Jatuh Bangun Liputan Jembatan Putus di Pedalaman Solok, Sumatera Barat
Pengalaman wartawan Kompas meliput banjir di pedesaan Sumatera Barat. Menghadapi kondisi beragam, mulai dari jalan rusak, bertemu babi hutan, kesulitan mendapat sinyal, sampai terjatuh di tengah jalan.
Sebagian orang, termasuk saya, berpikir, ditugaskan sebagai jurnalis di kampung halaman, Sumatera Barat, tidak begitu menantang. Sebagai orang lokal, awalnya terpikir, wilayah Sumbar sudah saya kuasai.
Namun, setelah beberapa minggu bertugas, tantangan demi tantangan berdatangan. Ternyata masih banyak daerah di tanah kelahiran sendiri yang belum tereksplorasi.
Salah satunya, saat harus ke pedalaman Kabupaten Solok untuk meliput banjir pada Februari 2020 silam. Perjalanan ini saya lalui dengan berbagai rintangan, mulai dari jalan nan berlubang, kesulitan sinyal, bertemu babi hutan di tengah jalan, ketakutan dibegal, hingga terjatuh saat bersepeda motor.
Curah hujan tinggi, Sabtu (8/2/2020), kembali memicu bencana hidrometeorologi di Sumbar. Kali ini Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung yang mendapat musibah. Dua jembatan akses warga desa di kedua kabupaten itu hanyut dibawa sungai yang meluap. Rumah penduduk juga terendam banjir. Selama November 2019-Februari 2020, banjir, tanah longsor, dan banjir bandang silih berganti melanda kabupaten/kota di Sumbar.
Sabtu siang itu, saya mengunjungi Jorong Balai Gadang, Nagari Sungai Durian, Kecamatan IX Koto Sungai Lasi, Kabupaten Solok. Banjir sebenarnya juga merendam rumah warga di nagari lain di Solok dan Sijunjung. Namun, rencana evakuasi dengan tali terhadap 75 warga terisolasi akibat jembatan putus di Jorong Balai Gadang menarik saya ke sana.
Butuh waktu dua jam lebih perjalanan darat dari pusat Kota Padang ke lokasi jembatan putus yang berjarak 76 kilometer. Ini tidak termasuk lama waktu tersesat. Adapun dari Arosuka, ibu kota Kabupaten Solok, jarak ke lokasi sekitar 37 kilometer. Dengan bantuan Google Maps, saya meraba-raba jalan yang tidak pernah saya lewati sebelumnya.
Perjalanan menuju Jorong Balai Gadang tidak begitu saya perhatikan. Saat itu, fokus utama adalah sampai ke lokasi bencana sesegera mungkin dan memotret proses evakuasi sebelum matahari redup.
Seperti jurnalis Kompas lainnya yang bertugas di daerah, saya menjadi pemain tunggal. Tugas jurnalis di daerah tidak hanya wawancara dan menuliskan peristiwa tetapi juga mengambil foto.
Beberapa kilometer menjelang sampai, yang teringat hanyalah daerah berbukit, akses jalan kecil dan berlubang, perkebunan karet dan durian di kanan kiri-jalan, serta kandang ayam buras yang jauh dari permukiman. Badan terasa licin akibat rembesan sisa hujan yang mengalir dari arah bukit.
Setelah beberapa kali tersesat dan bertanya karena kehilangan arah saat hilang sinyal, sampai juga saya di Jorong Balai Gadang sekitar pukul 15.40. Sore itu, Sungai Batang Laweh yang membelah nagari masih mengamuk. Aliran air yang cokelat pekat begitu deras mengikis tebing-tebing sungai.
Jembatan putus sepanjang 15 meter itu hanya menyisakan pondasi batu di kedua sisi. Padahal, jembatan itu satu-satunya penghubung permukiman dengan kebun durian, sawah, dan peternakan warga. Karena sedang musim durian, sebanyak 75 warga yang sedang panen terjebak di seberang sungai.
Kepala BPBD Kabupaten Solok Armen menjelaskan, air mulai naik pada dini hari. Sementara, hanyutnya jembatan baru disadari pagi hari saat warga hendak menyeberang. Ketinggian air bertambah tiga meter dibandingkan saat normal.
“Sehari-hari kedalaman air hanya sekitar 30 sentimeter. Kalau hari biasa, warga bisa menyeberang tanpa jembatan,” kata Armen.
Sejumlah warga dan Kepala Jorong Balai Gadang Cal Putra mengaku, jembatan itu menjadi akses penting. Sebagian besar warga, termasuk warga Nagari Sungai Durian, memiliki kebun durian di seberang sungai. Saat musim panen, durian menjadi tumpuan utama pendapatan mereka. Puluhan keluarga akan tinggal di pondok-pondok di kebun, menunggui durian jatuh selama musim panen.
