Melambatnya denyut kehidupan di kota-kota besar akibat Covid-19 membuat banyak perantau limbung. Fase transisi menuju normal baru dengan segala protokolnya diharapkan dapat kembali mengapungkan harapan mereka.
Oleh
Abd Fikri Ashri/Tatang Mulyana/Kristi Utami
·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Andi Waruga (42) menata galon air minum di rumahnya di Desa Kaduagung, Kecamatan Sindangagung, Kuningan, Jawa Barat, Selasa (2/6/2020). Ketua Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) Yogyakarta itu bersiap mengantar galon pesanan konsumen menggunakan mobil miliknya. Pandemi Covid-19 membuat perantau asal Kuningan seperti Andi tidak bisa kembali ke perantauan untuk berdagang dan akhirnya berjuang di kampung halaman sendiri.
Andi Waruga (42) sibuk menata galon air mineral di rumahnya di Desa Kaduagung, Kecamatan Sindangagung, Kuningan, Jawa Barat, Selasa (2/6/2020). Ketua Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan Yogyakarta itu bersiap mengantar galon pesanan menggunakan mobil.
”Lumayan dapat komisi Rp 2.000 per galon meski beli bensin saja belum cukup. Sehari bisa jual belasan galon,” ujarnya. Usaha galon isi ulang itu milik kakak iparnya.
Telah dua bulan lebih, Andi menjadi petugas pemasaran dadakan sekaligus pengantar galon demi menyambung hidup. Tiga bulan lalu, ia adalah juragan warung bubur kacang hijau di DI Yogyakarta dengan omzet Rp 40 juta per bulan.
”Covid-19 membuat omzet turun 70 persen. Sebagian besar konsumennya adalah mahasiswa yang kini pulang kampung,” kata Andi, yang lalu memutuskan pulang kampung pada pertengahan Maret. Sedikitnya 5.000 perantau Kuningan keluar dari Yogyakarta bukan membawa rupiah ke kampung, melainkan membawa beban baru.
Covid-19 membuat omzet turun 70 persen.
Sebagian besar dari perantau ini menganggur di kampung. Padahal, sebelumnya mereka adalah penggerak ekonomi di kampung halaman. Setiap bulan, kata Andi, satu warung mengirim Rp 3 juta ke Kuningan. Di Yogyakarta ada 1.000 warung. Hasil jerih payah mereka di rantau dapat dilihat dari rumah dan tempat ibadah di daerah asal yang umumnya mewah, berkeramik, dan bertingkat.
Dalam buku Sejarah Kuningan karya Edi S Ekadjati, gelombang perantau Kuningan sudah dimulai sejak 1950 karena gangguan keamanan DI/TII yang berpusat di Jawa Barat. Pada generasi kedua, 1970-an, para perantau berhasil mengajak keluarga, kerabat, dan warga Kuningan lainnya. Urbanisasi pun meningkat. Salah satu andalannya membuat bubur kacang hijau dan aneka bubur lainnya.
Sebagian warga Garut, Jawa Barat, juga mengandalkan keahlian jari-jemari sebagai pemangkas rambut untuk lepas dari ancaman DI/TII. Mereka berhasil. Kini, ribuan orang Garut, khususnya dari Kecamatan Banyuresmi, dikenal sebagai pemangkas rambut andal. Namun, Covid-19 menguji ketangguhan mereka.
Suasana Desa Banyuresmi, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dari kampung ini, lahir banyak tukang cukur yang kemudian bekerja di Jakarta dan sekitarnya.
Rusmana (51), misalnya, kini pulang ke Banyuresmi. Dibantu istrinya, Tuti Setiawati (48), ia berjualan otak-otak, jagung, dan ayam. Dagangannya dipasarkan melalui grup Whatsapp. Untung Rp 50.000 per hari jelas tak sebanding saat masih memangkas di Jakarta. Di Ibu Kota, penghasilannya Rp 300.000-Rp 500.000 per hari.
”Setidaknya di kampung masih bisa makan. Kalau bertahan di Jakarta, biaya hidup makin besar,” kata pemangkas di mal di Jakarta Barat itu.
Ketua Asosiasi Seniman Rambut Garut Indonesia Irawan Hidayah mengatakan, sejak awal Maret sekitar 2.500 pemangkas rambut pulang ke Garut. Mayoritas dari mereka sebelumnya bekerja di Jabodetabek dan Bandung Raya.
Di kampung halaman, para pemangkas ini banting setir, mulai dari berjualan bakso, sayur, makanan ringan, hingga menjadi buruh bangunan. Beberapa di antaranya membuka jasa pangkas di rumah. Namun, hasilnya tak sebanding dengan di rantau.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Dian Rachmat Yanuar mengakui, roda perekonomian di Kuningan terganggu akibat pandemi. APBD, misalnya, dipastikan turun dari Rp 3 triliun menjadi Rp 2,6 triliun. PAD juga turun dari Rp 323 miliar jadi Rp 311 miliar.
