Jangan Terlambat Lagi Memutus Potensi Ledakan Covid-19 di Sulteng
Kasus konfirmasi atau positif Covid-19 di Sulteng terus bertambah, bahkan ada gejala ”meledak” dalam dua minggu terakhir.
Kasus konfirmasi atau positif Covid-19 di Sulawesi Tengah terus bertambah, bahkan ada gejala ”meledak” dalam dua minggu terakhir. Salah satu kluster penularan kasus menjadi sorotan meskipun hal itu berawal dari tak antisipatifnya penanganan. Semua pihak kini perlu mengencangkan ikat pinggang untuk mengantisipasi potensi ledakan kasus selanjutnya.
Konfirmasi pertama Covid-19 di Sulteng dilaporkan pada 27 Maret 2020 dengan jumlah satu kasus. Sehari setelahnya, kasus kedua diumumkan. Kedua orang positif tersebut pernah bepergian ke Jakarta, yang karenanya dikategorikan kluster Jakarta.
Untuk beberapa waktu, perkembangan kasus positif berjalan landai hingga meledak di akhir dan awal Mei ini dengan tambahan 19 kasus di Kabupaten Buol. Tambahan 10 kasus pada Selasa (5/5/2020) sekaligus menjadi yang terbanyak dalam ekspose harian kasus per kabupaten.
Hanya tersisa lima dari 13 kabupaten/kota di Sulteng yang masih nol kasus.
Sebelumnya, ”rekor” sempat dipegang Kabupaten Morowali Utara dengan tambahan kasus harian sebanyak delapan orang yang merupakan orang-orang dekat Bupati Morowali Utara Aptripel Tumimomor, kepala daerah pertama yang meninggal karena Covid-19.
Hingga Kamis (7/5/2020), jumlah kasus di Sulteng tercatat 75 kejadian positif dengan Kabupaten Buol tertinggi (29 kasus), disusul Kota Palu (16 kasus). Adapun dua daerah terbaru yang melaporkan kasus yakni Kabupaten Tolitoli (5) dan Banggai Kepulauan (1). Hanya tersisa lima dari 13 kabupaten/kota di Sulteng yang masih nol kasus, yakni Banggai, Banggai Laut, Tojo Una-Una, Parigi Moutong, dan Donggala.
Ledakan kasus akhir-akhir ini berasal dari kluster Itjima Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pertemuan akbar itu rencananya diselenggarakan pada 19-22 Maret 2020. Namun, karena permintaan dari berbagai pihak, pertemuan urung dilakukan meskipun peserta sudah berkumpul beberapa hari di lokasi kegiatan.
Pertemuan diikuti peserta dari sejumlah daerah di Indonesia, termasuk yang saat itu sudah terpapar, seperti Jakarta. Bahkan, peserta juga datang dari negara-negara Asia yang juga sudah melaporkan kasus, seperti Malaysia. Di Sulteng, peserta pertemuan akbar tersebut tercatat sekitar 3.000 orang dari sejumlah kabupaten.
Hampir semua kasus di Buol dan Tolitoli serta sebagian di Palu merupakan Kluster Itjima Gowa. Jumlahnya separuh dari total kasus yang ada dan masih berpotensi bertambah karena sebagian lainnya yang masih dikarantina merujuk hasil tes cepat (rapid test) terindikasi reaktif. Di Buol, misalnya, sebanyak 59 orang dikarantina. Di Tolitoli, 9 orang dikarantina.
Jika merunut ”ledakan” Kluster Itjima Gowa di Buol, setidaknya terbentang cukup waktu antara selesainya pertemuan akbar dan temuan kasus pertama. Kasus pertama di Buol dari kluster tersebut dilaporkan pada pertengahan April. Artinya, ada waktu sekitar satu bulan yang disia-siakan untuk mengantisipasi lebih awal kasus. Tak sigapnya pemerintah dari awal pun kini dibayar mahal.
Artinya, penularan sudah terjadi dari peserta itjima ke orang lain dan orang lain itu menularkan lagi ke yang lainnya.
Setelah kasus pertama dari Kluster Itjima Gowa itu, pemerintah lalu mengetes dengan metode pemeriksaan cepat terhadap sekitar 40 orang. Hasilnya pun reaktif terhadap Covid-19. Untuk konfirmasi lebih lanjut, sampel mereka dikirim ke laboratorium Makassar, Sulawesi Selatan. Dari situlah lonjakan kasus terjadi di Buol dan Sulteng umumnya.
Hingga Selasa (5/5/2020), Bupati Buol Amiruddin Rauf mengonfirmasi ada sekitar 80 orang dari kluster tersebut yang reaktif Covid-19. Sebagian dari mereka dikarantina di rumah susun sewa di kabupaten itu dengan pengawasan tenaga kesehatan.
Namun, Amiruddin menuturkan, dari kluster tersebut, juga telah terjadi transmisi lokal. Artinya, penularan sudah terjadi dari peserta itjima ke orang lain dan orang lain itu menularkan lagi ke yang lainnya. Kementerian Kesehatan mengonfirmasi status transmisi lokal itu pada Jumat (8/5).
