Desa dan Kelurahan di Sulawesi Tengah Rancang Kesiapsiagaan Bencana
Sejumlah desa dan kelurahan di Sulawesi Tengah mulai merancang kesiapsiagaan untuk pengurangan risiko atau mitigasi bencana. Selama ini, mitigasi tak menjadi perhatian sehingga saat gempa sembilan bulan lalu, warga tidak siap dan koordinasi penanganan bencana belum berjalan baik.
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
SIGI, KOMPAS — Sejumlah desa dan kelurahan di Sulawesi Tengah mulai merancang kesiapsiagaan untuk pengurangan risiko atau mitigasi bencana. Selama ini, mitigasi tak menjadi perhatian sehingga saat gempa sembilan bulan lalu, warga tidak siap dan koordinasi penanganan bencana belum berjalan baik.
Inisiatif tersebut dilakukan Jaringan Mitra Kemanusiaan (JMK)-Oxfam bersama dengan 10 desa/kelurahan di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Kota Palu. Desa/kelurahan tersebut antara lain Desa Langaleso dan Desa Sibalaya Utara di Sigi; Kelurahan Lere, Duyu, dan Kelurahan Talise di Kota Palu.
Gempa bumi disertai tsunami dan likuefaksi (pencairan tanah) melanda Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu pada 28 September 2018. Korban meninggal mencapai 4.000 orang dengan rumah rusak hampir 80.000 unit.
Kepala Seksi Keuangan Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Sahlan mengatakan, pihaknya sangat menyambut baik inisiatif pembentukan desa siaga atau tangguh bencana tersebut. Untuk mewujudkan hal itu, akan dibentuk tim khusus.
”Tim itu akan menggodok hal-hal yang diperlukan terkait dengan kegiatan pengurangan risiko bencana tingkat desa, mulai dari pembentukan kelompok yang menggerakkan kegiatan, frekuensi kegiatan, bentuk simulasi, hingga anggaran yang perlu dialokasikan,” katanya saat ditemui di kantor Desa Langaleso, Kamis (11/7/2019).
Sahlan mengakui, selama ini tak ada kegiatan terkait pengurangan risiko, baik yang dilakukan di tingkat kabupaten maupun desa. Untuk tahun anggaran 2019, pihaknya pun belum sempat memasukkan kegiatan mitigasi. Yang dianggarkan hanya penanganan fisik pascagempa. Namun, ia menjanjikan kegiatan pengurangan risiko akan diperjuangkan untuk masuk ke rancangan anggaran 2020.
”Kami merasakan bagaimana ketidaksiapsiagaan saat terjadi bencana. Hampir semua rumah tangga tidak memiliki cadangan logistik sehingga sangat bergantung pada bantuan luar, terutama dua minggu pertama. Koordinasi untuk penanganan bencana juga tidak jelas,” ujarnya.
Secara terpisah, Lurah Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Nurdin F Adam menyampaikan, pihaknya akan sesering mungkin menggelar penyuluhan dan simulasi menghadapi gempa ke depan demi kesiapsiagaan bencana.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulteng Bartolomeus Tandigala menyatakan sudah mulai mengambil langkah bertahap membentuk desa siaga bencana. Namun, ia tidak punya data terkait dengan jumlah pasti desa yang sudah menerapkan kesiapsiagaan itu.
Fasilitator Emergency, Food, Security, Vunerable, and Livelihood JMK-Oxfam Budiman Widyanarko dalam pemaparan kegiatan lembaga sosial itu pada Rabu (11/7/) menyampaikan, pembentukan desa/kelurahan tangguh bagian dari program lanjutan pascabencana. Tujuannya, untuk menciptakan individu yang sadar bencana dan desa sebagai kesatuan wilayah yang tangguh terhadap bencana.
”Ide besarnya pengurangan risiko menjadi arus utama kehidupan agar masyarakat memiliki mekanisme untuk bertahan hidup, bisa beradaptasi dengan perubahan karena bencana,” katanya.
Di Yogyakarta pascagempa pada 2006, lanjut Budiman, terbentuk desa-desa yang siaga bencana. Desa memiliki forum khusus untuk pengurangan risiko, peraturan desa untuk kegiatan-kegiatan mitigasi, hingga rencana kontigensi. ”Desa saat ini memiliki sumber daya, yakni dana desa yang besar untuk kegiatan pengurangan risiko. Ini model dasar untuk mewujudkan masyarakat tangguh,” katanya.