Mutilasi Pasar Besar Malang dan Pelajaran yang Didapat
Pengadilan Negeri Malang akan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sugeng Santoso (50) pada Rabu (25/2/2020). Masyarakat sebaiknya memetik pelajaran dari kasus mutilasi di Pasar Besar Malang tersebut.
Dalam hitungan jam, Sugeng Santoso (50), terduga pemulitasi seorang perempuan di Pasar Besar Kota Malang, Jawa Timur, akan menerima vonis dari majelis hakim. Hari Rabu (26/2/2020), jadwal vonis untuk kasus yang terkuak pada Mei 2019 itu akan dibacakan.
Jika Sugeng menanti putusan, kita sebagai masyarakat umum baiknya adalah memetik pelajaran dari kasus tersebut. Kasus mutilasi di Pasar Besar Malang bukan sekadar kasus kriminalitas biasa. Kasus itu adalah contoh nyata dari uji keilmuan hukum serta psikiatri.
Persidangan kasus mutilasi di Pasar Besar, Kota Malang, Jawa Timur, yang terkuak pada Mei 2019 hingga kini bergulir kian menarik. Pada Selasa (25/2/2020), persidangan berjalan maraton dua agenda, yaitu replik (jawaban JPU menanggapi pembelaan terdakwa) dan duplik (tanggapan terdakwa atas replik JPU). Pada Rabu (26/2), majelis hakim dijadwalkan akan menjatuhkan vonis untuk Sugeng. Persidangan dikebut karena perpanjangan masa penahanan kedua Sugeng akan habis awal Maret mendatang.
Pada sidang pembelaan terdakwa, dakwaan serta tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dinilai tidak memiliki dasar kuat. Sugeng Santoso (50), terdakwa kasus itu, beserta 10 kuasa hukumnya (dibayar negara) berada di atas angin.
Satu penyebabnya, diduga karena ada istilah ”Pembuktian yang Tak Pernah Usai”. Pernyataan itu, menariknya, justru keluar dari mulut terdakwa Sugeng, dalam sidang putusan sela sebelumnya. Pernyataan itu pun dipilih menjadi judul pembelaan tim kuasa hukum terdakwa pada sidang pleidoi, Rabu (19/2), di Pengadilan Negeri Malang.
Baca juga: Sugeng Terdakwa Mutilasi Malang Bisa Bebas
Pembuktian yang tak pernah usai bisa mengarah pada dua pertanyaan, yaitu apakah Sugeng terlalu cerdas menyembunyikan tindakannya sehingga penyidik pun ”dipastikan oleh Sugeng” akan sulit menemukan bukti?, atau apakah penyidik terlalu malas menelisik lebih dalam untuk kasus tersebut sehingga pencarian bukti hanya sekadarnya (di permukaan).
Dugaan penyidik ”malas” menggali lebih dalam fakta kasus tersebut, bisa jadi karena dua hal, yakni bahwa jika terungkap fakta sebenarnya Sugeng tidak bisa dikaitkan dengan pembunuhan Mrs X, dan Sugeng tidak bersalah, hal itu akan sangat ”memalukan”. Artinya, aparat penegak hukum sudah menahan, mendakwa, dan menuntut orang yang tidak bersalah. Ini jelas kesalahan yang akan jadi sorotan negatif. Pikiran liar lain, mungkinkah penyidikan dan penuntutan hanya setengah hati karena korban dan pelaku bukanlah orang penting dan berduit?
Apa pun itu, faktanya, penyidik memang ”hanya” menggunakan pendapat ahli psikologi klinis untuk kasus itu. Di mana, psikolog, yang kewenangannya menganalisis mentalitas seseorang, akhirnya ”dipaksa” mengambil alih peran psikiater soal kejiwaan Sugeng. Sebenarnya penyidik bisa melibatkan psikolog forensik atau psikolog dengan keahlian neuroscience untuk lebih menerangi kasus itu.
Tim penyidik bahkan tidak menggunakan pendapat psikiater untuk melengkapi analisis kejiwaan Sugeng sebagai alat bukti. Padahal, psikolog sudah mengidentifikasi adanya kecenderungan Sugeng menderita schizofrenia. Semua itu diungkap oleh kuasa hukum terdakwa dalam sidang pembelaan.
”Kami melihat ada hal yang ditutupi di sini,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum Sugeng dari LBH Peradi Malang Raya, Iwan Kuswardi.
Kami melihat ada hal yang ditutupi di sini.
