Petani sejumlah desa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mulai meninggalkan tanaman kakao atau cokelat. Mereka beralih menanam kopi dan durian yang dinilai lebih ekonomis dan mudah perawatannya.
Oleh
Khaerul Anwar
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Petani sejumlah desa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mulai meninggalkan tanaman kakao atau cokelat. Mereka beralih menanam kopi dan durian karena kakao dinilai kian sulit pemeliharaannya. Selain itu, nilai jual kakao lebih rendah daripada kopi dan durian.
Wirya Hadi (55), warga Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, mengatakan, dalam lima tahun terakhir, dirinya fokus menggarap kopi dan durian kane. Tanaman kakao yang dibudidayakan di Lombok Utara sejak sekitar tahun 1990 melalui Program Pengembangan Perkebunan Rakyat Wilayah Khusus ditinggalkannya karena dinilai sudah tidak ekonomis lagi dan rumit perawatannya.
Wirya mengatakan, sebagian besar tanaman kakaonya sudah dimusnahkan. Pemusnahan tanaman yang ditanam secara tumpang sari di kebun seluas 1,3 hektar itu karena mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. Adapun sisanya akan dimusnahkan secara bertahap karena sisa buahnya masih bisa dijual sebagai sumber penghasilan keluarga.
Untuk tanaman durian, Wirya kini memiliki 40 pohon. Tanpa perlakuan khusus selain hanya menggunakan pupuk NPK, tiap pohon durian bisa menghasilkan Rp 7 juta-Rp 10 juta setahun.
Penanaman durian kane dilakukan menyusul keberhasilan seorang petani bernama Irma, warga Dusun Paok Rempek, Desa Genggelang. Irma mengganti 5.000 tanaman kakao di lahannya seluas 2 hektar dengan tanaman durian lima tahun lalu. Setahun lalu, tanaman itu menghasilkan ratusan juta rupiah dari penjualan buah durian. Selain itu, bibit durian yang dijualnya Rp 200.000 per batang juga laku.
Kalau 15 tahun lalu cokelat menjadi tanaman dan penghasilan utama, sekarang petani mengurangi tanaman cokelat dan fokus memelihara kopi dan durian.
Petani lain di Desa Genggelang, Saelan (55), juga mulai beralih ke durian dari kakao. ”Kalau 15 tahun lalu cokelat menjadi tanaman dan penghasilan utama, sekarang petani mengurangi tanaman cokelat dan fokus memelihara kopi dan durian,” ujarnya, yang kini memiliki 40 pohon durian yang mulai berbuah.
Menurut Saelan, banyak petani kakao beralih ke durian dan kopi karena perawatan yang lebih mudah dan harga jual yang lebih tinggi. Bibit pohon durian tinggal ditanam tanpa perlu banyak perlakuan dan tinggal menunggu berbuah, begitu pula kopi. Harga kakao tertinggi saat ini Rp 26.000 per kg, jauh di bawah harga kopi butiran Rp 43.000 per kg dan durian kane Rp 60.000 per kg.
Adapun tanaman kakao di lahannya seluas 1 hektar dimusnahkan secara bertahap tiap tahun karena memerlukan tenaga ekstra untuk memeliharanya. Dia menjelaskan, dirinya harus melakukan perawatan rutin, seperti pemangkasan daun kakao yang menguras tenaga. Selain itu, tanaman kakao tiap tahun selalu diserang hama helopeltis yang merusak buah.
Kepala Ketahanan Pangan dan Pertanian Lombok Utara Nanang Matalata, saat dihubungi, Selasa (19/11/2019), mengatakan, populasi tanaman kopi dan kakao yang dipelihara petani berumur tua, rata-rata 30 tahun. Hal itu membuat tingkat produktivitasnya sangat rendah. ”Jadi, sangat wajar jika sebagian petani kakao beralih menanam kopi dan durian,” ucap Nanang.
Namun, menurut Nanang, dari sisi harga, kakao jauh lebih tinggi atau bersaing dengan harga kopi. Hal itu membuat sebagian besar petani di Desa Genggelang, salah satu sentra kakao di Lombok Utara, mempertahankan komoditas tersebut. Ia menilai, hanya sebagian kecil petani yang memilih beralih ke durian dan kopi.
Oleh karena itu, Nanang mengatakan, Pemerintah Kabupaten Lombok Utara berupaya meningkatkan produksi kakao dengan bibit unggul serta teknik sambung pucuk. Cara itu dinilai berhasil, yang dibuktikan dengan penghargaan dari Kementerian Pertanian kepada Kelompok Tani Kakao Desa Genggelang sebagai salah satu kebun yang produksi kakaonya relatif tinggi dan terbaik nasional.