Pengelolaan sampah harus didorong untuk menciptakan berbagai produk bernilai tambah. Namun, upaya ini belum optimal dilakukan oleh warga dan pemerintah daerah.
Oleh
Reny Sri Ayu
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Pengelolaan sampah harus didorong untuk menciptakan berbagai produk bernilai tambah. Pengelolaan yang baik tidak hanya bisa mengurangi volume sampah, tetapi juga memberi nilai ekonomi. Namun, upaya ini belum optimal dilakukan oleh warga dan pemerintah daerah.
Hal ini menjadi isu penting yang dibahas dalam International Investment Forum on Waste Management, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (7/11/2019). Sejumlah pemimpin daerah hadir dalam pertemuan ini bersama kalangan pengusaha, pengelola bank sampah, hingga delegasi beberapa negara.
Persoalan di Indonesia, masih banyak warga yang belum bisa mengelola sampah dengan bijak.
Direktur Pengendalian Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mengatakan, sampah menjadi persoalan serius bagi Indonesia. Tak hanya sampah rumah tangga, tetapi juga sampah plastik. Di banyak kota, persoalan sampah kian berat akibat volumenya yang terus meningkat dan lahan tempat pembuangan yang kian berkurang.
”Di beberapa perusahaan besar, sampah telah dikelola menjadi bahan bakar gas pengganti batubara. Hal seperti ini harus terus didorong selain pemanfaatan sampah plastik untuk daur ulang. Persoalan di Indonesia, masih banyak warga yang belum bisa mengelola sampah dengan bijak. Pemerintah daerah pun sama, belum banyak yang bisa mengelola sampah dan memanfaatkannya menjadi sesuatu yang bernilai,” tutur Novrizal.
Ketua Asosiasi Bank Sampah Indonesia Saharuddin Ridwan mengatakan, selama ini, baru sekitar 0,5 persen sampah yang dikelola melalui bank sampah. Artinya, masih jauh lebih besar sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Sebagai contoh, Makassar yang memiliki 600 unit bank sampah dengan 30.000 nasabah hanya dapat mengelola 5-7 ton sampah dari 1.000-1.100 ton produksi sampah per hari. Selebihnya masih dibuang ke TPA Tamangapa yang kini kian penuh.
”Dengan 600 unit bank sampah saja omzetnya mencapai Rp 1,3 miliar per tahun, bagaimana jika lebih besar? Padahal, Pemkot Makassar menyiapkan anggaran pembelian sampah hingga Rp 1,9 miliar. Artinya, jika dikelola dengan baik, ada perputaran uang lebih besar dalam sampah. Hanya saja, belum semua warga bisa melakukan hal seperti ini,” kata Saharuddin.
Tak sekadar bank sampah, saat ini di Makassar sudah ada tiga lokasi yang memanfaatkan sampah rumah tangga menjadi biodigester. Dalam sistem ini, sebuah alat sederhana buatan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) digunakan untuk mengolah sampah menjadi gas yang bisa langsung dimanfaatkan untuk bahan bakar.
”Ini sederhana. Tetapi, dengan alat yang sederhana itu, sampah rumah tangga jadi bermanfaat dan warga tak perlu lagi membeli gas. Jika program ini diperluas, akan banyak sampah yang bisa dikelola dengan baik dan tidak terbuang begitu saja. Atau, jika pemerintah mau, setiap desa atau kelurahan dirikan satu unit bank sampah. Ini juga solusi,” tutur Saharuddin.
Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengatakan, seharusnya, jika dikelola dengan baik, sampah tidak lagi jadi momok dan persoalan berat, tetapi bisa jadi sumber energi. ”Karena itu, investor juga kami undang untuk ikut memikirkan soal ini, setidaknya melihat peluang yang bisa dimanfaatkan untuk membuat sampah jadi bernilai. Saya harap pertemuan ini menghasilkan solusi bagi persoalan sampah,” katanya.