Sebagian Petani di Karawang Kesulitan Dapatkan Pupuk Subsidi
Ketersediaan pupuk subsidi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, belum mencukupi. Sebagian petani kesulitan mendapatkan pupuk di tengah proses tanam padi. Keterlambatan pemupukan berpengaruh terhadap produktivitas panen.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Ketersediaan pupuk subsidi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, belum mencukupi. Sebagian petani masih kesulitan mendapatkan pupuk di tengah proses tanam padi. Keterlambatan pemupukan berpengaruh terhadap produktivitas panen di kala pandemi.
”Kuota pupuk sampai hari ini di Kabupaten Karawang masih kurang,” kata Hanafi Chaniago, Kepala Dinas Pertanian Karawang, Selasa (1/9/2020).
Saat ini, kuota pupuk subsidi yang diberikan dari pusat untuk Karawang 38.890 ton urea, 6.623 ton SP-36, dan 23.500 ton NPK. Padahal, jumlah pupuk yang dibutuhkan lebih dari dua kali lipat dari kuota tersebut, yakni 56.845 ton urea, 25.064 ton SP-36, dan 31.876 ton NPK.
Pengurangan kuota ini berdampak terhadap kelangkaan pupuk di tingkat petani. Hanafi telah mengusulkan kepada pusat agar memberikan kuota tambahan pupuk sesuai dengan kebutuhan petani di Karawang.
Wakil Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Karawang Ijam Sujana mengatakan, kelangkaan pupuk subsidi ini terjadi sejak awal Agustus 2020. Kondisi kian terasa nelangsa saat sebagian petani memasuki tanam padi di sawah belakangan ini.
Pada awal tanam, asupan pupuk urea yang merupakan salah satu komponen dalam pupuk bersubsidi yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan padi. Namun, pasokan pupuk subsidi urea di distributor resmi tidak ada.
Kini, yang banyak tersedia adalah pupuk sejenis nonsubsidi dengan harga lebih dari Rp 2.500 per kilogram. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2020, harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea ditetapkan Rp 1.800 per kg.
Menurut Ijam, ongkos produksi yang dikeluarkan petani akan membengkak jika harus membeli pupuk nonsubsidi. Apalagi, masa tanam saat ini rentan menghadapi kemarau panjang dan kehujanan saat panen nanti. Kondisi tersebut berpotensi membuat gagal panen atau harga jual gabah rendah.
”Kondisi ini tidak mudah, kami berisiko merugi. Pupuk subsidi dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menunjang produktivitas panen nanti,” kata Ijam, yang juga Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah I Kecamatan Tempuran, Karawang.
Kondisi ini tidak mudah, kami berisiko merugi. Pupuk subsidi dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menunjang produktivitas panen nanti
Ketua Kelompok Tani Mekarsari II Desa Pasirmulya, Kecamatan Majalaya, Saepudin (55) menambahkan, pupuk subsidi yang langka di daerahnya adalah jenis urea. Ia sempat mencari jenis tersebut ke kecamatan lain untuk tanaman padinya yang berumur 70 hari setelah tanam (hst).
Karena tidak menemukan, akhirnya dia memadukan berbagai jenis pupuk yang tersedia. Idealnya, 2-3 minggu lalu diberi pupuk urea. ”Sekarang sudah tidak diberi pupuk, kalau minggu-minggu kemarin seharusnya pemupukan. Hanya pupuknya langka, saya sampai cari ke luar kecamatan lain,” ujar Saepudin.
Menurut Rusli Abdullah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pemerintah sebaiknya memperbaiki data riil kebutuhan pupuk subsidi dan jumlah lahan yang ada minimal setahun sekali. Ketidaksesuaian data tersebut berpotensi menyebabkan masalah baru, misalnya kelangkaan produk di lapangan.
Adapun, perencanaan produksi pupuk subsidi sebaiknya dilakukan minimal enam bulan sebelumnya. Jika ada kendala atau pengurangan dari pusat harus diinformasikan segera kepada petani. Hal ini untuk mencegah petani kelabakan mencari pupuk saat memasuki masa tanam. Keterlambatan pemupukan berpotensi menurunkan target produksi.