Nagari Sungai Durian termasuk salah satu penghasil durian di Kabupaten Solok. Memang tidak ada data resmi jumlah durian yang dipanen di sini. Namun, setiap harinya puluhan mobil pikap mondar-mandir ke sini untuk mengangkut durian ke daerah lain. Tidak hanya ke wilayah Sumbar, melainkan juga hingga ke Riau. Para pengepul durian dari kecamatan lain juga sampai mencari durian ke sini.
Sayangnya, ikhtiar saya mencari foto ke pedalaman berbuah kecewa. Momen-momen heroik ketika warga dievakuasi dengan tali urung terjadi. Puluhan warga di seberang tidak bersedia dievakuasi.
Kekecewaan semacam ini wajar dalam pekerjaan jurnalistik. Tidak semua kondisi lapangan sesuai rencana dan perkiraan.
Kata Armen, sebagian warga, terutama wanita, takut menyeberang dengan tali walaupun sudah dipastikan keamanannya. Mereka tak tahan melihat riak-riak air yang seolah hendak menggulung badan ke bawah.
Sebagian lagi enggan dievakuasi karena tak rela membiarkan durian-durian di kebun jatuh dan membusuk begitu saja. Mereka merasa tetap tenang karena kebutuhan logistik dapat dikirim dengan tali.
Akhirnya, yang dapat dilakukan hanya memaksimalkan apa yang didapat di lapangan. Foto-foto yang didapat sekadar pengiriman hasil panen durian ke permukiman atau pengiriman bantuan logistik ke seberang. Seiring dengan matahari yang terus meredup, saya menunggu momen-momen terbaik yang mungkin dapat diabadikan.
Sembari menunggu momen untuk difoto, saya sempat membeli empat durian yang baru dipanen. Sayang rasanya melewatkan begitu saja kesempatan mencicipi durian segar langsung dari kebunnya. Lagi pula harganya murah, hanya Rp 10.000 per buah untuk durian ukuran besar. Durian kecil dihitung setengah harga.
Jika beli di Pasar Sirukam, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, sekitar 12 kilometer dari sini, harganya melonjak menjadi Rp 25.000-Rp 30.000 per buah. Di Kota Padang, harga durian sebesar itu bisa naik hingga lima kali lipat. Padahal, para pengepul hanya membeli durian besar seharga Rp 8.000 per buah dari petani. Di mana-mana, petani lokal memang selalu jadi pihak yang kalah.
Menjelang magrib hanya dua momen yang relatif bernilai untuk difoto. Sepasang warga secara bergantian menyeberang ke permukiman. Saya tak menyia-nyiakan pemandangan ini. Namun, momen itu sebenarnya sekadar untuk menunjukkan kepada Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit yang berkunjung ke lokasi tentang bagaimana susahnya warga menyeberang.
Babi hutan
Dibandingkan keberangkatan, perjalanan pulang ke Kota Padang ternyata menyimpan tantangan lebih berat. Di bawah langit yang semakin menghitam, saya harus bergegas karena deadline artikel dan foto di depan mata. Saya segera angkat kaki dari Jorong Balai Gadang.
Kondisi permukiman di sekitar lokasi kejadian sebenarnya relatif kondusif untuk mengetik, mengirim berita dan foto. Sinyal 4G di sana relatif stabil untuk ukuran pedalaman. Namun, mengingat jalan pulang yang bakal ditempuh, saya berjudi dengan mencicil jalan pulang menuju permukiman yang lebih dekat ke kota.
Sayangnya, perjudian itu perlahan mulai mencemaskan. Baru dua kilometer meninggalkan permukiman, keraguan mulai menjebak. Berkendara di tengah kebun karet dengan hanya berbekal penerangan sepeda motor Honda Beat membuat saya ragu.
Apa benar jalan yang saya tempuh? Saya tidak yakin apakah sudah di jalan yang benar atau justru semakin jauh dari tujuan. Jangan-jangan saya sudah disesatkan oleh hantu aru-aru?
Tiada tempat bertanya di tengah rimba karet itu. Saya berhenti sejenak tapi tak ada satu pun warga yang lewat. Di sekitar juga tidak ada rumah. Kesunyian yang dikuasai suara cengkerik menyergap tengkuk.
Google Maps yang biasanya dapat diandalkan, mendadak pusing. Jarum petunjuk arah hanya berputar-putar kebingungan karena kehilangan sinyal. Kembali ke titik mula bukan pilihan.
