Kisah Para Perempuan Ojek ”Online”
Para perempuan yang memilih bekerja sebagai pengemudi ojek daring (online) setiap hari menghadapi jalanan yang keras demi menopang ekonomi keluarga. Mereka melaju dari subuh hingga larut malam menempuh lebih dari 100 kilometer setiap hari. Mereka kenyang ditipu pelanggan, diterjang panas dan hujan, hingga disepelekan penumpang karena mereka seorang perempuan.
Mereka juga harus berhadapan dengan perusahaan aplikasi yang sering sewenang-wenang memotong bonus atau bahkan memutus kemitraan secara sepihak.
Hal itu tergambar dalam Wajah Kristina Siahaan (38) yang tampak kusam saat ikut berunjuk rasa bersama sekitar 1.000 pengemudi Go-Jek lainnya di kantor Go-Jek Perwakilan Medan, Sumatera Utara, Kamis (22/11/2018).
”Sudah seminggu saya enggak narik karena diputus kemitraan oleh Go-Jek secara sepihak. Saya dituduh menggunakan fake GPS (GPS palsu), padahal saya sama sekali tidak tahu-menahu soal itu. Selama seminggu ini saya menghidupi keluarga dengan mengumpulkan botot (botol minuman bekas pakai),” kata Kristina.
Kristina adalah satu dari sekian banyak perempuan yang memilih bekerja sebagai pengemudi ojek online. Sudah lebih dari setahun ia menekuni pekerjaan itu agar bisa membiayai pengobatan suaminya dan menafkahi anak semata wayangnya yang baru berusia lima tahun.
Menjadi pengemudi Go-Jek adalah pilihan terakhir Kristina setelah suaminya diserang penyakit diabetes melitus. Warung kebutuhan bahan pokoknya di Pasar Simpang Limun, Medan, terpaksa ditutup tahun lalu karena tidak ada lagi yang mengurus dan sering merugi. ”Waktu itu saya sangat kebingungan harus memenuhi kebutuhan keluarga dari mana. Lalu seorang teman menyarankan saya menjadi pengemudi Go-Jek,” kata Kristina.
Kristina pun akhirnya mendaftar dan diterima menjadi pengemudi Go-Jek. Awal menjadi pengemudi ojek online adalah masa-masa sulit bagi Kristina. Ia harus menyiapkan fisik dan mental yang lebih kuat. Ia juga harus membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaannya.
Kristina bangun sebelum pukul 05.00 untuk memasak dan membereskan pekerjaan rumah. ”Sebelum pukul 06.00 saya harus berangkat agar bisa mendapat sewa anak sekolah dan pekerja kantoran,” kata Kristina.
Kristina pun memilih untuk pulang ke rumah pada siang hari agar bisa membagi waktu untuk suami dan anaknya. Ia juga makan siang di rumah untuk menghemat. Sebelum jam pulang sekolah, ia kembali mengaspal mencari penumpang di jalanan Kota Medan yang keras hingga malam hari.
Dalam sehari, para perempuan pengemudi Go-Jek bisa mendapat penghasilan kotor Rp 150.000. Pendapatan itu masih harus dipotong komisi untuk perusahaan Go-Jek sebesar 20 persen atau Rp 30.000, bahan bakar Rp 20.000, dan biaya bulanan Rp 30.000. Biaya bulanan itu ditabung untuk pemeliharaan dan ganti oli mesin sepeda motor, membeli pulsa, dan paket internet.
”Pendapatan bersih kami hanya sekitar Rp 70.000 per hari. Itu kalau kredit sepeda motornya sudah lunas,” katanya.
Sering dibatalkan
Sebagai pengemudi perempuan, Kristina sering sekali disepelekan penumpang, khususnya laki-laki. ”Cewek ya driver-nya. Saya batalkan saja ya, segan dibonceng cewek,” kata Kristina meniru perkataan pelanggannya.
