Asa Cerah Kerajinan Gerabah Klipoh di Masa Wabah
Di masa pandemi, permintaan gerabah, terutama pot, di Dusun Klipoh, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terus meningkat. Hal ini membuat banyak warga kembali menekuni pembuatan gerabah warisan leluhur.
Perilaku hidup sehat dengan rajin mencuci tangan serta sikap menahan keinginan untuk pergi dan lebih banyak di rumah berdampak lebih luas dari sekadar antisipasi penularan Covid-19. Perubahan gaya hidup itu secara tak langsung membantu memberi energi dan gairah baru kepada para perajin gerabah sehingga tak terjerembap dan menyerah di tengah wabah.
Dorongan energi baru ini dirasakan para perajin di sentra kerajinan gerabah Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dusun ini berada sekitar 4 kilometer sebelah barat Candi Borobudur dan dikenal sebagai kampung wisata kerajinan gerabah.
Supoyo (49), perajin dari Kelompok Perajin Gerabah Arum Art, mengatakan, selama masa pandemi, terhitung sejak Mei hingga Agustus, permintaan gerabah justru meningkat, terutama pesanan untuk tempat cuci tangan dan pot tanaman berbagai ukuran.
Peningkatan permintaan untuk tempat cuci tangan terjadi karena kantor hingga rumah tangga kini menyediakan banyak tempat cuci tangan. Adapun peningkatan permintaan pot diduga terjadi karena aktivitas keseharian warga yang banyak dihabiskan di rumah mendorong mereka kembali melakukan sejumlah hobi, termasuk bercocok tanam dan merawat berbagai tanaman. Hobi ini membutuhkan pot.
Peningkatan ini, menurut Supoyo, terasa signifikan. Sebelum pandemi, permintaan tempat cuci tangan hanya berkisar 10-20 buah per bulan. Namun, empat bulan terakhir ini, dia sudah membuat lebih dari 300 tempat cuci tangan. Artinya, rata-rata sekitar 75 buah per bulan. Adapun pesanan pot yang biasanya sekitar 400 pot per bulan selama pandemi bertambah menjadi 800-1.000 pot per bulan.
Baca juga : Perajin Gerabah Beralih Jadi Pedagang
Supoyo membuat pot dalam beragam bentuk dan ukuran. Pot terkecil dengan ukuran diameter 7 sentimeter (cm) djjual seharga Rp 3.000 per buah dan yang terbesar berdiameter 60 cm seharga Rp 600.000 per buah.
Bahkan, saking banyaknya pesanan, Supoyo mengatakan cukup kerepotan. Oleh karena tidak bisa mengerjakan semuanya sekaligus, dia meminta para pelanggan sabar. ”Saat ini saja, saya masih memiliki tanggungan pekerjaan untuk membuat lebih dari 200 pot dari tiga pembeli. Semuanya antre,” ujarnya.
Dusun Klipoh merupakan kampung perajin gerabah di sekitar Borobudur. Di dusun ini terdapat sekitar 97 perajin. Pada saat pesanan ramai, Supoyo biasanya bisa meminta bantuan dari perajin lain untuk ikut memenuhi permintaan pelanggan. Namun, kini, dia tidak lagi bisa melakukan hal serupa.
Dalam situasi saat ini, banyak perajin beralih dan beramai-ramai fokus membuat pot.
”Saat ini, semua perajin sudah sangat repot, sibuk memenuhi permintaan pelanggan masing-masing,” ujarnya.
Di Dusun Klipoh, sebagian besar perajin biasanya memfokuskan diri pada jenis gerabah tertentu. Ada sebagian perajin yang hanya khusus membuat perkakas rumah tangga, ada yang membuat pot saja, dan ada juga yang hanya membuat kendil. Namun, dalam situasi saat ini, banyak perajin beralih dan beramai-ramai fokus membuat pot.
Beralih
Salah satu perajin yang memutuskan beralih fokus membuat jenis gerabah pot adalah Saroyah (45). Jika biasanya membuat kendil untuk kebutuhan rumah sakit sebagai tempat plasenta bayi yang baru lahir, saat ini dia juga memilih membuat pot, sama seperti puluhan perajin lain.
Industri pot juga makin menggeliat karena permintaan dari konsumen kian bervariasi. ”Tidak sekadar untuk tanaman hias, banyak konsumen kini memesan pot dengan beragam bentuk untuk berbagai jenis tanaman lain, seperti anggrek dan kaktus,” ujar Saroyah.
Untuk pemasaran, ia memiliki sejumlah pengepul yang membantu mendistribusikan produk kerajinannya ke sejumlah tempat, antara lain ke Kecamatan Muntilan (Kabupaten Magelang), Kota Magelang, dan Kota Semarang.
Di tengah pandemi, permintaan sejumlah mitra ke tempat kerajinan Saroyah terus berdatangan. Di tengah proses memenuhi pesanan, bisa saja muncul tambahan permintaan yang semuanya harus dituntaskan pada akhir pekan. ”Karena demikian banyaknya permintaan, saya pun pernah membuat 200 pot dalam satu minggu,” ujarnya.
Padahal, saat membuat kendil, dia biasanya hanya memproduksi 60-70 buah per pekan. Harga pot buatan Saroyah bervariasi. Pot terkecil berdiameter 17 cm dijual Rp 5.000 per buah, sedangkan terbesar berdiameter 40-45 cm dibanderol Rp 60.000 per buah.
Meski lebih banyak membuat pot, Saroyah mengatakan hingga kini tetap menerima permintaan kendil. Namun, karena ingin fokus pada pembuatan pot, saat ini permintaan untuk membuat kendil diberikan pada kerabatnya sesama pembuat gerabah.