Di tengah keraguan, perjalanan pun dilanjutkan. Namun, bukan titik terang yang datang. Kegundahan justru semakin menjadi-jadi. Seekor babi hutan dengan santai mengendus-endus badan jalan. “Ngok, ngok,” begitu suaranya. Untung suara klakson berhasil membuatnya lari pontang-panting.
Sebenarnya, bukan babi yang saya takutkan. Ketika ikut berburu di pedalaman Limapuluh Kota semasa SMA atau menyusuri Sungai Batanghari di Solok Selatan pada November silam, sudah sering saya bersirobok dengan rombongan babi. Yang lebih saya takutkan, keberadaan babi bisa mengundang inyiak alias harimau. Masih tergambar di kepala sebuah video di Instagram: dua pengendara sepeda motor nyaris diterkam harimau saat berada di jalan aspal di tengah hutan.
Takut dibegal
Perjalanan yang terasa amat panjang itu perlahan menemukan harapan. Keteguhan hati mempertemukan saya pada tiga pengepul durian dari Nagari Selayo, Kubung, Kabupaten Solok. Mereka mengendarai dua sepeda motor untuk mengangkut durian. Tujuan kami sama, ke arah kota.
Sialnya, satu sepeda motor mereka rusak sehingga harus ditarik dengan sepeda motor lainnya. Salah seorang pengepul memanggil saya lewat pekikan klakson. Pria paruh baya itu tingginya sekitar 150 sentimeter.
Samar-samar terlihat sesosok tubuh kurus serta kaos dan celana dasarnya yang lusuh. Dengan cara memohon, dia minta tumpangan hingga persimpangan jelang Pasar Sirukam, sekitar tujuh kilometer dari lokasi, agar beban rekannya ringan.
Permohonan itu membuat harapan yang baru didapat menguap bagai setitik air yang jatuh di wajan panas. Saya takut dibegal. Mereka bisa saja menusuk dari belakang dan membuang mayat saya ke dalam jurang. Tiada yang akan mengetahui kecuali cengkerik nan bernyanyi dan Tuhan yang Maha Tahu. Ketakutan saya bergulat dengan perasaan iba.
Walakin, saya akhirnya menerima permintaan itu. Setidaknya, berkendara dengan warga lokal tidak akan tersesat. Namun, tubuh tetap waspada. Jika di belakang ada gerak-gerik mencurigakan, tangan dan kaki sudah siap membela diri. Empat durian dekat bantalan kaki juga siap dilemparkan bila ada yang macam-macam.
Lima belas menit berlalu, kami tiba di tujuan. Jalan mulai terang. Rumah-rumah penduduk, warung, dan rumah makan berjejer di kiri kanan jalan. Kami berpisah di persimpangan jalan seusai berbalas kata terima kasih. Si pengepul menunggu rekan-rekannya di sebuah pondok.
Hilang sinyal
Saya singgah di rumah makan untuk menuntaskan pekerjaan yang hampir sejam lewat dari deadline. Sekretaris redaksi mulai menagih berita untuk segera dikirimkan. Berita bakal digabung dengan rekan lain di Purwakarta dan Cirebon, Jawa Barat. Jam di ponsel menunjukkan pukul 19.40. Saya janjikan semuanya tuntas pukul 20.30.
Tanpa pikir panjang saya memesan segelas kopi ke empunya warung. Tidak enak menumpang kerja tanpa pesan apa-apa. Agar ia tidak keberatan, saya bubuhkan janji memesan nasi bila naskah dan foto telah dikirim. Segelas kopi hitam panas segera datang di meja makan.
Setengah jalan mengetik naskah dengan ponsel, saya baru sadar jaringan internet begitu lelet. Sinyal di ponsel berganti-ganti dari EDGE, 3G, HSDPA, hingga 4G. Penanda kekuatan jaringan tak pernah lebih dari dua batang. Untuk sekadar mengecek kebenaran nama lokasi di peramban saja tidak bisa. Malam semakin larut. Saya teruskan mengetik dengan catatan dan rekaman yang ada.
Pukul 20.31, saya baru bisa mengirimkan naskah berita. Itu pun dikirimkan via pesan WhatsApp ke sekretaris redaksi. Sinyal tak mampu membuka laman situs pengiriman naskah. Kepada sekretaris, saya janjikan segera menyusulkan foto-foto melalui aplikasi yang digunakan redaksi.
Sesuai janji, saya memesan nasi tetapi dibungkus. Sembari menunggu, berkelanalah saya berjalan kaki mencari sinyal. Kata empunya warung, sinyal kuat ada di pojok kanan warung. Jaringan di titik itu memang lebih bagus dibanding di dalam tapi tak cukup kuat untuk mengirim foto. Saya beringsut ke pojok kiri warung, bertanya ke penjaga toko di seberang. Sebuah rumah kosong di atas tebing pun ditunjuk.