Kondisi itu ”memaksa” Amiruddin mengusulkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ke Kementerian Kesehatan. Langkah itu untuk memutus mata rantai penularan kasus lebih jauh, terutama di tengah masih tak disiplinnya warga dan adanya resistensi warga dalam pelacakan kasus.
Meskipun PSBB berawal dari kelengahan atas fakta yang jelas di depan mata, langkah itu kemajuan untuk mengantisipasi pertambahan kasus. Keadaan di Tolitoli juga tak berbeda jauh. Letupan kasus dari Kluster Itjima Gowa di Tolitoli lebih lambat daripada di Buol, hampir 1,5 bulan rentang waktunya. Empat kasus konfirmasi dari kluster tersebut diumumkan pada Rabu (6/5/2020).
Baca juga: Antisipasi Episentrum Baru Covid-19
Pola penanganannya sama dengan Buol, yakni didahului rapid test lalu dikarantina dan sampel usapnya diperiksa. Potensi tambahan kasus masih tinggi karena yang sudah dites cepat baru separuh dari 237 peserta itjima yang terdata per 6 April.
Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Tolitoli Arham Yacub memastikan pelacakan kontak orang yang positif Covid-19 terus dilakukan. Tolitoli menjadi anomali kerena daerah itu pertama kali menerapkan kuncitara terbatas akhir Maret hingga saat ini.
Perbatasan dengan kabupaten lain ditutup untuk mengurangi mobilitas orang yang bisa jadi membawa Covid-19. Hanya kendaraan yang mengangkut bahan pokok dan bahan bakar minyak yang beroperasi.
Di Palu, ”ledakan” kasus dari Kluster Itjima Gowa terjadi pada awal April, sekitar dua minggu sejak pertemuan akbar itu dilakukan. Berawal dari satu orang, lalu menular ke anggota keluarga yang totalnya menjadi lima orang. Satu di antaranya meninggal dengan status konfirmasi Covid-19.
Baca juga: Ribuan Kematian Terkait Covid-19 yang Tak Tercatat
Sejak saat itu, Pemerintah Kota Palu memantau dengan ketat peserta pertemuan akbar itu. Mereka melaksanakan isolasi mandiri di rumah. Meskipun masih terlalu dini untuk dinilai, langkah itu cukup berhasil memutus mata rantai kasus.
Dosen epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako, Palu, Adhar Arifuddin, menyatakan, sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi pada awal Maret, mestinya semua elemen bekerja untuk mencegah penyakit. Tidak ada lagi waktu lengah karena Covid-19 telah menjadi ancaman global. ”Kita menerapkan sebagian besar langkah di negara yang berhasil menekan laju penularan, tetapi kurang ketat dalam melaksanakannya,” ujarnya.
Adhar merujuk Vietnam yang sejak Januari mendeklarasikan perlawanan terhadap Covid-19 yang saat itu masih melanda Wuhan, China, tempat asal virus. Sejak itu pula, negara tersebut menerapkan secara ketat karantina terhadap orang-orang yang pulang dari bepergian, pembatasan sosial, jaga jarak fisik, dan surveilans kasus. Alhasil, hingga akhir April, Vietnam ”hanya” mengalami 270 kasus positif Covid-19 dengan 224 orang sembuh dan nol kasus kematian.
Terlepas dari keterlambatan antisipasi dari awal, Adhar menyatakan, saatnya semua struktur pemerintah bekerja keras. Ia menekankan pentingnya partisipasi masyarakat. Masyarakat paling bawah perlu dilibatkan agar bisa melacak kasus.
Baca juga: Antisipasi Mutasi Virus Korona
Penapisan (pemisahan orang yang berpotensi menularkan kasus) harus dilakukan hingga tingkat rukun tetangga (RT). Siapa yang harus dikarantina paling tepat diketahui oleh masyarakat di tingkat RT.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sulteng Jumriani Yunus memastikan, pihaknya sudah memberitahukan kabupaten/kota untuk melacak semua yang termasuk Kluster Itjima Gowa. Semakin banyak temuan kasus, semakin sempit penularan berkembang.
Sulteng pun kini memiliki momentum bagus untuk ”membunuh” Covid-19 dengan dioperasikannya alat tes sampel usap tenggorokan (swab) reaksi berantai polimerase (PCR). Lima pasien yang diumumkan pada Rabu (6/5/2020) adalah hasil pemeriksaan melalui alat tersebut yang diintegrasikan di Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Sulteng.
Jika sebelumnya gugus tugas harus menunggu 4-5 hari untuk memperoleh hasil dari laboratorium di Makassar, Sulawesi Selatan, kini dengan fasilitas PCR sendiri hanya butuh enam jam. Lekasnya memperoleh hasil berguna untuk melacak dengan cepat riwayat kontak pasien konfirmasi. Dengan begitu, ruang penularan bisa dipersempit.
Belajar dari kelengahan, kini saatnya bergerak lebih sigap karena taruhannya bukanlah cuma angka-angka statistik, tetapi keselamatan manusia. Sulteng memiliki momen dengan hadirnya alat PCR. Jangan terlambat lagi.