Warga non-Muslim di Dusun Thekelan selalu menunggu shalat Id untuk berbaris dan mengucapkan selamat Idul Fitri, bermaafan, sambil bersalaman dan berpelukan. Meski tahun ini ditiadakan, toleransi antarumat tak terkikis.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Merawat silaturahmi antarumat beragama sejak lama, warga Dusun Thekelan di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, terpaksa merehatkan sejenak tradisi saling memberi salam secara fisik. Namun, toleransi tak lantas luntur. Pandemi tak kuasa memutus persaudaraan yang terjalin lintas generasi.
Setiap tahun, hari raya keagamaan umat beragama Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha dimaknai begitu mendalam oleh warga di Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Jalanan kampung disesaki warga yang berbaris rapi, bersalaman satu per satu. Meski berbeda keyakinan, masing-masing umat saling memeluk dan mengucapkan hari raya dengan tulus bahagia.
Namun, Minggu (24/5/2020), tradisi bermaafan lintas agama itu direhatkan di tengah pandemi Covid-19. Tahun-tahun sebelumnya, suasana bahagia sekaligus haru selalu dirasakan bersama di setiap hari raya, apa pun agamanya. Namun, kali ini mereka rela meniadakan itu sejenak demi memutus mata rantai Covid-19.
Biasanya, saat Idul Fitri, warga non-Muslim beramai-ramai menunggu warga Muslim shalat Id di sekitar masjid. Begitu shalat selesai, mereka yang beragama Buddha, Kristen, dan Katolik mengucapkan selamat sekaligus menjadi ajang saling bermaafan.
Begitu pula saat hari raya Waisak dan Natal. Warga membentuk barisan panjang untuk saling mengucapkan selamat kepada mereka yang merayakan hari besar agamanya. Pada Waisak, 7 Mei 2020, tradisi itu tidak dilakukan demi mengikuti anjuran pemerintah menjaga batas fisik.
Kepala Dusun Thekelan Supriyo (45), saat dihubungi dari Kota Semarang, Senin (25/5/2020), mengatakan, keadaan yang memaksa tradisi dihentikan sementara. ”Kami tak bisa seperti biasa, berjabat tangan ataupun berpelukan untuk saling memaafkan,” ujarnya.
Suasana kebersamaan tak lantas luntur. Pada malam Idul Fitri, warga Muslim tetap membagikan sembako kepada warga non-Muslim.
Hal tersebut menyesuaikan protokol kesehatan pemerintah. Kendati demikian, kata Supriyo, suasana kebersamaan tak lantas luntur. Pada malam Idul Fitri, warga muslim tetap membagikan sembako kepada warga non-Muslim.
”Pembagian dilakukan door to door (dari pintu ke pintu) oleh anak-anak muda masjid dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan. Ini juga sebagai permohonan maaf umat Muslim kepada umat non-Muslim. Yang jelas, kami harap wabah segera berlalu,” katanya.
Dusun Thekelan, di kaki Merbabu, terletak di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Warganya memeluk agama Buddha (mayoritas), Islam, Kristen, dan Katolik. Di dusun itu, ada tiga tempat ibadah, yakni Masjid Abu Bakr as-Siddiq, Wihara Buddha Bhumika, dan Gereja Thekelan.
Ketua Takmir Masjid Abu Bakr as-Siddiq Thekelan Satiman (34) menuturkan, pelaksanaan shalat Id sudah mengikuti anjuran pemerintah. Selain saf direnggangkan, juga tak ada kegiatan salam-salaman, bahkan sesama Muslim.
Rasanya tidak lengkap. Hati kecil saya inginnya tetap bersalam-salaman. Namun, kami ikuti saja anjuran pemerintah.
Tahun ini, tak ada warga pemeluk agama lain yang menunggu di sekitar masjid seakan menjadi bagian yang hilang dari perayaan Idul Fitri. ”Rasanya tidak lengkap. Hati kecil saya inginnya tetap bersalam-salaman. Namun, kami ikuti saja anjuran pemerintah,” ujarnya.
