Sekitar 60 dari setiap 1 juta penduduk di Sulawesi Utara telah meninggal karena Covid-19. Rasio kematian ini adalah salah satu yang tertinggi di antara 34 provinsi di Indonesia.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
Data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menunjukkan, sekitar 60 dari setiap 1 juta penduduk di Sulawesi Utara telah meninggal karena Covid-19. Rasio kematian ini adalah salah satu yang tertinggi di antara 34 provinsi di Indonesia. Namun, semua kematian karena Covid-19 di Sulut selalu disertai penyakit penyerta. Ini menjadi ancaman terpendam yang membayangi penanganan wabah di provinsi tersebut.
Menurut Coronavirus Disease 2019 Situation Report 21 per 19 Agustus 2020 yang diterbitkan WHO, Sulut menempati peringkat ketiga provinsi dengan rasio kematian akibat Covid-19 tertinggi. DKI Jakarta menempati posisi pertama (115 per 1 juta penduduk), sedangkan Kalimantan Selatan di posisi kedua (81 per 1 juta penduduk).
Hingga Rabu (26/8/2020), Sulut telah mencatat akumulasi 3.598 kasus Covid-19 dengan sedikitnya 155 kasus berujung pada kematian. Kasus 3.561, pria berusia 72 tahun asal Manado, adalah pasien positif Covid-19 terakhir yang dinyatakan meninggal dengan penyakit penyerta diabetes melitus dan penyakit ginjal akut.
Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Sulut dr Steaven Dandel mengatakan, rasio kematian akibat Covid-19 yang tinggi di Sulut beriringan dengan tingginya sebaran penyakit penyerta di Sulut. Insidensi penyakit-penyakit tidak menular di Sulut selalu menempati posisi tertinggi di Indonesia.
”Hipertensi, diabetes melitus, gagal ginjal, dan obesitas di Sulut itu tertinggi di Indonesia. Dari data kami, belum pernah ada yang meninggal murni karena Covid-19, selalu ada komorbid (penyakit penyerta),” kata Steaven.
Menurut data Kementerian Kesehatan dalam Riset Kesehatan Dasar Nasional 2018, prevalensi hipertensi pada penduduk berusia 18 tahun ke atas di Sulut mencapai 13,2 persen, tertinggi di Indonesia. Ini melebihi rata-rata nasional (8,4 persen). Sementara prevalensi diabetes melitus di Sulut mencapai 2,3 persen, ketiga tertinggi di Indonesia.
Sekitar empat dari 1.000 penduduk Sulut juga menderita penyakit ginjal kronis, ketiga tertinggi di Indonesia. Proporsi penduduk dewasa yang menderita obesitas di Sulut juga tertinggi di Indonesia, yaitu 30,2 persen, lebih tinggi daripada rata-rata nasional 21,8 persen.
Menurut Steaven, para penderita komorbid rentan mengalami komplikasi jika terkena Covid-19. Gejala yang muncul pun akan jauh lebih parah. Hal ini pula yang menjelaskan tingginya tingkat fatalitas (CFR) Covid-19 di Sulut, yaitu 4,3 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari 3,2 persen di Jakarta yang telah mencatatkan 34.103 kasus, 10 kali lipat lebih banyak daripada kasus di Sulut.
Sebagai langkah mitigasi, Dinas Kesehatan Sulut berupaya memperkuat perlindungan penderita penyakit tidak menular (PTM). Steaven mengatakan, pihaknya akan menyediakan fasilitas konsultasi virtual (telemedicine) bagi para penderita PTM. ”Ini adalah pelayanan khusus untuk melindungi kelompok rentan agar jangan sampai terpapar Covid-19,” ujarnya.
Sementara menunggu obat dan vaksin, pasien yang keadaannya kritis karena penyakit penyerta menerima perawatan dengan alat pendukung, seperti ventilator. Menurut informasi terakhir, Mei 2020, Sulut memiliki 30 ventilator.
Namun, Steaven menyatakan, tidak semua pasien membutuhkan alat bantu pernapasan. Jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit pun hanya berkisar 10-15 persen dari total akumulasi kasus. ”Rumah sakit di Sulut justru sekarang sudah banyak yang lengang,” kata dia.
Kendala Sulut justru terletak pada kurangnya dokter ahli penyakit dalam yang hanya berjumlah tiga orang. ”Kekurangan ini kami atasi dengan bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia untuk konsultasi daring. Namun, sebenarnya, kekurangan ini masih bisa kami substitusi dengan dokter penyakit dalam,” kata Steaven.
Covid-19 di Sulut belum dapat dikendalikan karena jumlah kasus positif yang tak disertai gejala terus bertambah.
