Titik panas di Nusa Tenggara Timur masih bermunculan. Titik panas yang terpantau diduga kebakaran lahan yang terjadi karena warga mempersiapkan lahan pertanian menghadapi musim tanam 2019/2020.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Titik panas di Nusa Tenggara Timur masih bermunculan. Titik panas yang terpantau diduga adalah kebakaran lahan yang terjadi karena warga mempersiapkan lahan pertanian menghadapi musim tanam 2019/2020.
Pada periode 9-13 September terdapat 122 titik panas yang tersebar di 17 kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Adapun periode 14-15 September terpantau 10 titik tersebar di lima kabupaten.
Meskipun ribuan hektar sabana di Nusa Tenggara Timur (NTT) terbakar, kebakaran tidak membawa dampak kabut asap seperti di daerah lain karena lahan yang terbakar adalah lahan mineral. Meski demikian, kerusakan lingkungan terus terjadi.
Sulton Kharisma dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandara El Tari Kupang, di Kupang, Minggu (15/9/2019), menyebutkan, kebakaran hutan di NTT terjadi sejak Juni 2019. Namun, kebakaran ini tidak seheboh di daerah lain karena karakteristik hutan di NTT jauh berbeda.
”Periode 14-15 September ditemukan 10 titik panas. Di Kabupaten Lembata dua titik, yakni satu di Kecamatan Lebatukan dan satu lagi di Kecamatan Atadei. Kabupaten Malaka terdapat satu titik panas, yakni di Kecamatan Rinhat, Kecamatan Amfoang Timur,” kata Sulton.
Titik panas lain ada di Kabupaten Kupang satu titik panas dan Kabupaten Sumba Timur enam titik panas. Enam titik itu ada di Kecamatan Paberiwai satu titik, Pandawai dua titik, Katikutana dua titik, dan Kecamatan Umburatunggay satu titik panas.
Adapun 122 titik panas yang terdeteksi pada 9-13 September tersebar di 17 kabupaten, antara lain Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah. Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Kupang, Kabupaten Lembata, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Alor.
Sulton mengatakan, luas lahan terbakar untuk setiap titik panas rata-rata 1 kilometer persegi atau sekitar 1.000 hektar. Dengan demikian, periode 9-15 September sekitar 122.000 hektar sabana terbakar.
Kebakaran dipicu pembukaan lahan baru sebagai persiapan musim tanam 2019/2020. Selain itu, ada juga sikap iseng warga membuang puntung di tepi jalan atau sengaja dibakar untuk mendapatkan pakan baru ternak.
Kerusakan ekosistem
Berdasarkan pantauan Kompas, kebakaran menyebabkan kekeringan (kematian) sejumlah tanaman, kekeringan sumber-sumber mata air, punahnya fauna dan flora tertentu, serta sistem ekosistem rusak atau hilang secara permanen.
Di Sumba Timur, misalnya, kasus jutaan hama belalang menyerang wilayah itu dalam tiga tahun berturut-turut disinyalir akibat punahnya predator hama belalang sebagai dampak dari kebakaran itu. Sejumlah flora endemik di daerah juga punah akibat kebakaran.
Sulton mengatakan, kebakaran diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir musim kemarau tahun ini pada akhir November. Hal itu berkaitan dengan pembukaan lahan baru oleh masyarakat yang menerapkan sistem perladangan berpindah-pindah.
Anggota DPRD NTT, Bonifasius Jebarus, mengatakan, meski kebakaran di NTT menempati urutan pertama nasional dari sisi titik api, dampak langsung terhadap masyarakat tidak seperti kasus kabut asap di daerah lain. Saat terjadi kebakaran lahan di NTT, kepulan asap sangat terbatas.
”Selain itu, angin kencang dengan kecepatan sampai 45 km per jam menyebabkan asap itu cepat menghilang. Tetapi, ada asap atau tidak ada asap, kebakaran itu sangat merugikan lingkungan alam di NTT,” kata Bonifasius.
Ia mengatakan, surat edaran Gubernur NTT kepada para bupati untuk mencegah kebakaran tidak berdampak. Jika bupati menindaklanjuti surat edaran itu pun belum tentu kebakaran benar-benar berhenti. Bupati hanya bisa memberikan imbauan karena tenaga pengawasan di lapangan tidak tersedia.
Perda mengenai perlindungan hutan di NTT pun sudah diterbitkan DPRD NTT. Namun, implementasi di lapangan sangat terbatas, bahkan tidak ada.