Tanpa Membakar, Petani di Kalteng Masih Sulit Tanam Padi
Petani dan peladang di Kalimantan Tengah masih trauma dengan membakar lahan. Pembukaan lahan tanpa bakar pun diinisiasi, tetapi tak berjalan efektif. Tanpa dibakar, lahan sawah rentan diserang hama.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KAPUAS, KOMPAS — Petani di Kalimantan Tengah masih menggunakan cara membakar untuk mengolah ladang padi. Pengelolaan tanpa bakar masih sulit diterapkan untuk komoditas padi karena hama tak bisa musnah. Namun, singkong dan nanas menjadi komoditas andalan yang berhasil diolah tanpa membakar gambut.
Saat musim kemarau seperti sekarang, petani di Kalteng menghadapi dilema saat mengolah lahannya. Selama ini mereka membakar lahan untuk bisa menanam padi. Apalagi cara membakar merupakan tradisi yang sulit dilepas, tak hanya oleh masyarakat lokal, tetapi juga transmigran yang sudah puluhan tahun bertani di Kalteng.
Kompas mengunjungi salah satu wilayah transmigrasi di Basarang, Kabupaten Kapuas, Kalteng, Minggu (20/9/2020). Wilayah itu lebih dikenal dengan sebutan kampung Bali karena mayoritas penduduknya berasal dari Pulau Bali, sebagian lagi dari Pulau Jawa.
Salah seorang peladang di wilayah itu, Made Wandre (72), Minggu siang sedang beristirahat di pondok yang ia buat di pinggir kebunnya. Kebun dengan luas hampir 2 hektar itu ia tanami beragam tanaman, mulai dari padi ladang, singkong, nanas, hingga beragam sayuran.
”Kami tetap bakar kalau tanam padi. Tetapi, sebelum bakar, ya minta izin dulu sama polisi, kepala desa, macam-macam,” kata Wandre.
Wandre mengungkapkan, ia dan keluarganya sudah tinggal di Desa Batu Nindan sejak tahun 1972. Ia mengikuti ayahnya yang merantau bersama para transmigran lain dari Bali saat itu. Tak heran, di kawasan itu banyak pura dibangun. Keadaannya seperti berada di pelosok-pelosok Pulau Bali.
Wandre bersama istrinya, Made Miri (60), menanam padi masih dengan cara membakar. Siang itu pun mereka baru saja membersihkan sisa-sisa kayu yang dibakar.
”Beberapa tahun belakangan ini, kan, tidak boleh dibakar, saya ngikut aja, tetapi ya itu gagal terus. Gagal panen,” kata Wandre.
Gagal panen, lanjut Wandre, terjadi karena beragam faktor, salah satunya hama. Menurut Wandre, tanpa dibakar, hama akan berdatangan, mulai dari tikus hingga hama wereng, yang sulit diantisipasi.
Kami tetap bakar kalau tanam padi. Tetapi, sebelum bakar, ya minta izin dulu sama polisi, kepala desa, macam-macam.
”Selain hama, tanpa membakar juga banyak keluarkan uang. Biaya untuk beli ini itu banyak sekali, bayar orang bersihkan juga,” ujar Wandre.
Dengan pertimbangan itu, Wandre lebih memilih menunggu hingga membakar diperbolehkan kembali seperti saat ini. Sebelum adanya izin tersebut, Wandre dan istri membersihkan sendiri kebun mereka dengan cara menebas rumput di lahan seluas lebih kurang 1,2 hektar.
”Kalau nanas dan singkong itu dari dulu tanpa perlu dibakar pun enggak masalah. Sampai sekarang pun kami tidak membakar,” ungkap Wandre.
Meski dihajar gagal panen, Wandre tak putus asa lantaran kebun nanas dan singkongnya berbuah baik. Namun, harga singkong dan nanas saat ini turun lantaran pandemi Covid-19.
Singkong yang biasanya dijual dengan harga Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram (kg) saat ini hanya dijual Rp 1.500 per kg. Begitu juga nanas, normalnya nanas dengan ukuran paling besar dijual dengan harga Rp 5.500-Rp 6.000 per kg, tetapi belakangan ini harganya hanya Rp 3.000 per kg. ”Masih ada sayur, jadi bisa jual sayur, singkong, dan nanas saja sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Wandre.
Pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) hanya efektif dilakukan untuk komoditas selain padi. Beberapa petani pun menyerah mengolah ladang padinya tanpa membakar. Meskipun demikian, PLTB tetap didorong untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan seperti tahun 2019 atau 2015.
Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah dilakukan berbagai upaya pencegahan hingga restorasi gambut, memang terjadi penurunan luas kebakaran hutan dan lahan antara tahun 2015 dan 2019. Pada tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia luasnya mencapai 2,6 juta hektar, sedangkan tahun 2019 luasnya 857.755 hektar, baik lahan gambut maupun tanah mineral.
Penurunan luas lahan terbakar memang mencapai 67 persen. Namun, tahun 2019, seperti di Kalimantan Tengah, beberapa bulan lamanya banyak kota di Kalteng tertutup asap. Warga yang sakit dan terdampak pun tak sedikit.
Di satu sisi, tak sedikit petani yang ditangkap aparat lantaran membakar. Dari data Polda Kalteng, pada tahun 2019 terdapat 121 orang dari 161 kasus kebakaran lahan ditangkap, lalu ada dua tersangka dari 20 kasus kebakaran di lahan perusahaan.
Hal itu yang mendorong pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) mengembangkan beragam pola PLTB. Bekerja sama dengan BRG, Lembaga Kemitraan pun menempatkan fasilitator desa di 29 desa, dengan rincian 19 desa dengan 10 kelurahan di empat kabupaten dan satu kota di Kalteng.
Fasilitator desa di Desa Batu Nindan, Nur Latifah, mengungkapkan, sebagian besar masyarakat dilarang menerapkan PLTB. Beragam siasat dilakukan, salah satunya dengan cara mulai membersihkan lahan sebulan lebih cepat sebelum menanam agar bisa lebih ringan, seperti yang dilakukan Wandre dan istrinya.
”PLTB dilakukan untuk mengembangkan tanaman pangan lokal, sedangkan padi masih tetap ditanam untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk diperjualbelikan,” kata Latifa.