Pameran Kelemahan Koordinasi Respons Covid-19 di Sulawesi Utara
Setidaknya ada dua hal yang melemahkan respons terhadap Covid-19 di Sulawesi Utara, yaitu hubungan koordinasi provinsi-kabupaten/kota sesuai UU Pemerintahan Daerah dan latar belakang partai politik kepala daerah.
Paulus (52) melangkah dengan setandan pisang goroho hijau. Diikuti Rifai (32), keduanya meninggalkan semrawut kebun pohon pisang, pepaya, kelapa, dan pohon lainnya di bukit Desa Iloilo, Kecamatan Wori. Ati (55) telah menunggu di tepi kebun yang berbatasan dengan jalan dengan lima kelapa muda di sebelah pijakannya.
Mungkin keluarga kecil penduduk Minahasa Utara, Sulawesi Utara, itu tak dapat lagi memetik hasil bumi dari kebun. Cepat atau lambat, pepohonan buah di situ akan diratakan, berganti pekuburan khusus pasien positif ataupun terduga Covid-19 yang dikelola pemerintah provinsi.
Paulus tak rela, tetapi pasrah. ”Hati nurani menolak. Tetapi, kalau pemerintah mau ambil lahan ini, kami bisa apa? Pemerintah sudah ukur lahan, mau bikin pekuburan 5 hektar, enggak tahu kapan,” katanya saat ditemui pada Jumat (15/5/2020).
Calon lahan kubur itu hanya 500 meter dari permukiman warga di bawah bukit. Bahkan, ada pula rumah yang bersebelahan atau berseberangan dengan lahan itu. Seperti warga awam di sejumlah daerah, Paulus pun takut dan khawatir jenazah penderita Covid-19 yang dikubur di sana malah membawa gelombang wabah ke Desa Iloilo.
Saya tidak setuju. Masih banyak tempat lain yang tidak dekat kampung dan perumahan warga.
Kendati begitu, ia tak menyuarakan penolakannya seperti warga lain yang tinggal di bawah kaki bukit Desa Iloilo. Ratusan warga menggelar unjuk rasa pada akhir April lalu, tak lupa pula membentangkan spanduk penolakan makam khusus ”korban” Covid-19. Spanduk itu masih terpampang di pintu gerbang desa.
Entah kapan makam yang direncanakan Pemprov Sulut itu akan siap digunakan di tengah peningkatan jumlah kasus yang seakan tak kunjung menemui puncaknya. Namun, tak butuh waktu lama sampai makam khusus korban pandemi ini membuka jurang perselisihan antara Pemkab Minahasa Utara dan Pemprov Sulut.
”Saya tidak setuju. Masih banyak tempat lain yang tidak dekat kampung dan perumahan warga,” kata Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan sehari setelah warga Desa Iloilo menggelar aksi protes.
Vonnie menyatakan tidak ingin warga terpapar bahaya dan kehilangan sumber pangan. Sebab, sekalipun lahan eks hak guna usaha (HGU) itu adalah milik Pemprov Sulut, masyarakat juga memetik hasil bumi dari situ. ”Di dekat situ juga ada mata air untuk kehidupan warga sehari-hari,” katanya.
Di samping itu, Vonnie menegaskan tak ingin kecolongan lagi. Sebelumnya, Pemprov Sulut menetapkan gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Sulut di bilangan Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara, sebagai rumah singgah karantina orang dalam pemantauan (ODP). Namun, Vonnie merasa dilangkahi karena penetapan itu tidak dirundingkan dulu dengannya.
”Rumah singgah juga tidak ada koordinasi deng torang (kami, Pemkab Minahasa Utara). Dorang memang so nyanda ja permisi pa torang. Mar biar jo, nyanda apa-apa (Mereka memang sudah tidak pernah minta izin kepada kami, tetapi biarkan saja, tidak apa-apa),” kata Vonnie.
Sebelumnya, Gubernur Sulut Olly Dondokambey justru menyatakan pekuburan khusus kasus terkait Covid-19 itu bertujuan mengurangi penolakan masyarakat. Pemprov pun menyayangkan sikap Vonnie yang menolak alih-alih memberi pemahaman kepada warga.
Pak Gubernur sudah menyatakan, mudah-mudahan lahan ini tidak harus digunakan.
”Ada kepentingan yang lebih besar dan harus diutamakan. Tidak mungkin pemprov mengambil kebijakan serupa tanpa mempertimbangkan kesesuaian lahan,” kata Kepala Biro Pemerintahan Sulut Jemmy Kumendong.
Ia mengatakan, ego kepala daerah seharusnya ditinggalkan di tengah perjuangan melawan pandemi ini. Pertentangan baru mereda di awal Mei setelah pemprov menerbitkan surat edaran yang meminta pemerintah kabupaten/kota menyediakan lahan sesuai kesepakatan dengan warga di desa atau kelurahan.
Jemmy pun menyatakan, penolakan sudah mereda. ”Pak Gubernur sudah menyatakan, mudah-mudahan lahan ini tidak harus digunakan. Kalau jadi dipakai, semoga segala hal terkait penguburan berjalan lancar,” katanya.
