NTB Kembangkan Pelet Sampah untuk Substitusi Batubara PLTU
Energi berbasis sampah dikembangkan di TPA Kebon Kongok, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Energi alternatif ini mulai diproduksi bulan depan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
GERUNG, KOMPAS — Pemerintah Nusa Tenggara Barat mengembangkan pelet dari sampah sebagai substitusi batubara yang bisa digunakan untuk rumah tangga ataupun pembangkit listrik tenaga uap. Energi alternatif ini mulai diproduksi bulan depan.
Penelitian dan pengembangan pengelolaan sampah sebagai energi baru terbarukan itu merupakan sinergi Indonesia Power, Perusahaan Listrik Negara Unit Induk Wilayah NTB, dan Pemerintah Provinsi NTB. Kegiatannya berlangsung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok, Lombok Barat.
Penelitian dan pengembangan itu dilaksanakan melalui teknologi Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS). Di NTB, kegiatan itu disebut JOSS atau Jeranjang Olah Sampah Setempat. Jeranjang merujuk pada PLTU Jeranjang yang akan menggunakan pelet sampah.
Baca juga: Pemanfaatan Gas Rawa di Grobogan Jadi Percontohan Mandiri Energi
Proses produksi sampah sebagai pelet atau refuse derived fuel (RFD) dimulai dengan proses peuyeumisasi, yakni penumpukan sampah organik dengan bioaktivator dilakukan selama 7 hari. Setelah itu, dilakukan pencacahan sampah, lalu dicetak menjadi pelet. Nantinya, pelet bisa digunakan untuk bahan bakar rumah tangga dan paling besar adalah untuk pengganti batubara.
Tim ahli Power Indonesia, Arief Nurhidayat, Senin (9/3/2020), mengatakan, penelitian dan pengembangan energi pelet RDF di NTB sudah dimulai sejak 2019. Mereka telah melakukan uji bakar, uji operasional, dan performance test di PLTU Jeranjang. Menurut rencana, bulan depan pelet bisa diproduksi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sempat mengunjungi dan melihat langsung proses pembuatan pelet sampah itu pada Minggu (8/3).
Menurut Siti, selain sebagai solusi persoalan sampah di NTB, pemanfaatan teknologi itu mendukung pengembangan energi baru terbarukan dari pemerintah.
Siti mengunjungi TPA Kebong Kongok, sekitar 9 kilometer selatan Mataram, ibu kota NTB, didampingi antara lain Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan wakilnya, Sitti Rohmi Djalillah, General Manager PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Unit Induk Wilayah NTB Rudi Purnomoloka, Direktur Bisnis PT PLN (Persero) Regional Maluku Papua dan Nusa Tenggara Ahmad Rofiq, serta Direktur PT Indonesia Power M Ahsin Sidqi.
Siti mengatakan, dirinya sudah melihat dan mendengar langsung penjelasan tentang teknologi RDF yang mengolah sampah menjadi bahan bakar dalam bentuk biomassa pelet.
”Ini bisa menjadi substitusi batubara bagi pembangkit listrik tenaga uap, juga untuk gas (rumah tangga). Apalagi, mesinnya dibuat sendiri,” kata Siti.
Baca juga: Kebijakan Energi Tidak Konsisten
Menurut Siti, teknologi tersebut bagus karena bisa menjadi substitusi batubara, terutama bagi PLTU. Apalagi, itu sejalan dengan program pemerintah pusat. ”Secara nasional, rapat-rapat tentang penanganan atau pengembangan energi baru terbarukan sedang diintensifkan oleh menteri terkait,” kata Siti.
Secara nasional, rapat-rapat tentang penanganan atau pengembangan energi baru terbarukan sedang diintensifkan oleh menteri terkait.
Menurut Siti, pengembangan energi baru terbarukan sudah harus memulai itu karena emisi gas rumah kaca dari batubara sudah harus bisa dikendalikan.
”Oleh karena itu, langkah ini (JOSS) sudah sangat baik. Ini contoh yang konkret di lapangan, hasilnya juga kelihatan,” ujar Siti.
Menurut Siti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mendukung sepenuhnya teknologi itu, termasuk mendorong kawasan dan pusat pelatihan.
Zulkieflimansyah menambahkan, pemerintah daerah berusaha mengatasi persoalan sampah. Apalagi, saat ini mereka tengah mendorong program zero waste atau NTB bebas sampah. Zulkieflimansyah menargetkan, ke depan sampah yang diolah tidak hanya 30 ton per hari, tetapi bisa hingga 200 ton per hari.
Ahmad Rofiq menambahkan, PLTU Jeranjang yang berkapasitas 3 x 25 megawatt (MW) di Desa Taman Ayu, Kabupaten Lombok Barat, menggunakan 100 persen batubara. Namun, dengan adanya RDF, bisa disubstitusi dengan pelet sekitar 60 ton per hari.
Rudi mengatakan, tidak hanya untuk PLTU, teknologi ini ke depan juga bisa didorong dan dikembangkan hingga ke desa-desa sebagai bagian dari program Zero Waste NTB. Desa bisa membuat pelet untuk energi sehingga bisa bermanfaat untuk masyarakat.