Bidik Pasar Global, Perajin Sasirangan Mulai Gunakan Pewarna Alami
Perajin kain sasirangan di Banjarmasin kini mulai menekuni pewarnaan alami. Di pasar nasional dan internasional, pewarna alami lebih diminati karena ramah lingkungan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Penggunaan pewarna alami masih belum begitu populer di kalangan perajin kain sasirangan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Namun, untuk membidik pasar global, beberapa perajin mulai menggunakan pewarna alami.
Dalam kegiatan Lomba Desain Motif Sasirangan se-Kota Banjarmasin yang diikuti 43 perajin, sudah ada 12 orang yang menampilkan produk kain sasirangan dengan pewarnaan alami. Sasirangan merupakan kain khas Banjar, sejenis batik, yang dibuat dengan teknik menyirang (menjelujur atau menjahit jarang-jarang).
Riza Aspihany (41), perajin kain sasirangan dengan merek produk Katuju Sasirangan, mengatakan, teknik pewarnaan alami terbilang baru di kalangan perajin.
”Saya baru tiga tahun mencoba bikin sasirangan dengan pewarnaan alami. Ternyata, produk saya diminati orang luar, terutama dari Jawa dan Sumatera,” kata Riza di sela-sela kegiatan lomba di Banjarmasin, Kamis (5/3/2020).
Untuk pasar lokal Kalimantan Selatan, menurut Riza, produk sasirangan dengan pewarnaan alami kurang diminati karena warnanya kurang cerah. Di samping itu, harganya juga lebih mahal. Harga kain sasirangan dengan pewarnaan alami paling murah Rp 250.000 per lembar, sedangkan kain sintetis hanya Rp 80.000 per lembar.
”Harganya mahal karena pembuatan kain sasirangan dengan pewarnaan alami lebih rumit dan besar ongkos produksinya. Pembuatan satu lembar kain sasirangan bisa satu minggu karena untuk pewarnaan harus sampai 15 kali pencelupan,” tuturnya.
Karena pembuatan yang rumit dan peminatnya juga masih sedikit, produksi Riza hanya 100 lembar per bulan. Jumlah itu baru mencakup 10 persen dari produksi kain sasirangan dengan pewarna sintetis.
Dian Lia (42), perajin sasirangan dengan merek produk Lia Sasirangan, mengatakan, meramu bahan pewarna alami tak semudah meramu bahan pewarna sintetis. Untuk menghasilkan warna tertentu, perajin harus pandai mencampurkan bahan pewarna, seperti kunyit, daun ketapang, dan daun indigofera.
”Paling susah itu bikin warna merah, makanya warna kain sasirangan dengan pewarnaan alami cenderung lebih soft,” kata Lia yang mulai memproduksi kain sasirangan dengan pewarnaan alami pada Februari 2018.
Menurut Ketua Yayasan Pencinta Sasirangan Agus Gazali Rahman, perajin kain sasirangan agak telat menggunakan pewarna alami dibandingkan dengan para perajin batik dan kain tradisional dari daerah lain.
”Namun, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Perajin harus didorong bikin sasirangan dengan pewarnaan alami untuk merebut pasar nasional dan internasional,” ujarnya.
Untuk desain motif, Agus Gazali Rahman yang lebih dikenal dengan nama Agus Sasirangan menilai kain sasirangan sudah mengalami banyak kemajuan dan jauh lebih menarik. Jika kain itu mendapat sentuhan dari para desainer, sasirangan sangat berpotensi untuk diperagakan di panggung-panggung nasional dan internasional. ”Di pasar nasional dan pasar internasional, pewarna alami lebih diminati karena ramah lingkungan,” katanya.
Di pasar nasional dan pasar internasional, pewarna alami lebih diminati karena ramah lingkungan.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina mengatakan, aparatur sipil negara di lingkungan Pemkot Banjarmasin sudah diwajibkan memakai baju sasirangan setiap Kamis dan Jumat. Minimal sebulan sekali, yakni pada minggu pertama atau minggu kedua, para ASN juga diwajibkan memakai baju sasirangan dengan pewarnaan alami. ”Kami juga berupaya meningkatkan penjualan kain sasirangan dengan pewarnaan alami di pasar lokal,” katanya.