Petani di Lokasi "Food Estate" Masih Ada yang Kesulitan Bertani
Petani di lokasi program lumbung pangan nasional masih bergelut dengan persoalan klasik, seperti pupuk, modal, hingga tengkulak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS –Petani di sebagian kawasan food estate di Kalimantan Tengah belum sepenuhnya sejahtera. Mereka masih bergantung pada tengkulak, kesulitan mendapatkan pupuk dan modal tanam pada saat-saat tertentu, serta mengalami stagnasi produksi.
Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah menjadi salah satu desa yang kawasannya dirancang sebagai kawasan food estate. Di desa itu setidaknya terdapat 1.000 hektar lahan yang masuk dalam kawasan food estate dari total 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau. Selain di kabupaten yang 70 persen wilayahnya merupakan wilayah gambut itu, disiapkan juga lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas untuk proyek yang sama.
Tetapi petani di desa itu masih kesulitan mengolah lahannya. Pada musim tanam tahun ini pupu sulit didapatkan. Rasimun (42) salah satu petani di Belanti Siam mengungkapkan, toko langganan mereka di Kecamatan Pandih Batu maupun Maliku mulai kehabisan stok. Rasimun misalnya hanya mendapatkan 1 kuintal pupuk dari kebutuhan 4 kuintal bagi sehektar lahannya. Kesulitan pupuk itu bukan hal yang baru, namun tahun ini paling parah.
Menurut Rasimun yang sudah sejak 1982 tinggal di desa itu sebagai transmigran, petani sudah biasa menghadapi berbagai kendala tersebut, namun mereka tetap berusaha bertahan.
Selain pupuk petani juga kesulitan mengakses modal untuk menaikkan produktivitas lahan mereka. Jika ingin hasil banyak, mereka harus menanam padi hibrida. Namun padi hibrida butuh modal tinggi. Sebagai gambaran, dari padi hibrida petani bisa panen 7-8 ton per hektar, tetapi harus memakai sistem tanam yang biayanya bisa sampai Rp2,5 juta per hektar. Adapun Ir 42 hasilnya 4-5 ton saja, namun biaya produksinya Rp 250.000 per hektar karena memakai sistem tabur.
Hal senada juga diungkapkan Oasis (34) yang tergabung dalam Kelompok Tani Maju Bersama. Menurutnya, selama ini produktivitas petani masih ditahap normal cenderung stagnan. Sejak tahun 1990-an hasil tanamnya tak banyak bergerak naik. Dengan adanya program food estate yang berada di desanya, ia berharap ada bantuan yang bisa memicu perbaikan produktivitas sawah mereka.
Kepala Desa Belanti Siam Amin Arifin mengatakan petani juga masih menjual ke tengkulak. Selama ini pihaknya menjual beras kepada siapa saja yang membeli dengan harga tinggi, meski itu ke tengkulak sekali pun.
Petani jarang menjual ke Bulog selama ini lantaran harganya berkisar Rp 4.200 hingga Rp 4.800 per kilogram. Tengkulak, menurut Amin, bisa membeli Rp 5.000 per kilogram gabah kering giling dari petani di desanya. Gabah itu kemudian dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan .“Kami berharap pemerintah bisa beli harga jauh lebih tinggi dari pembeli biasanya,” kata Amin, Sabtu (5/9/2020).
Menanggapi masukan petani, Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri mengungkapkan, tahap pertama ini pihaknya akan memperbaiki saluran irigasi sebagai tata kelola air. Selain itu, pihaknya juga akan membangun gudang bulog sekaligus pengepakan dengan merek sendiri.
“Hasilnya itu pasti akan terbeli. Tidak hanya itu, nanti akan dibangun silo-silo di beberapa tempat,jadi setelah jadi beras akan langsung di-packing dengan merek lokal,” kata Fahrizal.
Beberapa waktu terakhir desa itu juga dikunjungi Presiden Joko Widodo dan beberapa menterinya. Petani mendapatkan bantuan alat mesin pertanian dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Fahrizal menambahkan, program lumbung pangan nasional bukan hanya bicara soal pemenuhan pangan Indonesia tetapi tentunya diikuti oleh kesejahteraan petani. Pihaknya optimis petani tidak akan bergantung dengan banyak pihak termasuk tengkulak.
“Kalau soal pupuk memang masyarakat juga mengeluh karena khawatir waktunya bergeser. Tetapi kami sudah sampaikan ini memang situasi sulit karena pandemi ini distribusi jugua terhambat,” kata Fahrizal.
Guru Besar dan Kepala Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, untuk mewujudkan ketahanan pangan bukan hanya soal padi. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan empat pilar utama, yakni kelayakan tanah, kelayakan infrastruktur, kelayakan budidaya dan teknologi, juga kelayakan sosial-ekonomi.
“Saya belum melihat komitmen pemerintah ke arah diversifikasi pangan. Itu bisa dilihat saat kehabisan beras masyarakat memilih membeli dan mengonsumsi mie instan,” kata Andreas.
Andreas mengungkapkan, dari sejarahnya belum ada proyek atau program pangan yang berhasil mensejahterakan petani maupun memenuhi kebutuhan pangan nasional. “Sedari awal saya sudah sampaikan ini produk gagal karena tidak memenuhi pilar-pilar itu tadi,” ungkapnya.