Padahal, analisis kejiwaan pelaku mutilasi tersebut dirasa penting untuk melihat kasus secara menyeluruh. Bagaimana sebenarnya kondisi kejiwaan Sugeng? Benarkah dia gila, atau dia terlalu ”cerdasnya”? Kalau gila, tentu terdakwa tidak bisa dihukum.
Meski begitu, kita tetap tak boleh mengabaikan beberapa fakta penting dalam kasus Sugeng ini. Pertama, saat ditangkap oleh polisi, Sugeng menyimpan kliping koran nasional tentang berita ”Cairan Pemutih Penghilang Jejak”. Ia pun dengan sadar menghapus jejak darah sisa mutilasi dengan cairan kencingnya yang sudah disimpan dalam botol sebelumnya.
Pernik menarik dalam kasus Sugeng tersebut mengingatkan saya dengan kepandaian Dexter, petugas forensik di kepolisian Miami yang berubah menjadi pembunuh berantai pada malam hari (serial Dexter di sebuah TV berbayar). Dengan keahlian forensiknya, Dexter selalu bisa membunuh korban tanpa bisa dikaitkan sebagai pembunuhnya.
Baca juga: Perempuan Korban Mutilasi Ditemukan di Pasar Besar Malang
Kembali pada kasus Sugeng, apa pun hasilnya, biarlah majelis hakim nanti yang memutuskan. Tapi ada hal menarik bisa dipelajari dari kasus ini terkait ilmu psikologi-psikiatri.
Kejiwaan
Penulis ingin memulainya dari pernyataan seorang filusuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa: ”Tidak ada pikiran hebat tanpa sentuhan kegilaan”. Artinya, Aristoteles sangat paham bahwa hubungan kegeniusan dan ”kegilaan” cukup dekat.
Dalam Indian Journal of Psychiatry edisi April-Juni 2018, dalam tulisan berjudul ”Kreativitas dan psikopatologi: Dua sisi dari mata uang yang sama?”, disebutkan bahwa Lombroso, psikiater forensik terkenal, pada abad ke-19 menyatakan bahwa kegeniusan dan kegilaan adalah manifestasi dari gangguan neurologis degeneratif. Hal itu senada dengan bukti-bukti lapangan bahwa kreativitas tinggi (yang dibutuhkan pada bidang seni, iptek, bisnis, dan lainnya), pada sisi lain, dimiliki oleh orang-orang yang menderita psikopatologi (sakit secara psikologis).
Beberapa tokoh terkemuka dunia, seperti komedian Robin William, pelukis Van Gogh, Mozart, Beethoven, Ernest Hemingway, John Nash, dan lainnya, tercatat menderita psikopatologi.
Baca juga: Terduga Pemutilasi Tak Alami Gangguan Jiwa Ketika Beraksi
Dekat atau tipisnya batas antara genius dan ”gila” juga tampak jelas dalam pernyataan John Nash, si penerima Nobel, saat menjawab pertanyaan: ”Mengapa Anda percaya bahwa Anda ditunjuk oleh alien untuk menyelamatkan dunia?” Nash menjawab: ”Karena gagasan tentang hal-hal supranatural datang padaku dengan cara yang sama seperti solusi matematika. Jadi, aku menganggapnya serius.” Artinya, ide nyeleneh (kalau tidak bisa dibilang gila) soal alien pun datang pada diri Nash bersamaan dengan kegeniusannya menyelesaikan soal Matematika.
Masih pada tulisan yang sama (ditulis empat orang di antaranya Indla Ramasubba Reddy) disebut bahwa ciri penting kreativitas adalah kebaruan/orisinalitas. Sementara pemikiran skizofrenik ditengarai cenderung menjadi berbeda, asli, atau baru. Artinya, schizophrenia dinilai merupakan kecenderungan untuk memuaskan salah satu ciri kreativitas, yaitu orisinalitas.
Baca juga: Pengacara Menilai Tuntutan Jaksa pada Kasus Mutilasi Malang Imajinatif
Bedanya, orang kreatif dapat mengatur ide-ide baru itu dengan memilih yang paling bermanfaat. Atau jika mengutip pemenang Nobel lain, Linus Pauling, cara mendapat ide bagus adalah dengan memilih yang bagus dan membuang yang buruk. Sayangnya, untuk penderita schizofrenia tidak bisa mengatur/memilih itu.
Keluarga
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Muhammad Salis Yuniardi melihat pendapat tipisnya batas antara kegeniusan dan kegilaan dengan penjelasan yang lebih mudah diterima akal. Ada dua poin penting disorotinya.
