Puisi tentang cinta sudah berkembang semenjak masa kerajaan. Para pujangga kerajaan atau pengawi, membuat karya sastra bertemakan cinta sebagai penghayatan atas alam semesta.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Trio dari Kelompok Sekali Pentas mengisi pembukaan Dialog Sastra #69 bertemakan ”Puisi Romansa Lintas Masa” di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Sabtu (15/2/2020). Dialog sastra di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Sabtu, menampilkan sastrawan I Wayan Westa dan I Gusti Agung Ayu Mas Triadnyani sebagai pembicara yang mengupas perihal cinta dalam proses kreatif penyair.
Karya sastra, khususnya puisi tentang cinta, sudah berkembang semenjak masa kerajaan. Para pujangga kerajaan atau pengawi membuat karya sastra bertemakan cinta sebagai penghayatan atas semesta untuk pencerahan, pujaan bagi junjungan, atau kemuliaan abadi.
Perihal cinta dalam puisi atau karya sastra itu diulas dalam seri Dialog Sastra #69 bertema ”Puisi Romansa Lintas Masa” di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Sabtu (15/2/2020). Dua sastrawan, I Wayan Westa dan I Gusti Agung Ayu Mas Triadnyani, mengupas tema ini.
Triadnyani, sastrawan dan juga akademisi dari Universitas Udayana, Bali, mengungkapkan, penyair juga membutuhkan cinta dalam proses kreatif membuat puisi atau karya sastra. Sebab, cinta akan memunculkan gairah maupun pergolakan yang akhirnya menimbulkan keberanian. Pujangga di masa lalu sudah mewariskan bait-bait cinta baik yang dilantunkan secara lisan maupun ditulis di atas daun lontar.
”Menulis puisi itu kerja intelektual dan perlu modal keberanian,” kata Triadnyani. Keberanian kemudian menuntun penyair mengalirkan ide dan menuliskan puisinya tentang keindahan, kepahitan, ataupun berbagai hal menyangkut ekspresi cinta.
Penyair juga membutuhkan cinta dalam proses kreatif membuat puisi atau karya sastra.
Triadnyani mengambil contoh sepenggal puisi berjudul Surat Cinta karya WS Rendra. ”Kutulis surat ini/kala hujan gerimis/bagai bunyi tambur mainan/anak-anak peri dunia yang gaib.” Dalam puisinya itu, ujar Triadnyani, Rendra memilih dan menggunakan kata yang mengungkapkan perasaannya tentang pertemuan cinta antara dirinya dan Sunarti.
”Bagi si aku yang tengah dirundung perasaan cinta itu, suara hujan gerimis terdengar bagai bunyi tambur yang romantis,” kata Triadnyani.
Dalam khazanah sastra Indonesia era Pujangga Baru, Amir Hamzah yang disebut sebagai Raja Penyair Pujangga Baru mengungkapkan kisah cinta melalui lirik puisi atau sajaknya. Dalam sajaknya berjudul ”Terbuka Bunga”, Amir Hamzah menggunakan kata-kata yang dapat membangkitkan imaji dan indra penciuman pembacanya. ”Terbuka bunga dalam hatiku!/kembang rindang disentuh bibir kesturimu”.
”Penggunaan bahasa kiasan ini menggambarkan kegembiraan si aku yang sedang dilanda cinta,” kata Triadnyani yang sudah menghasilkan buku kumpulan puisi, antara lain, Mencari Pura (2011) dan Aku Lihat Bali (2015).
”Si Burung Merak” WS Rendra kembali mengepakkan sayapnya ketika membacakan puisi terkenalnya berjudul ”Suto Mencari Bapak” yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (6/4/2006).
Penyair Indonesia lainnya yang juga dikenal lewat puisi cinta, menurut Triadnyani, adalah Sapardi Djoko Damono. Salah satu sajak cinta karya Sapardi Djoko Damono yang dicontohkan Triadnyani adalah ”Aku Ingin”. ”Aku ingin mencintaimu/dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat/diucapkan kayu kepada api/yang menjadikannya abu.”
Sajak berjudul ”Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono itu juga dilantunkan kelompok Sekali Pentas ketika mereka tampil di pembukaan acara Dialog Sastra #69 di Bentara Budaya Bali, Sabtu malam. Trio Heri Windi Anggara, Satya Wati, dan Tria Hikmah Fratiwi membawakan sajak itu dalam bentuk musikalisasi puisi.
Pembicara lainnya, I Wayan Westa, merunut tema cinta dalam karya-karya sastrawan Bali di era kerajaan. Westa, sastrawan dan budayawan Bali yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage tahun 2014, menyebutkan, masyarakat di Bali juga mengenal bentuk puisi sebagai medium untuk mengoneksikan kekuatan gaib, misalnya, melalui gending atau cecangkriman (tembang).
Westa juga mengungkapkan, para pujangga kerajaan, atau mpu, membuat karya sastra dalam bentuk pupuh atau bhasa untuk mengungkapkan suasana hati yang tengah hanyut.
Mpu Tanakung, pujangga kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 Masehi, membuat karya tentang kerinduannya, yang dikenal sebagai Bhasa Amreta-masa. Mpu Tanakung menyuratkan, ”Ketika bulan penuh di masa Kartika/yang guruhnya lemah terdengar di kejauhan/ketika sinar bulan menyirami bunga-bunga asoka/dengan sinarnya yang cemerlang/ketika burung-burung kuwong bersuara indah/merasuk hati dengan suara burung tuhu-tuhu/ketika itu aku teringat/dengan kecantikan dan kejelitaan diriMu/Oh Dewi.”
Westa mengungkapkan, pujangga atau para kawi menulis kekawin sebagai bentuk atau praktik yoga. Para pengarang di masa lampau, menurut Westa, nyaris menafikan cinta yang sifatnya badaniah karena cinta semacam itu dinilai akan membelenggu mereka dalam upaya menuliskan cinta semesta dan cinta yang lebih abadi, yakni terhadap dewi kehidupan.
”Para pengarang klasik itu memiliki kewajiban membimbing pembacanya menuju rasa jnanendria, tercerahkan logikanya dan terhaluskan perasaannya, dan rasa anandam, kebahagiaan setelah membaca karya sastra,” kata Westa. Tugas pengarang pada zaman lampau itu, menurut Westa, adalah merawat ingatan supaya cinta tetap hidup.
Bentara Budaya Bali menggelar seri Dialog Sastra #69 bertemakan ”Puisi Romansa Lintas Masa” di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Sabtu (15/2/2020). Dua sastrawan, yakni I Wayan Westa (kanan) dan I Gusti Agung Ayu Mas Triadnyani (berdiri, kiri), mengupas perihal cinta dalam karya sastra di Bentara Budaya Bali.
Mahasiswi Universitas Dwijendra, Denpasar, Dewi Pay Jiara (26), menyatakan, dirinya mendapatkan pengetahuan tambahan dan wawasan mengenai proses kreatif penyair dan pengaruh cinta dalam penciptaan karya sastra.
”Menarik juga ketika diulas tentang karya sastra di masa lampau. Ini bermanfaat sebagai referensi saya,” kata Dewi seusai mengikuti dialog sastra di Bentara Budaya Bali, Gianyar.