 300 desa di Kalteng yang berkonflik terkait tumpang tindih lahan. Hal itu, menurut Paulus, dipicu peraturan daerah tentang RTRWP yang bermasalah.
Pada 2016, Penjabat Gubernur Kalteng Hadi Prabowo membatalkan sosialisasi Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Tata Ruang Wilayah Kalteng. Alasannya, hal itu masih perlu dibahas kembali karena banyak data yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Perda No 5/2015 itu merupakan perda pengganti Perda No 8/2003. Pada Perda No 8/2003, kawasan bukan hutan Kalteng tersisa 32,9 persen dan 67,1 persen merupakan wilayah hutan. Sementara dalam Perda No 5/2015, kawasan bukan hutan menyusut menjadi 17,40 persen. Padahal, pada 2003-2015 banyak terjadi pembukaan lahan.
Di Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat, pada 2005-2018 setidaknya terdapat 345 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tidak optimal. Sebagian besar konflik itu hingga kini belum usai dan banyak yang berujung pada kriminalisasi.
Direktur Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono mengatakan, pada Hari Pangan Sedunia, pemerintah harus menghadirkan solusi langsung kepada petani dan peladang. Solusi dengan lumbung pangan yang saat ini dikerjakan pemerintah bukan jawaban.
”Saat ini banyak lahan pangan masyarakat yang hilang dikarenakan kebijakan yang belum berpihak kepada petani/peladang,” kata Dimas.
Ia menambahkan, lahan pertanian pangan kerap dialihfungsikan menjadi sektor perkebunan skala besar dan pertambangan serta industri lain. Perlindungan lahan pertanian pangan belum dijalankan meski sudah ada UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
”Dengan proyek food estate, kebijakan pemerintah dipertanyakan keberpihakannya terhadap petani atau peladang yang sangat bergantung pada kepastian hak atas lahannya,” ujar Dimas.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Gubernur Kalteng Habib Said Ismail menuturkan, program lumbung pangan nasional akan langsung melibatkan petani. Ia optimistis program tersebut akan membawa kesejahteraan bagi petani.
”Program ini juga akan merangsang anak muda untuk eksis di dunia pertanian. Jadi, program ini nanti ada intensifikasi, mekanisasi pertanian, insya Allah nanti bantuan juga akan disalurkan kepada para petani,” kata Habib.
Anggota DPD asal Kalteng, Agustin Teras Narang, mengatakan, ada kesan penarikan kembali kewenangan ke pusat dalam konteks struktur. Padahal, semangat reformasi tak lain adalah otonomi daerah. Hal itu menyebabkan banyak program pusat tidak terjabarkan dengan baik sampai ke tingkat bawah, termasuk dalam upaya membangun kedaulatan pangan.
”Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia ini, saya dorong kembali dengan tulus sinergi semua pemangku kepentingan pemerintahan daerah. Agar kita bisa maju, termasuk menghadirkan solusi ketahanan dan kedaulatan pangan,” ujar Teras Narang.