Vonnie pun mengubah sikapnya. Ia menyatakan tak pernah tidak mendukung kebijakan Pemprov Sulut. ”Bukan saya menolak, tetapi harus ada koordinasi,” katanya.
Bagi pengajar ilmu politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, perselisihan soal makam ini adalah salah satu dari contoh eksplisit kelemahan respons Indonesia terhadap Covid-19 di daerah.
Baca juga : Indonesia Belum Memenuhi Syarat Melonggarkan Pembatasan Sosial
Akarnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hubungan provinsi dan kabupaten tidak lagi hierarkis sehingga gubernur tak bisa mengintervensi sikap bupati atau wali kota.
”Koordinasi vertikal pemerintahan buruk sekali. UU soal otonomi daerah kita memutus hubungan hierarkis antara provinsi dan kabupaten/kota. Bupati tidak lagi merasa sebagai bawahan gubernur, inilah yang terjadi di Minahasa Utara,” kata Ferry, Minggu (17/5/2020).
Pola hubungan provinsi-kabupaten/kota adalah koordinasi. Namun, rekomendasi yang diberikan pemprov kepada pemkab pun tidak harus diikuti karena tidak ada konsekuensi hukum berupa sanksi. Keadaan ini adalah paradoks dari fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. ”Seharusnya gubernur tidak hanya mengawasi, tetapi juga mengontrol. Karena fungsi itu tidak ada, respons di daerah terhadap Covid-19 jadi lemah,” kata Ferry.
Hal ini tampak tidak hanya dalam hal lahan kubur. Dalam penyaluran jaring pengaman sosial, misalnya, pemprov menyatakan tidak melarang warga menerima bantuan dari pemkab/pemkot. Sementara pemkab/pemkot mengumpulkan data warga terdampak Covid-19 dari lingkungan (setingkat rukun tetangga), Pemprov Sulut menghimpun data dari institusi agama sehingga kemungkinan ada tumpang tindih.
Warga kabupaten/kota juga warga Sulut.
”Tidak masalah kalau warga menerima bantuan dari berbagai pihak karena nilai bantuannya tidak seberapa. Kami juga tidak bisa melarang kabupaten/kota memberikan bantuan kepada warganya,” kata Jemmy Kumendong mewakili Pemprov Sulut, 27 April lalu.
Di Bitung, kepulangan sekitar 110 warga Sulut dari Ternate, Maluku Utara, dengan kapal via Pelabuhan Bitung pada 29 April lalu memantik gesekan antara Pemkot Bitung dan Pemprov Sulut. Wali Kota Bitung Max Lomban, yang ingin menutup pelabuhan sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur pembatasan angkutan darat, udara, dan laut, merasa dilanggar teritorinya.
Namun, Gubernur Olly tidak menganggapnya sebagai masalah. ”Warga yang tiba sudah langsung diisolasi di rumah singgah,” katanya.
Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, bantuan jaring pengaman sosial dari Pemprov Sulut sempat ditolak Dinas Pemberdayaan Desa setempat, awal Mei lalu. Alasannya, pelaku perjalanan dari Manado, yang sudah ditetapkan sebagai daerah transmisi lokal virus korona baru, harus dikarantina lebih dulu selama dua pekan.
Baca juga : Upaya Pencegahan Jadi Benteng Utama Pengendalian Covid-19
Di Manado, pertengahan April, Wali Kota Vicky Lumentut mengeluhkan ketiadaan saluran alat pelindung diri (APD) dari Pemprov Sulut. Vicky sampai menyatakan akan menyumbangkan gaji pribadinya untuk dibelanjakan APD. Niat ini kemudian diurungkannya, digantikan pernyataan terima kasih pada pemprov karena sudah menyalurkan APD.
Lemahnya koordinasi akibat pengaruh UU Pemerintahan Daerah ini diperburuk perbedaan latar belakang politik gubernur dan bupati/wali kota. Gubernur Olly (PDI Perjuangan) memang berseberangan dengan Vonnie, Max, dan Vicky (Nasdem) serta Bupati Sangihe Jabes Gaghana (Golkar).
”Bupati/wali kota yang bukan dari PDI-P tidak tunduk lagi pada gubernur. Koordinasi terputus gara-gara perbedaan background politik. Yang menurut hanya daerah yang bupatinya PDI-P juga, seperti Minahasa dan Minahasa Tenggara,” kata Ferry.
Hal ini terbukti dari perkataan Kepala Biro Pemerintahan Sulut Jemmy Kumendong. Selain di Desa Iloilo, pemprov juga menyiapkan makam khusus kasus kamatian akibat Covid-19 di Kalasey, Minahasa. Lahan dikelola bersama Pemkab Minahasa yang dikepalai Bupati Royke Roring dari PDI-P.
Baca juga : Antisipasi Episentrum Baru Covid-19
”Ini dua dari sekian kendala besar di Indonesia bagi sinkronisasi sinergi program antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kalau pemkot dan pemkab jalan sendiri-sendiri, upaya melawan Covid-19 tidak akan berhasil,” kata Ferry.
Pertarungan melawan Covid-19 belum berakhir pada 114 kasus per Minggu (17/5). Menurut Ferry, ada baiknya kepala daerah menanggalkan kepentingan lain dan bersinergi mengutamakan kemanusiaan.