Kristina pun pernah hilang kesabaran karena sampai empat kali dalam sehari pesanannya dibatalkan hanya karena dia seorang perempuan. ”Saya sampai emosi dan marah sama pelanggan. Menurut saya, mereka itu sangat menyepelekan perempuan. Padahal, pembatalan pesanan mengurangi peluang saya mendapatkan bonus harian,” kata Kristina.
Di jalanan, para perempuan ojek online juga harus berhadapan dengan sopir angkot atau becak yang merasa tersaingi dengan kehadiran ojek online. Beberapa kali Kristina dipepet angkot hingga hampir terjatuh. Ia sering beradu mulut dengan para sopir angkot. Pengemudi becak juga sering menerornya ketika berhenti atau parkir.
Tidak hanya Kristina, pengemudi perempuan lainnya juga mengalami hal yang sama. Novi (45) beberapa kali ditipu pelanggan yang memesan makanan via aplikasi Go-Food. ”Saya pernah antar makanan seharga Rp 85.000. Begitu sampai di alamat pemesan, teleponnya tidak aktif lagi. Akhirnya saya yang makan pesanannya itu. Padahal, saya belum pernah makan semahal itu,” kata Novi.
Novi mengatakan, mereka juga terkadang harus mengantar pesanan makanan meskipun hujan deras. ”Pernah saya mengantar makanan ke pelanggan saat hujan deras. Yang membuat saya kesal, pelanggannya menunggui saya mengembalikan uang Rp 500, padahal dia sudah lihat saya basah kuyup,” kata Novi.
Kekerasan yang mereka hadapi tidak hanya dari jalanan atau pelanggan. Mereka juga berhadapan dengan perusahaan aplikasi yang sewenang-wenang membuat kebijakan.
Sejumlah pengemudi Go-Jek beberapa minggu ini diputus kemitraan karena dituduh menggunakan aplikasi GPS palsu untuk mengelabui sistem aplikasi Go-Jek. Padahal, menurut mereka, mereka sama sekali tidak tahu tentang GPS palsu tersebut. Mereka tiba-tiba mendapat pemberitahuan di aplikasi kalau sudah diberhentikan dari driver Go-Jek.
Berorganisasi
Untuk menghadapi sejumlah tantangan dan juga kekerasan di lapangan, para perempuan pengemudi ojek online itu pun membentuk perkumpulan agar bisa saling berbagi rasa dan saling menguatkan. Kristina dan Novi bergabung dalam Srikandi Go-Jek Medan yang anggotanya sekitar 50 orang.
Menurut Ketua Srikandi Go-Jek Medan Samiati, mereka selalu berhadapan dengan kebijakan perusahaan aplikasi yang tidak adil. Perhitungan bonus harian dan tarif berubah sewaktu-waktu. Program promo secara tidak langsung dibebankan kepada pengemudi. Padahal, pengemudi menanggung semua biaya operasional, mulai dari pembelian sepeda motor, pengisian bahan bakar, pemeliharaan kendaraan, pembayaran pajak kendaraan, uang parkir, hingga pembelian jaket dan helm dari perusahaan.
Para perempuan itu harus turun ke jalan berunjuk rasa menuntut keadilan. Mereka terimpit di antara kerasnya jalanan dengan kebijakan perusahaan aplikasi.
Perwakilan Go-Jek di Kantor Perwakilan Medan, Andre, kepada para pengunjuk rasa, mengatakan, pihaknya telah menerima masukan-masukan dari para pengemudi dan akan membicarakannya dengan manajemen di Jakarta. Pihaknya juga akan membicarakan soal pemutusan kemitraan dengan para pengemudi agar bisa diterima kembali.
”Kami akan menyelesaikan persoalan ini dalam seminggu ke depan,” kata Andre.
Para pengemudi perempuan itu pun berharap bisa kembali mendapatkan penghasilan yang layak dengan aturan yang lebih adil.