Petani Banyuwangi Keluhkan Pupuk Subsidi yang Langka dan Mahal
Sejumlah petani di Banyuwangi mengeluhkan pupuk subsidi yang semakin langka. Kalaupun ada, harga pupuk subsidi menjadi sangat mahal dan harus dibeli secara paket dengan pupuk nonsubsidi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
Kompas
Pekerja di bagian pengemasan urea di pabrik pupuk PT Petrokimia Gresik, Rabu (22/4/2015).
BANYUWANGI, KOMPAS — Sejumlah petani di Banyuwangi mengeluhkan pupuk subsidi yang semakin langka. Kalaupun ada, harga pupuk subsidi menjadi sangat mahal dan harus dibeli secara paket dengan pupuk nonsubsidi.
Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi menyebut kelangkaan pupuk ini merupakan dampak pengurangan alokasi pupuk dari pemerintah pusat. Selain itu pola pemberian pupuk yang berlebihan juga membuat pupuk semakin langka.
Ditemui di Banyuwangi, Senin (21/9/2020), Ketua Kelompok Tani Murni Kecamatan Wongsorejo Banyuwangi Ahmad Jamali (48) mengatakan bahwa saat ini pupuk subsidi susah ditemui di kios-kios. Kalaupun ada, saat ini harganya sangat mahal.
”Pupuk NPK yang semula Rp 240.000 per kuintal sekarang dijual di atas Rp 300.000. Pupuk urea bersubsidi yang biasanya dijual Rp 180.000 per kuintal sekarang dijual Rp 240.000. Sementara pupuk ZA justru sama sekali tidak ada,” tuturnya.
Selain langka dan mahal, petani juga diharuskan membeli pupuk nonsubsidi saat hendak membeli pupuk bersubsidi. Para petani menyebut sistem pembelian tersebut dengan nama pupuk paketan.
Seorang petani memeriksa padi siap panen di Desa Jambesari, Banyuwangi, Jumat (11/10/2019). Total luas panen padi tahun ini di Banyuwangi diproyeksi 120.844 hektar yang terdiri dari 67.859 hektar panen musim hujan dan 62.985 hektar panen gadu.
Petani di Dusun Kayangan, Desa Segobang, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Isripan (53), mengalaminya saat ia hendak membeli pupuk urea bersubsidi. Kala itu ia juga harus membeli 5 kg urea nonsubsidi saat membeli 1 kuintal pupuk urea bersubsidi.
”Saya tidak tahu kenapa ada aturan seperti itu. Penjual pupuk di kios juga tidak bisa menjelaskan mengapa ada aturan tersebut,” ujar Isripan.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Banyuwangi Ilham Juanda menjelaskan, kelangkaan pupuk merupakan dampak pengurangan alokasi pupuk yang menjadi kebijakan pemerintah pusat. Realisasi penyediaan pupuk bersubsidi jauh di bawah pengajuan pupuk bersubsidi yang diajukan melalui rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK).
”Pada e-RDKK 25 Juli 2020 diajukan 63.372 ton urea, 31.596 ton ZA, 30.9094 ton SP36, 67.932 ton NPK, dan 41.825 ton pupuk organik. Namun, realisasinya Banyuwangi hanya mendapat 31.688 ton urea, 21.834 ton ZA, 9.869 ton SP36 dan 24.082 ton pupuk organik,” ungkapnya.
Ilham mengatakan, pengurangan alokasi pupuk subsidi sudah dirancang sejak tiga tahun lalu. Wacana tersebut dilakukan bersamaan dengan peluncuran Kartu Tani. Melalui program tersebut hanya pemegang Kartu Tani yang dapat menerima pupuk subsidi.
Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah, Desa Karangasem, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Achmadi (52) menunjukkan Kartu Tani milik salah satu anggota kelompoknya, Minggu (9/2/2020). Kartu tani, yang dibagikan mulai 2018, dapat dimanfaatkan, antara lain, untuk membeli pupuk bersubsidi. Sosialisasi diupayakan agar manfaatnya lebih dirasakan petani.
Saat ini anggaran pupuk subsidi, lanjut Ilham, sudah dikurangi sesuai dengan penerima Kartu Tani. Padahal, data penerima pupuk yang ada di kios-kios penjualan pupuk belum berdasarkan RDKK berbasis elektronik yang datanya terintegrasi dengan pemegang Kartu Tani. Lagi pula belum semua petani memiliki Kartu Tani.
”Kondisi ini diperparah karena saat di kios, para petani ingin membeli pupuk secara bebas. Harus diakui masih banyak petani yang memakai pupuk bersubsidi yang melampaui jumlah yang direkomendasikan,” tuturnya.
Kondisi ini diperparah karena saat di kios, para petani ingin membeli pupuk secara bebas.
Secara terpisah, Ketua Himpunan Keluarga Tani Indonesia Banyuwangi Muhammad Safuan menyayangkan kebijakan pengurangan alokasi pupuk subsidi di tengah pandemi. Kondisi ini membuat persediaan pupuk sampai akhir tahun sudah habis. Ia khawatir, akan terjadi kelangkaan hasil panen yang berdampak pada tingginya harga komoditas di tahun depan.
Seorang petani memanen padi hasil tanam gadu di Desa Benelanlor, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Minggu (13/10/2019). Harga gabah di tingkat petani pada musim panen gadu saat ini Rp 6.000 per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP), lebih tinggi dibandingkan dengan tiga bulan lalu yang hanya Rp 5.000 per kg GKP.
Safuan tidak membantah bahwa saat ini kebutuhan pupuk lebih tinggi daripada biasanya. Menurut dia, meningkatnya kebutuhan pupuk juga dipengaruhi tren petani yang mulai beralih menanam jagung
”Harga jual yang lebih menjanjikan membuat petani beralih menanam jagung. Kondisi ini membuat petani membutuhkan lebih banyak pupuk. Saat menanam padi, petani hanya butuh 3 kuintal urea untuk lahan 1 hektar. Di luasan yang sama petani butuh 7 kuintal urea untuk menanam jagung,” ungkapnya.
Safuan mengatakan, salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah membantu petani untuk kembali beternak. Dengan demikian, petani terdorong untuk membuat pupuk organik. Harapannya dengan memproduksi pupuk organik sendiri, kebutuhan petani terhadap pupuk subsidi bisa dikurangi.