Habitat pesut mahakam terus terancam akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Jumlah populasi pesut pun terus berkurang di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
KOMPAS/DOKUMENTASI YAYASAN KONSERVASI RARE AQUATIC SPECIES OF INDONESIA
Mamalia air tawar pesut mahakam (Orcaella brevirostis) saat muncul ke permukaan di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
BALIKPAPAN, KOMPAS — Jumlah mamalia air tawar pesut mahakam (Orcaella brevirostris) semakin berkurang akibat menurunnya daya dukung lingkungan di habitat sepanjang Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keadaan ini mengancam populasi ikan lain dalam rantai makanan yang sekaligus menjadi sumber penghidupan nelayan.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur mencatat, pesut mahakam yang tersisa saat ini hanya 80 ekor. Jumlah itu berkurang 5 ekor karena 5 ekor pesut mati sepanjang 2019. Limbah dan alat tangkap tak ramah lingkungan menjadi penyebab utama matinya pesut.
Pada medio 2019 lalu, seekor pesut ditemukan mati di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Terdapat lilitan jaring di bagian tubuhnya.
Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) meneliti di 16 titik di sepanjang Sungai Mahakam dan anak sungainya pada 2019. Hasil uji laboratorium menunjukkan ada kandungan logam berat sehingga kualitas air 20 kali melampaui baku mutu.
Itu disinyalir berasal dari limbah industri dan limbah rumah tangga yang dibuang ke Sungai Mahakam. Selain itu, di beberapa titik di Kutai Kartanegara juga ditemukan limbah perkebunan sawit yang terbawa ke Sungai Mahakam yang membuat kualitas air menurun.
”Pesut ini sebagai indikator. Jika ada yang mati akibat kualitas air yang menurun, berarti itu juga berbahaya bagi ikan-ikan lain. Untuk itu, diperlukan zonasi untuk habitat pesut dan ikan,” ujar Scientific Program Manager Yayasan RASI, Danielle Kreb, di Samarinda ketika dihubungi pada Kamis (13/2/2020).
KOMPAS/SUCIPTO
Sirip atas pesut terlihat saat mengambil napas di Sungai Pela, Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa (26/11/2019).
Ia menyatakan sudah mengajukan peta kawasan konservasi perairan ke Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pemetaan itu dibuat agar kelangsungan hidup pesut dan ikan lainnya tetap lestari. Kawasan konservasi perairan yang diajukan mencakup empat kecamatan, yakni Kota Bangun, Muara Kaman, Muara Wis, dan Muara Muntai seluas 43.117 hektar.
Luas zona inti sekitar 1.000 hektar untuk perkembangan ikan sehingga tidak boleh ada kegiatan tangkap di sana. Sementara zona perikanan berkelanjutan sekitar 15.000 hektar yang bisa dilewati kapal dan aktivitas nelayan. Namun, di kawasan itu tidak boleh menangkap ikan dengan listrik atau racun. Sisanya masuk dalam zona lainnya yang bisa mendukung kualitas air di zona inti dan perikanan berkelanjutan.
Danielle mengatakan, keberadaan pesut dalam rantai makanan sangat penting. Karakteristik pesut saat berenang adalah vertikal dan horizontal. Saat berenang vertikal, pesut mengaduk air di sekitarnya sehingga plankton naik ke permukaan. Itu membantu ikan-ikan kecil untuk memakannya. Ikan-ikan kecil itu yang nantinya akan dimakan ikan lain di Sungai Mahakam, seperti lais, jelawat, belida, dan baung.
KOMPAS/SUCIPTO
Nelayan sedang beraktivitas di Danau Semayang di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (27/11/2019). Danau seluas 13.000 hektar ini selain tempat nelayan mencari ikan, juga menjadi salah satu tempat pesut mahakam mencari makan.
”Selain itu, jika pesut hilang dalam rantai makanan, populasi ikan yang pesut makan nanti akan banyak dan menyebabkan spesies lain hilang. Ikan-ikan untuk nelayan nanti bisa tidak beragam,” katanya.
Penangkapan tidak ramah
Kepala BKSDA Kalimantan Timur Sunandar Trigunajasa mengatakan, aktivitas penangkapan ikan dengan racun, listrik, dan jaring tak ramah lingkungan masih ditemui di Sungai Mahakam. Hal itu bisa menghambat perkembangbiakan pesut dan juga ikan lain.
Pada medio 2019, seekor pesut ditemukan mati di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Terdapat lilitan jaring di bagian tubuhnya. Dilihat dari benang jaring yang tersangkut, kemungkinan pesut itu mati karena terperangkap jaring nelayan.
KOMPAS
Kapal tug yang menarik kapal tongkang membawa muatan batubara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (21/11/2018). Kualitas sungai yang terus turun berdampak pada berkurangnya mamalia air khas pesut mahakam.
Ia mengatakan, sebenarnya masyarakat di Kecamatan Kota Bangun sudah sadar untuk bisa berdampingan dengan pesut. Itu karena daerah tersebut merupakan desa wisata tempat pesut menjadi ikon utamanya.
Namun, kerap kali masih dijumpai nelayan yang menggunakan racun dan alat tangkap listrik. Cara itu berpotensi membuat pesut berbagai usia terganggu, bahkan mati. Sementara untuk penyelamatan pesut yang tersangkut jaring nelayan, masyarakat masih perlu diedukasi.
”Sebagian besar nelayan sudah sadar bahwa pesut itu satwa dilingungi sehingga warga melepaskannya lagi saat tersangkut jaring. Namun, masih ada yang melepaskan jaring di dalam air. Seharusnya lubang napasnya yang berada di dekat moncong ditaruh di udara karena pesut bernapas dengan paru-paru. Ini juga tengah kami sosialisasikan,” kata Sunandar.
KOMPAS/SUCIPTO
Nelayan membentangkan jaring di Sungai Pela, anak Sungai Mahakam, di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (27/11/2019). Di tempat ini kerap dijumpai pesut berlalu lalang pada pagi dan sore hari.
Salah satu habitat pesut adalah Sungai Pela di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Desa itu terletak di tepi Danau Semayang seluas 13.000 hektar. Saat mengunjungi Desa Pela pada November 2019, pesut kerap muncul ketika pagi dan sore hari.
Pesut-pesut itu mencari makan di Danau Semayang, kemudian melintasi Sungai Pela dan kembali lagi ke Sungai Mahakam. Pemerintah desa sudah berinisiatif untuk melarang masyarakat menangkap ikan dengan listrik dan racun.
”Selain bisa membuat mati ikan kecil, pesut yang menjadi ikon desa kami juga bisa terganggu kalau menangkap ikan dengan listrik dan racun. Kalau ada yang menangkap ikan dengan listrik dan racun, kami akan tegur dan larang mencari ikan di desa kami,” kata Kepala Desa Pela Supyannoor.
KOMPAS
Kapal tug yang menarik tongkang dengan membawa muatan batubara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (21/11/2018).
Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III juga tengah menyusun peta zonasi di danau itu. Tujuannya, untuk memperlambat laju sedimentasi sebesar 317.691 meter kubik setiap tahun akibat alih fungsi lahan di sekitar danau. Selain mengancam habitat ikan di sana, pesut juga terancam kehilangan salah satu tempat mencari makan.
”Saat ini sedang kami susun pemetaan wilayahnya. Nantinya, ada wilayah-wilayah yang tidak bisa untuk kegiatan perkebunan atau permukiman agar laju sedimentasi bisa dikendalikan,” kata Kepala BWS Kalimantan III Anang Muchlis.