Pertama, menurut dia, genius dan gila tidak terkait langsung sebab intelegensia atau kegeniusan itu berasal dari kecerdasan kognitif. Sementara psikopatologi akarnya dari gangguan mental yang asalnya dari emosi/kecemasan (sebabnya bisa genetik atau sebab sosial seperti narkoba).
Akan tetapi, Salis menyadari, sering kali memang ditemui kegeniusan juga menimbulkan psikopatologi. Hal itu bisa jadi karena saat ada orang genius, lingkungan justru tidak bisa memahaminya. Lingkungan kemudian memerlakukan si genius itu dengan tidak semestinya, misal merundung atau mengucilkan.
Perilaku tidak semestinya itulah yang, menurut Salis, membawa dampak psikologis buruk pada seorang genius. ”Misal dia menjadi represi pada diri sendiri, depresi, dan akhirnya ’membalas dendam’. Balas dendam dalam bentuk tidak langsung akan memunculkan perilaku manipulatif atau psikopat,” kata Salis.
Baca juga: Pelaku Mutilasi di Malang Diduga Psikopat
Salis juga menggarisbawahi bahwa dalam banyak kasus, kecerdasan akan saling berkelindan dengan ambisi prestasi yang tinggi. Ambisi prestasi tinggi itu, jika tidak terwujud, menurut Salis, seseorang bisa sampai pada tahap berhalusinasi. Di sinilah, kata Salis, kecerdasan dan halusinasi makin tampak tipis batasnya.
”Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa jika kegeniusan seseorang berkembang, akhirnya kognitifnya berkembang. Namun, kecerdasan emosinya terkadang tidak mengikuti. Ini karena kecerdasan emosi (sosial) tidak linear dengan kecerdasan kognitif. Ini yang sering menjadi masalah pada anak genius. Dia secara kognitif genius, tetapi secara sosial kurang,” kata Salis. Hal itulah yang membuat seorang genius, ujar Salis, sulit bersosialisasi.
Baca juga: Laurent Simsons, Bocah Genius dengan Otak bagai ”Spons”
Satu contoh nyata kasus psikologi tentang seorang genius yang gagal secara emosional adalah William James Sidis asal AS. Anak genius kelahiran 1898 itu, dengan kecerdasannya, pada usia 11 tahun masuk Universitas Harvard, dan menjadi salah satu genius dalam bidang Matematika. Sidis memiliki nilai IQ 300, mengalahkan Albert Einstein yang nilai IQ-nya 160.
Namun, di kemudian hari, selepas kuliah, Sidis sulit menjalani kehidupan sosialnya, lalu ditemukan menjadi gelandangan dan meninggal di jalanan pada usia 46 tahun.
”Kasus Sidis harus jadi pelajaran bahwa kita jangan terlalu menggenjot kemampuan kognitif anak tanpa membekalinya dengan kemampuan emosi/sosial yang seimbang. Dukungan keluarga dan lingkungan sangat perlu untuk mendukung tumbuh kembang anak kita,” kata Salis.
Salah satu tips dibagikan oleh Salis, jika memang anak kita genius, jangan samakan perlakuannya dengan anak lain. ”Beri dia tantangan yang sesuai kebutuhan dan keinginannya. Jika dia kemampuannya sudah setara anak usia kelas 6 SD, misalnya, dia harus diikutkan pembelajaran kelas 6 SD meski usianya belum sampai,” kata Salis.
Kedua, pendidikan kematangan sosial dan emosi juga harus diarahkan. ”Beri tanggung jawab, latih empatinya dengan kegiatan-kegiatan sosial dan seni, misalnya. Anak genius biasanya terberkahi dengan kemampuan di bidang kreativitas, termasuk seni,” kata Salis.
Baca juga: Matematika Bukan Patokan Kegeniusan
Dengan pemahaman bahwa setiap anak memiliki kemampuan berbeda-beda, Salis sepakat dengan ide bahwa kurikulum pendidikan harus mengikuti kemampuan setiap anak. Kurikulum tidak bisa dibuat satu untuk semua.
”Itu sebabnya, kurikulum harusnya mengikuti kemampuan anak. Artinya, kurikulumnya, ya, sebanyak jumlah anak. Saya sangat setuju dengan analogi dunia pendidikan kita saat ini bahwa sekarang ini gajah, sapi, beruang, harimau, ikan, buaya, dan semuanya disuruh berenang. Padahal, seharusnya semua punya kemampuan berbeda-beda,” katanya.
Dari kasus Sugeng, di luar persoalan hukumnya, rupanya masih ada banyak hal bisa kita jadikan pelajaran.