Perpustakaan Nasional merintis pembangunan 300 perpustakaan desa di seluruh Indonesia. Tidak sekadar tempat membaca, perpustakaan desa juga akan menjadi pusat berbagai program pelatihan keterampilan bagi warga dengan didampingi para fasilitator.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Perpustakaan Nasional merintis pembangunan 300 perpustakaan desa di seluruh Indonesia. Tidak sekadar tempat membaca, perpustakaan desa juga akan menjadi pusat berbagai program pelatihan keterampilan bagi warga dengan didampingi para fasilitator.
Pustakawan dari Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional, Renus Siboro, mengatakan, dengan upaya tersebut, perpustakaan tidak sekadar memperluas wawasan masyarakat, tetapi juga menjadi ruang belajar untuk meningkatkan pendapatan warga.
”Dengan upaya ini, kami berharap perpustakaan bisa menjadi sarana untuk mengatasi kemiskinan di desa-desa,” ujar Renus dalam acara talkshow bertema ”Perpustakaan untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Rabu (21/8/2019), di Gedung Kyai Sepanjang, Kota Magelang, Jawa Tengah.
Perpustakaan harus bisa menjadi sarana untuk mengatasi kemiskinan di desa-desa.
Dalam program pelatihan tersebut, menurut Renus, warga akan diajak memperkaya informasi terkait program keterampilan dengan membaca buku-buku pendukung dan mengakses informasi melalui internet.
Pembangunan 300 perpustakaan desa tersebut akan menghabiskan dana sekitar Rp 300 miliar. Setiap perpustakaan akan mendapatkan bantuan sekitar 500 buku. Perpustakaan nantinya diupayakan dibangun di desa-desa terpencil di sejumlah daerah, termasuk Papua.
Dengan mengingat fungsi penting perpustakaan, menurut Renus, pihak swasta diharapkan juga mau terlibat untuk ikut serta membangun perpustakaan di desa-desa. ”Program pembangunan perpustakaan desa mungkin bisa dimasukkan sebagai program yang didanai program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR),” ujarnya.
Renus mengatakan, pihaknya juga sangat mengapresiasi inisiatif masyarakat yang secara swadaya mulai merintis perpustakaan mandiri. Di sejumlah tempat, perpustakaan yang dibangun mandiri tersebut juga ramai dikunjungi warga setempat.
”Perpustakaan di daerah yang ramai dikunjungi warga membuktikan bahwa sebenarnya minat baca bisa ditingkatkan jika tersedia fasilitas pendukung yang memadai,” ujarnya. Namun, dalam hal ini, Renus mengatakan, pemerintah pusat tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan anggaran.
Perpustakaan di daerah yang ramai dikunjungi warga membuktikan bahwa sebenarnya minat baca bisa ditingkatkan jika tersedia fasilitas pendukung yang memadai.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Magelang Isa Ashari mengatakan, Perpustakaan Kota Magelang kini memiliki 57.000 buku yang terdiri atas 39.000 judul buku. Setiap tahun, lanjut Isa, pihaknya selalu berupaya menambah sedikitnya 600 koleksi buku baru. Namun, di luar itu, perpustakaan Kota Magelang juga selalu rutin mendapat bantuan dari berbagai pihak, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, perusahaan swasta, dan masyarakat.
”Setiap tahun, total bantuan tambahan buku baru bisa mencapai sekitar 3.000 buku,” ujarnya.
Rata-rata jumlah pengunjung dan peminjam buku di perpustakaan Kota Magelang mencapai sekitar 300 orang per hari. Menurut Isa, tingkat kunjungan tersebut sudah dianggapnya cukup baik, mengingat jumlah penduduk Kota Magelang yang sangat sedikit, kurang dari 200.000 orang.
Latifah Wahyuni, pustakawan di SMP Negeri 7 Magelang, yang baru saja meraih penghargaan sebagai harapan III untuk Lomba Pustakawan tingkat Nasional, mengatakan, guna meningkatkan minat baca, perpustakaan harus dibenahi. Selain menambah koleksi buku dengan judul-judul buku yang menarik, perpustakaan juga perlu ditata agar menjadi ruang yang nyaman bagi siapa pun untuk melakukan berbagai kegiatan literasi.
Di SMP Negeri 7 Magelang, Latifah mencontohkan, dirinya juga selalu berupaya melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan minat baca dan mendorong tingkat kunjungan siswa. Beragam upaya tersebut di antaranya dengan melakukan diskusi, bedah buku, dan pelatihan membuat cerita fiksi. Di sekolah, para murid juga kerap diajak berdiskusi tentang film yang mengangkat kisah dari buku dan membandingkannya dengan bahasa tutur di buku.