Penyaluran berbagai macam bantuan sosial di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dikhawatirkan dapat memicu ketegangan, konflik, dan masalah baru di masyarakat.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Penyaluran berbagai macam bantuan sosial di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dikhawatirkan dapat memicu ketegangan, konflik, dan masalah baru di masyarakat. Selain karena data penerima yang dianggap kurang valid, konflik berpotensi muncul karena bantuan tersebut hanya menyentuh kurang dari 10 persen warga miskin yang terdampak Covid-19.
Heri Purwanto, Kepala Desa Krincing, Kecamatan Secang, mengatakan, hingga Kamis (30/4/2020) memang belum ada dana bantuan sosial yang cair. Kendati demikian, saat ini, dia sudah merasa cemas karena sebagian data warga penerima yang diperolehnya dari pemerintah pusat dan provinsi tidak sesuai kondisi di lapangan.
Selain karena ada beberapa nama warga yang saat ini tergolong sebagai warga mampu yang tidak layak dibantu, data tersebut dinilainya janggal karena masih memuat sejumlah nama yang sudah meninggal. Kejanggalan lain adalah ada satu keluarga yang masih terdata dalam satu kartu keluarga, tetapi ayah dan anaknya masing-masing terdata sebagai penerima bansos untuk keluarga yang berbeda.
Kondisi data yang tidak valid dan janggal tersebut, menurut Heri, dipastikan akan menimbulkan masalah saat pencairan bansos. ”Kami, pemerintah desa, dusun hingga RT, nantinya akan menjadi sasaran amuk massa dari warga yang merasa tidak puas terhadap penyaluran bansos kali ini,” ujarnya.
Tidak hanya terkait data yang kurang valid, kriteria penerima bansos yang masih membingungkan dan tidak dipahami seragam oleh semua desa juga rentan memicu masalah.
Marpomo, Kepala Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, mengatakan, berdasarkan informasi dan arahan yang diterima, warga yang berhak menerima bansos adalah warga yang benar-benar miskin. Di Desa Wonolelo terdata 173 keluarga yang masuk kategori itu.
Namun, belakangan, dia pun cemas karena desa-desa lain tidak melakukan hal serupa dan justru mengajukan seluruh warganya sebagai masyarakat yang layak mendapatkan bansos. Kondisi ini dikhawatirkan memicu kecemburuan sosial dan menimbulkan aksi protes warga kepada Pemerintah Desa Wonolelo.
”Jika penerima bansos di desa lain jauh lebih banyak, maka warga Desa Wonolelo nantinya pasti akan curiga dan menuduh kami sengaja menahan atau menyimpangkan dana,” ujarnya.
Jika kemudian nantinya harus meredam protes dengan memberikan bantuan menggunakan dana desa, menurut dia, Pemerintah Desa Wonolelo akan kewalahan. Nominal bansos yang wajib dialokasikan dari dana desa adalah Rp 600.000 per keluarga. Bantuan tersebut akan diberikan selama tiga bulan.
Bety Kurniawati, perangkat Desa Windusari, Kecamatan Windusari, mengatakan, masalah juga berpotensi muncul karena dana bantuan sosial hanya mampu menyentuh kurang dari 10 persen dari jumlah warga miskin yang sebenarnya sangat membutuhkan bantuan.
Dengan kondisi tersebut, Bety mengatakan, pihaknya berharap pemerintah pusat dan provinsi mau mengubah kebijakan, yakni dengan mengurangi nominal bantuan dan memperbanyak jumlah penerima. ”Walaupun nominal bantuan berkurang, bantuan yang bisa dirasakan banyak orang nantinya akan cukup efektif untuk meredam protes masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, dengan bersama-sama menerima bantuan, akan membuat warga merasa setara dan diperlakukan adil oleh pemerintah desa. Pemerataan bantuan tersebut, menurut dia, dirasakan penting karena semua warga di sembilan dusun di Desa Windusari juga menjadi korban terdampak wabah Covid-19. ”Kehidupan ekonomi semua terganggu karena wabah Covid-19,” ujarnya.