Hal serupa dirasakan Tugimin (41), pemeluk Buddha, yang juga pengurus Wihara Buddha Bhumika, Thekelan. Setelah pada perayaan Waisak, beribadah hanya dilakukan di rumah dan tak bersalam-salaman, kini saat Idul Fitri pun warga tak bisa mengucapkan langsung sambil berpelukan.
”Sebenarnya sedikit kecewa. Terasa kurang saja karena berkunjung tetangga sekarang dibatasi. Namun, kalau memberi ucapan setidaknya bisa lewat Whatsapp. Kami saling mengucapkan maaf lahir batin meski tidak bertemu langsung,” kata Tugimin.
Dalam arsip Kompas, 11 Juni 2018, Dimas Jumali, salah satu warga Dusun Thekelan, menuturkan, tradisi memberi ucapan selamat hari raya kepada umat agama lain yang sedang merayakan diajarkan kedua orangtuanya sejak kecil. Selain ucapan, mereka juga datang ke rumah warga untuk memperkuat tali silaturahmi. Hal itu juga dilakukan saat Idul Fitri dan Natal. Selama ini, dia belum pernah menemukan tradisi serupa di dusun atau daerah lain.
”Kata ibu dan bapak saya, kalau mau menyatukan Indonesia, harus menyatukan dusun dulu,” kata Dimas.
Untuk memeriahkan suasana, setiap kelompok agama dan komunitas warga biasanya membuat spanduk ucapan selamat hari raya yang ditempel dekat tempat ibadah. Di spanduk juga tertulis pesan-pesan perdamaian dan imbauan memperkokoh keutuhan bangsa.
Saat hari raya Idul Fitri, para pemuda perantau biasanya akan pulang sehingga suasana makin ramai. Supriyo mengisahkan, pluralisme di Dusun Thekelan sudah tertanam sejak tingkat keluarga. Tak jarang ditemukan dua atau tiga penganut agama berbeda dalam satu keluarga. Hal itu karena tradisi turun-temurun atau kebebasan dari orangtua. Meski demikian, rasa saling menghormati selalu dikedepankan agar damai selalu tercipta.
Puluhan tahun umat Islam, Nasrani, dan Buddha di Dusun Thekelan hidup berdampingan. Tak pernah ada perselisihan atau gesekan antarkelompok agama. Pada 2018, dari total 220 kepala keluarga, sekitar 50 persen penganut agama Buddha, 30 persen Muslim, serta 20 persen Katolik dan Kristen. Agama Buddha pertama masuk ke Dusun Thekelan tahun 1960-an dibawa leluhur asal Kota Salatiga.
Ketiga rumah ibadah yang kini ada juga dibangun secara gotong royong. Warga tanpa memandang latar belakang agama secara sukarela membantu pembangunan masjid, wihara, dan gereja.
Idul Fitri di Semarang
Di Kota Semarang, suasana perayaan Idul Fitri pada Minggu juga tampak berbeda. Tiga masjid besar di ibu kota Jateng itu, yakni Masjid Kauman, Masjid Baiturrahman, dan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), tak menggelar shalat Id.
Adapun beberapa masjid di sejumlah kecamatan di Kota Semarang tetap menggelar shalat Id dengan protokol kesehatan ketat. Terlihat juga sejumlah petugas yang berjaga. Tidak ada kegiatan salam-salaman atau bermaaf-maafan setelah shalat Id.
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jateng KH Ahmad Darodji memang menganjurkan warga untuk melaksanakan shalat Id di rumah masing-masing. Itu sebagai salah satu upaya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Menurut dia, hal itu merupakan pilihan terbaik di tengah pandemi. ”Apabila shalat tetap dilakukan di masjid atau lapangan, perilaku untuk tak berdekatan safnya, juga tak bersalaman, akan sulit. Belum lagi jika ada pendatang atau pemudik ikut shalat,” katanya.
Pandemi memang dirasakan menjadi salah satu ujian kerekatan antarmanusia yang mesti membatasi jarak fisik demi mencegah penularan Covid-19. Namun, persaudaraan yang sesungguhnya tentu bukan sebatas artifisial belaka. Pandemi justru menguji solidaritas anak bangsa, modal sosial terbesar negeri ini.