Pada saat yang sama, kata Steaven, Covid-19 di Sulut belum dapat dikendalikan karena jumlah kasus positif yang tak disertai gejala terus bertambah. Potensi penularan pun tetap tinggi. Dari setiap 5,8 sampel yang diuji, ditemukan satu kasus positif. Tingkat laju penularan saat ini (Rt) mencapai 1,00.
Gugus Tugas Covid-19 Sulut berupaya mencegah penularan dengan melacak kasus secara acak dan massal di masyarakat melalui pengambilan sampel usap untuk uji reaksi rantai polimerase (PCR). Upaya ini seolah berkejaran dengan waktu karena adaptasi kebiasaan baru, yang ditandai dengan pelonggaran batasan aktivitas, tidak dapat dicegah lagi.
Sulut pun berupaya memenuhi target pengujian sampel PCR sebanyak 1 per 1.000 penduduk per minggu, atau 2.526 sampel setiap minggu. Data per Senin (24/8), Sulut telah mampu mengumpulkan 1,03 sampel per 1.000 penduduk per minggu, termasuk lima besar di Indonesia.
Namun, capaian itu tidak merata di semua kota/kabupaten. Gugus Tugas Covid-19 Manado, misalnya, hanya mampu mengumpulkan 215 dari target 435 sampel selama minggu ketiga Agustus. Kotamobagu, Bolaang Mongondow, dan Bolaang Mongondow Selatan malah tidak mengambil sampel sama sekali.
”Tantangannya adalah bagaimana mengajak masyarakat untuk mau diperiksa swab karena kendalanya selama ini adalah rasa takut. Pemerintah kota/kabupaten harus bisa mempromosikan tes swab ini karena kita harus tahu siapa yang berpotensi menularkan Covid-19,” kata Steaven.
Kesulitan promosi ini turut dialami di Bolaang Mongondow Timur. Hingga kini, hanya ada tiga kasus Covid-19 di kabupaten itu, semuanya sembuh. Menurut Eko Marsidi, Kepala Dinas kesehatan Bolaang Mongondo Timur, semua kasus bukanlah warga yang teradministrasi di Bolaang Mongondow Timur.
Masyarakat merasa cukup tenang karena rendahnya kasus Covid-19. Namun, kasus-kasus tanpa gejala sulit ditemukan karena rendahnya angka tes secara massal. Selama pekan ketiga Agustus, hanya 24 sampel dari target 73 yang diambil. Namun, capaian ini lebih baik ketimbang pekan-pekan sebelumnya yang diwarnai kekosongan pengambilan sampel.
”Kami harus mencari cara mendekati masyarakat. Bisa kami bawa polisi dan tentara, tetapi apakah masyarakat tidak takut? Kalau warga fine-fine saja, kenapa kami harus usik mereka,” kata Eko.
Sebaliknya, kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Manado dr Joy Zeekeon mengatakan, revisi kelima pedoman penanganan Covid-19 dari Kementerian Kesehatan tidak mewajibkan daerah melaksanakan tes massal. ”Pengambilan sampel harus tetap sesuai dengan diagnosis gejala, bukan semua orang diperiksa,” katanya.
Gugus Tugas Covid-19 Sulut masih berupaya menutupi kekurangan pengambilan sampel di kabupaten dan kota. Menurut Steaven, gugus tugas provinsi dan kabupaten/kota perlu menyamakan persepsi demi mencapai target 1 per 1.000 penduduk setiap pekan.
Sulut pun bisa memaksimalkan kapasitas laboratoriumnya hingga 1.000 sampel per hari.
Untuk menunjang kegiatan surveilans dan pelacakan penyakit, pemerintah provinsi juga berupaya menambah kapasitas laboratorium. Selain tiga laboratorium yang ada di Manado, Sulut, kini juga memiliki sebuah mobil tes PCR berkapasitas 94 sampel untuk sekali operasional. Satu kali putaran mesin PCR dapat memakan waktu 7 jam.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey mengatakan, mobil PCR ini akan digunakan menjangkau kabupaten/kota di Sulut yang membutuhkan tes usap massal. Sulut pun bisa memaksimalkan kapasitas laboratoriumnya hingga 1.000 sampel per hari.
Pada 10 September mendatang, laboratorium PCR di Universitas Sam Ratulangi juga akan dibuka. Rektor Unsrat Ellen Joan Kumaat mengatakan, laboratorium itu akan menguji 100 sampel pada hari pertama operasionalisasinya. Namun, Ellen belum dapat menyebut kapasitas per hari laboratorium itu.