Sesampainya di rumah itu, foto-foto dan keterangannya saya kirimkan. Bocah perempuan penjaga toko terheran-heran melihat saya berjingkat-jingkat sembari mengayun-ayunkan ponsel mencari sinyal. Saya jadi salah tingkah.
Awalnya, proses mengunggah foto relatif lancar. Namun, di tengah jalan, proses mulai tersendat. Jingkat-jingkat dan ayunan ponsel tak lagi mempan. Simbol proses loading berhenti berjalan. Saya akhirnya terpaksa angkat kaki melihat sinyal yang pantang diharapkan. Nasi dan kopi dibayar, sepeda motor pun diracak.
Barulah setelah lima kilometer kemudian, ketika memasuki Jalan Solok-Alahan Panjang, sinyal stabil ditemukan. Tanpa hambatan, baris loading bergeser cepat. Tempat saya menepi, dekat dengan sebuah restoran di pinggir tebing. Dari titik ini, terlihat panorama indah Kota Solok, yang wilayahnya nyaris dikepung oleh Kabupaten Solok. Kerlap-kerlip lampu rumah seperti hendak menandingi bintang di angkasa.
Jatuh bangun
Terkirimnya naskah berita dan foto membuat badan serasa terbang. Beban deadline di kepala, pundak, dan lengan, terangkat sudah. Yang tersisa hanya rasa lega dan sedikit rasa lelah. Hati makin berbunga teringat empat durian siap disantap setiba di rumah. Durian-durian ini sempat hendak saya tinggal karena membuat kaki pegal.
Namun, perjalanan menuju Kota Padang belum sampai setengahnya. Butuh waktu satu setengah jam atau 59 kilometer lagi untuk sampai di rumah. Walakin, perjalanan tak lagi terasa berat. Tak perlu bergulut-gulut memacu kendaraan. Seperti sebelumnya, jalan raya lengang dari pengendara.
Akan tetapi, kelegaan dan kelelahan membuat diri terlena. Pegangan tangan ke pedal gas tak lagi kuat. Pandirnya saya, tangan kiri masih menggenggam ponsel untuk mengecek peta. Di salah satu titik landai Jalan Muara Panas, dua kilometer dari restoran tempat terakhir berhenti, sepeda motor berat ke kanan. Roda kehilangan daya cengkeram karena badan jalan licin karena rembesan air. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya jatuh dari sepeda motor.
Secara reflek, saya ikuti saja ke mana arah jatuh. Tanpa perlawanan. Sepatu, kaki, dan pantat bagian kanan bergesekan dengan aspal mengikuti laju sepeda motor. Telapak tangan kanan turut menyentuh aspal ketika membantu menahan beban. Kaki kanan terhimpit badan sepeda motor. Dua-tiga detik saya masih bingung apa yang telah terjadi.
Beruntungnya, ketika terjelepok di tengah jalan, tidak ada kendaraan melintas dari belakang. Beruntungnya pula, ada dua pemuda bersepeda motor dari arah depan berhenti dan menolong saya. “Matikan motornya, Bang. Jangan pegang gas. Matikan kontak,” kata salah seorang dari mereka. Waktu itu, sepeda motor memang sudah mati otomatis karena pedal gas terlepas.
Mereka kemudian membantu saya berdiri dan melepaskan himpitan sepeda motor. Saat kesadaran sudah kembali ke badan, saya menegakkan lagi sepeda motor dan menaikkan durian yang ikut jatuh. “Terima kasih banyak, Bang,” balas saya. Dua pemuda itu baru pergi ketika benar-benar yakin saya sudah kembali menguasai diri.
Saya meneruskan perjalanan beberapa puluh meter hingga bertemu sebuah warung yang tutup. Dengan penerangan seadanya dari lampu warung, saya memeriksa apa tubuh yang cedera dan apa benda yang rusak. Sebab, seusai jatuh, muncul rasa heran. Rasanya tak seperti yang dibayangkan. Padahal, kaki kanan tertimpa sepeda motor.
Hanya ada sedikit perih di telapak tangan karena lecet seukuran biji jagung. Pantat juga selamat karena tertahan dompet meskipun kantong celana koyak. Sepeda motor turut bebas dari lecet. Tak ada goresan berarti akibat terseret di aspal.
Keanehan baru terjawab di rumah ketika saya menyantap durian tengah malam. Satu durian lecet cukup parah dan kehabisan duri. Ternyata, saat terjatuh, durianlah yang terseret dan menahan beban sepeda motor. Malam itu, empat durian menyelamatkan saya.