Kini, Pemkab Kuningan menyiapkan Rp 9 miliar untuk memulihkan ekonomi. Sasarannya, mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun, belum dipastikan bantuan itu juga untuk UMKM dari rantau atau tidak. Sekitar 11.000 UMKM di Kuningan saja, sekitar 20 persen berhenti berjualan. Sisanya, omzet anjlok hingga 40 persen.
Balada warteg
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Tohirin, pemilik Warteg Putra Bahari, saat memberikan makanan gratis kepada salah satu penerima manfaat bantuan sosial terkait Covid-19 di Jakarta, Senin (30/3/2020).
Sengatan virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) juga dirasakan ribuan warung nasi (warung tegal/warteg) di Jabodetabek dan sekitarnya. Tiga bulan terakhir, para juragan dan pegawai warteg menganggur.
Kegelisahan kini menyelimuti mereka yang pulang ke kampung halaman. Sejak akhir Mei, Dwi (44), warga Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, sibuk menawarkan petak tanahnya. Menjual tanah jadi modal baginya untuk kembali mengadu nasib ke Ibu Kota.
”Sudah tidak ada modal lagi untuk mulai jualan dan membayar gaji tiga karyawan,” kata Dwi, pemilik warteg di daerah Cipete, Jakarta Selatan.
Sebelum wabah Covid-19 yang disusul pembatasan sosial berskala besar, pendapatan harian warteg yang dirintis lima tahun lalu itu sekitar Rp 3 juta per hari. Sejak pandemi, omzetnya anjlok jadi Rp 700.000 per hari. Padahal, untuk modal belanja bahan saja butuh Rp 1 juta per hari.
Selama di kampung, Dwi tidak bekerja. Ia dan keluarganya bertahan dari tabungan.
Beda lagi dengan para pegawai warteg yang tak ada tabungan. ”Sisa upah saya habis,” kata Retno (31), ibu tunggal satu anak, warga Kecamatan Tanjung, Brebes.
Di kampung tidak ada pemasukan. Musim tanam bawang merah jadi peluang baginya. Upah buruh tanam sekitar Rp 30.000 per hari, lebih rendah ketimbang upah buruh warteg Rp 50.000 per hari.
Data Pemkab Brebes, sedikitnya 103.516 pemudik tiba selama pandemi . Dari jumlah itu, 20.550 orang kembali selama larangan mudik, termasuk pakai jasa travel gelap.
Awak travel yang terjaring dalam operasi penyekatan beristirahat di area penyitaan barang bukti halaman Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (11/5/2020). Dalam kurun waktu tiga hari operasi penyekatan, yakni mulai 8 Mei hingga 10 Mei 2020, Polda Metro Jaya mengamankan 202 kendaraan travel gelap yang coba mengangkut 1.113 pemudik ke luar dari Jakarta.
Kembali ke Ibu Kota
Retno mengatakan, bosnya di Jakarta memintanya segera kembali. Namun, bosnya tidak mau mengurus segala persyaratan baginya untuk masuk Jakarta atau meminjamkan uang transportasi karena kesulitan.
”Kemarin, waktu mau pulang kampung dipersulit, sekarang mau kembali juga dipersulit. Padahal, di kampung hidupnya juga sulit,” katanya. Meski begitu, ia tetap bersemangat mengumpulkan modal menjadi buruh tani untuk kembali ke Jakarta.
Demikian pula Maman Abdurahman (48), pedagang bubur yang akan kembali ke Yogyakarta. Ia butuh penghasilan untuk istri dan tiga anaknya, bayar angsuran utang di bank Rp 350.000 per bulan, serta biaya anak masuk pesantren.
Protokol kesehatan juga akan saya jalankan.
”Saya akan kembali ke Yogya. Namun, sebelum jualan, saya akan karantina dulu untuk mencegah potensi penularan. Protokol kesehatan juga akan saya jalankan,” katanya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Brebes Djoko Gunawan mengatakan, pemkab menyiapkan dua kebijakan bagi warganya yang bekerja di luar daerah. Pertama, membantu mengurus kelengkapan administrasi bagi warga yang hendak kembali ke perantauan.
Kedua, warga Brebes yang tidak bisa kembali ke perantauan akan diberdayakan melalui program padat karya.
Namun, bagi para perantau tangguh, menyerah jelas bukan pilihan. Jiwa pantang menyerah membuat banyak keberhasilan. Sejauh ini, pandemi Covid-19 tidak membuat mereka menyerah, apalagi kalah.