Aksi Solidaritas Tuntut Bebas Dua Wartawan di Palangkaraya
Dua wartawan di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik salah satu perusahaan perkebunan sawit akibat pemberitaan. Puluhan wartawan menggelar aksi damai meminta pengadilan membebaskan keduanya dan mendorong penyelesaian kasus melalui Dewan Pers.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Dua wartawan di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik salah satu perusahaan perkebunan sawit akibat pemberitaan. Puluhan wartawan menggelar aksi damai meminta pengadilan membebaskan keduanya dan mendorong penyelesaian kasus melalui Dewan Pers.
Kedua wartawan tersebut yakni Yundhi dan Arliandie. Mereka adalah wartawan dan pimpinan redaksi dari media daring Beritakalteng.com. Kasus ini muncul ke permukaan dan menjadi laporan kepolisian saat Yundhi menulis konflik antara PT Agrindo Green Lestari (AGL) dengan masyarakat di Kabupaten Pulang Pisau.
Dari sekian banyak berita terkait kasus itu yang dimuat di media daring itu, salah satu judul berita dipersoalkan. Berita tersebut berjudul "Inilah Bukti Adanya Dugaan Pemalsuan Dokumen PT AGL". Keduanya pun dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian untuk kasus pencemaran nama baik. Namun, hingga kini keduanya tidak ditahan.
Pada Jumat (26/7/2019) pagi, puluhan wartawan melakukan aksi solidaritas untuk kedua wartawan. Mereka menuntut keduanya dibebaskan.
“Yang jadi masalah itu adalah produk jurnalistik seharusnya menggunakan aturan kode etik dan undang-undang pers, bukan pidana. Ini salah prosedur dari awal,” ungkap Ririn Binti, wartawan senior di Palangkaraya dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalteng.
Ririn mengungkapkan, dalam aksi tersebut, terdapat beberapa permohonan yang disampaikan ke Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya. Salah satunya adalah tuntutan bebas kedua wartawan.
Dalam pengambilan keputusan, hakim harus mempertimbangkan kasus itu dengan mengedepankan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Ini sudah kasus kedua di Kalimantan Tengah dan masih banyak kasus lainnya yang berkaitan dengan produk jurnalistik yang masih belum diketahui,” kata Ririn.
Dalam pengambilan keputusan, lanjut Ririn, hakim harus mempertimbangkan kasus itu dengan mengedepankan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. “Ini harus dilawan terus, kami tidak mau pemberitaan yang bersifat kontrol sosial diancam dengan penjara,” katanya.
Peserta aksi kemudian diterima Ketua Pengadilan Negeri Palangkaraya Kurnia Yani Darmono. Kurnia menerima pernyataan sikap para wartawan dan menjelaskan fungsi juga tugas pokok hakim dalam mengadili kasus. “Undang-Undang menjadi landasan berpijak akhir untuk menjatuhkan sebuah putusan,” katanya singkat.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Ajun Komisaris Besar (AKBP) Hendra Rochmawan. Menurut dia, permasalahan ini sudah dibicarakan dengan Dewan Pers dan PWI Kalteng sejak lama. “Kasus ini terkait kesalahan profesionalisme jurnalistik,” ujar dia.
Pada 2017 lalu, Polri dan Dewan Pers membuat nota kesepahaman terkait koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum dalam penyalahgunaan profesi wartawan. Kesepakatan itu ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Yosep Adi Prasetyo dari Dewan Pers. Tujuannya mengantisipasi penegakan hukum dalam kerja jurnalistik.
Di mata hukum, semua manusia sama dan wartawan memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi pada produk jurnalistiknya.(Hendra Rochmawan)
Menurut Hendra, kesepakatan itu belum dipahami secara menyeluruh oleh awak media. Di mata hukum, lanjut Hendra, semua manusia sama dan wartawan memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi pada produk jurnalistiknya.
“Pahami dulu apa produk jurnalistik dan yang bukan. Dalam kasus ini, itu kesalahan profesionalisme jurnalistik,” kata Hendra. Menurut dia, kesepakatan itu sangat bermanfaat untuk memberikan kesempatan mediasi dan banyak hal lainnya.
“(Dampaknya) Lebih terhormat dan lunak dari profesi apapun saat disidik oleh polisi,” kata Hendra.