Baca juga : Permintaan Pot Gerabah di Purwakarta Justru Menggeliat Selama Pandemi
Pekerjaan baru
Ramainya permintaan gerabah pada masa pandemi akhirnya juga memberikan secercah harapan inspirasi pekerjaan baru untuk ditekuni. David Maulana (25), warga Dusun Klipoh, misalnya, mengatakan, setelah keluar dari pekerjaan formal, ia bingung menentukan jenis usaha untuk memulai wirausaha.
David pernah menjadi buruh pabrik di Jakarta dan Magelang. Ia juga pernah menekuni bisnis usaha peternakan, tetapi akhirnya merugi dan bangkrut.
Asa baru muncul ketika dua bulan lalu salah seorang kerabat meminta dirinya membantu mengerjakan pesanan pot. Semula, ia berpikir hanya akan membantu pekerjaan membuat pot sebanyak satu kali. Namun, akhirnya, dia pun tidak bisa berhenti karena permintaan terus-menerus diterima.
Setelah sebelumnya membantu saudara, dia kini membantu ibunya, Saroyah, secara khusus membuat pot kaktus. Pot itu dijualnya dengan harga Rp 10.000 per buah. Kini, David yang sebelumnya menganggur kembali sibuk. ”Sekarang ini, setiap pekan saya membuat 200-300 pot,” ujarnya tersenyum.
Sebagai warga asli Dusun Klipoh dan dibesarkan dari keluarga perajin gerabah, David menuturkan, sebenarnya dirinya sudah belajar membuat gerabah sejak umur 12 tahun. Hanya saja, selama ini, dia tidak pernah terpikir bahwa keterampilannya itu bisa cukup diandalkan untuk mencari penghasilan.
Namun, situasi pandemi justru mengubah semua. Memanfaatkan kenaikan permintaan pot, pada akhirnya dia bertekad mengembangkan bakatnya di bisnis pembuatan gerabah.
”Melihat situasi sekarang, kerajinan gerabah ini akan prospektif mendatangkan banyak penghasilan. Paling tidak hingga setahun mendatang,” ujarnya.
Kusmita (35), warga Dusun Klipoh lain, juga melihat peluang dari peningkatan permintaan pembuatan pot berbahan gerabah. Sejak lama, ia menjalankan dua usaha bersamaan: berdagang kaus serta membuat dan menjual gerabah. Namun, saat pariwisata meredup sebagai dampak pembatasan aktivitas masyarakat, penjualan kaus di sekolah dan obyek wisata benar-benar sepi.
Di tengah situasi itu, penghasilan dari membuat gerabah menjadi penyelamat. Kusmita mengatakan, dulu ia hanya sebatas membuat gerabah berupa cobek. Namun, karena saat ini permintaan untuk pembuatan pot meningkat, ia mulai menekuni pembuatan pot.
Baca juga : Menjaga Tradisi dan Harga Diri dengan Gerabah Klipoh
Supoyo, yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Perajin Gerabah Bina Karya di Dusun Klipoh, mengatakan, peningkatan permintaan gerabah ini pada akhirnya mendorong gairah warga yang semula menekuni pekerjaan lain untuk kini beralih pada kerajinan gerabah.
”Mereka beralih menekuni gerabah karena pekerjaan utamanya tidak lagi bisa diandalkan,” ujarnya.
Kegiatan membuat gerabah di Dusun Klipoh menjadi tradisi yang sudah dijalankan turun-temurun sejak masa nenek moyang. Aktivitas pembuatan gerabah ini diyakini sudah berlangsung sejak lama. Terbukti aktivitas membuat gerabah ini terpatri di relief Candi Borobudur.
Semua warga Dusun Klipoh sebenarnya terlatih dan terampil membuat gerabah sejak kecil. Sebab, mereka tumbuh di tengah dunia kerajinan gerabah.
Di Dusun Klipoh terdapat sekitar 200 keluarga. Adapun jumlah perajin gerabah terdata hanya 96 orang. Kebanyakan warga selama ini lebih memilih menjalankan pekerjaan lain, seperti menjadi pedagang, pegawai kantor, ataupun buruh pabrik. Sebagian di antaranya juga merantau.
Supoyo mengatakan, ia berani menjamin, semua warga Dusun Klipoh sebenarnya terlatih dan terampil membuat gerabah sejak kecil. Sebab, mereka tumbuh di tengah dunia kerajinan gerabah. Namun, seiring masa, banyak orang memilih pekerjaan lain yang dianggap bisa memberikan penghasilan lebih pasti dan lebih cepat.
Situasi pandemi yang memicu pemutusan hubungan kerja dan sepinya aktivitas ekonomi di banyak sektor membuat warga, mau tidak mau, mencari pekerjaan lain. Bagi warga Dusun Klipoh, kerajinan gerabah menjadi solusi penyelamat.
Kondisi pandemi, menurut Supoyo, akhirnya kembali membangkitkan kerajinan gerabah di Dusun Klipoh. Ini menjadi angin segar bagi kerajinan gerabah yang selama ini lesu karena krisis regenerasi. Ia mencontohkan, pihaknya sering menggelar pelatihan selama tiga tahun terakhir. Namun, dari sekitar 30 perajin yang mengikuti pelatihan, hanya satu orang yang kemudian memilih menekuni pekerjaan sebagai perajin.
Sekalipun sekarang ditekuni banyak orang karena gerabah sedang booming, Supoyo berharap sebagian di antaranya tetap bertahan dan menekuni pekerjaan sebagai perajin untuk seterusnya. Pandemi bisa berakhir, tetapi tradisi membuat gerabah yang sudah dimulai sejak masa nenek moyang diharapkan tetap lestari.