Kampanye Hitam dan Berita Bohong Menghancurkan Harapan
SURABAYA, KOMPAS - Kampanye hitam dan berita bohong bukan saja bisa mengganggu stabilitas sosial, tetapi bisa menghancurkan peradaban. Upaya menangkalnya bisa ditempuh dengan membuat narasi yang menumbuhkan harapan bukan narasi yang menyuburkan kebencian.
Hal itu terangkum dalam diskusi Antisipasi Kampanye Hitam dan Berita Bohong yang diselenggarakan atas kerajasama oleh Harian Kompas dan Universitas Airlangga serta didukung Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unair di Kantor Harian Kompas Surabaya, Selasa (30/10/2018). Diskusi itu dihadiri para akademisi sejumlah kampus negeri dan swasta di Surabaya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya, Hotman Siahaan menuturkan kehadiran teknologi bisa mempercepat, mempermudah informasi, efisien dan masif. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik justru tidak menyumbang apapapun pada peradaban dan malah meruntuhkan harapan.
Berita bohong sudah menjadi sebuah industri, disebar melalui media sosial, lalu disebarkan
Bahkan bisa memicu pertentangan, termasuk memunculkan ujaran kebencian. Itu bisa menghadirkan budaya pecundang dan kelas pemberang. “Ujaran kebencian itu bisa memacu perang semua lawan semua, bahkan bila kini sudah masuk kategori biadab dan diungkapkan dengan kata-kata kotor. Hukum tak menjangkau sepenuhnya,” kata Hotman.
Akhmad Cholis Hamzah dari Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unair menilai kampanye hitam dan berita bohong bisa membuat masyarakat terpecah. Media arus utama harus menyajikan berita yang mengedukasi untuk mengimbangi berita bohong. “Berita bohong sudah menjadi sebuah industri, disebar melalui media sosial, lalu disebarkan,” katanya.
Ia membandingkan dulu, para politisi pendiri negara ini tidak ada yang menyerang pribadi. Saat ini justru menyerang pribadi, dan masyarakat menelan begitu saja. Akademisi dan media arus utama punya kewajiban moral memberikan edukasi politik pada masyarakat,” katanya.
Ido Priyana Hadi dari Universitas Kristen Petra Surabaya mengingatkan bahayanya berita berdasarkan asumsi lebih dipercaya. Tidak jarang pula pembenaran lebih dipercaya daripada kebenaran. “Celakanya bila informasi yang belum sempat dicek kebenarannya langsung disebar dan diyakini sebagai kebenaran,” katanya.
Menurut Dwi Windyastuti dari FISIP Unair, hoaks itu apusan (bohong) berarti ada yang ngapusi (melakukan kebohongan) dan ada tukang ngapusi (pembuat atau orang yang terus menerus memproduksi kebohongan). Hoaks menabrak nalar manusia, nalar untuk kebenaran, kejujuran dan keadilan.
Ujaran kebencian itu bisa memacu perang semua lawan semua
Hoaks mungkin saja seksi, trendi, kekinian untuk milenial, apalagi sudah viral. "Tetapi itu hoaks dan kampanye hitam itu mengacaukan, apalagi kalau hoaks itu direkayasa secara masif untuk memukul lawan politik,” papar Dwi.
Menurut Dwi, tukang ngapusi sama saja mempermainkan aparat negara, dan mengesankan pemerintah menjadi tidak kredible. Ia mencontohkan kasus Ratna Sarumpaet akan berbahaya jika tak diatasi. “Hoaks mengguncang kodrat akal budi manusia yang rindu jujur, benar dan adil. Hoaks menjadi musuh bersama akademisi, media dan masyarakat,” paparnya.
Ranah politik
Guru Besar Unair dan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) Kacung Marijan, menambahkan kampanye hitam dan berita bohong juga masuk ranah kompetisi politik. Tetapi kini semua terfokus yang terkait pemilihan presiden dan wakil presiden.
Hoaks mengguncang kodrat akal budi manusia yang rindu jujur, benar dan adil
Menurut pandangan Kacung, dalam persaingan politik bisa dilakukan dengan cara up grading (mengangkat) citra positif calon, juga bisa dengan downgrade (menjatuhkan) rival melalui kampanye negatif dan kampanye hitam, lempar kelemahan lawan. “Jika kampanye negatif masih dibumbui fakta tapi yang negatif terkait lawan, tapi kampanye hitam cenderung di luar fakta,” tuturnya.
Menurut dia, saat ini semua orang mendadak bisa ahli politik. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kampanye positif, dengan membuat narasi sederhana, apalagi kini penyebarannya lebih mudah, lewat media sosial. “Akan bahaya jika informasi dari media non arus utama yang tidak teruji kebenarannya malah dipercaya, dan media arus utama malah dianggap bohong,” kata Kacung.
Yayan Sakti dari Departenemen Komunikasi Unair menilai hoaks menjadi isu seksi. Ciri hoaks biasanya bombastis, tidak jelas dan bisa saja berita lama yang diulang dan dinarasikan untuk peristiwa baru.
Tantangan ke depan bukan saja gambar yang diedit, dan dijadikan sumber hoaks, bisa jadi video. Misalkan yang bicara seolah presiden tetapi itu diedit lewat aplikasi.
Akan bahaya jika informasi dari media non arus utama yang tidak teruji kebenarannya malah dipercaya, dan media arus utama malah dianggap bohong
Hoaks menjadi industri mengubah perilaku masyarakat menjadi kecentilan dan kegenitan bermedia sosial. Biar dianggap tahu lebih dulu, lebih kosmopolitan. “Itu akan diperparah budaya baca belum kuat, masuk budaya menonton, dan budaya copy paste lalu share,” katanya.
Kampanye hitam dan kampenya negatif biasanya tak kuat data, tetapi jika diviralkan dan mudah dipercaya bisa bahaya. Airlangga Pribadi Usman dari Unair, menilai ada hal yang lebih mendasar.
Persoalan kampanye hitam dan berita bohong diproduksi sebagai proyek politik berbasis kebencian. Isi PKI, anti etnis China, pribumi nonpribumi, menjadi narasi yang bisa memicu kebencian.
Kita semua mungkin tidak sadar juga menjadi korban hoaks. Ini mengancam logika dan bangsa
Kebohongan akan menjadi proyek utama dalam penguatan narasi kebencian. Jika kebencian dominan dimanfaatkan elit politik. Narasi cerita punya peran fundamental untuk meyakinkan yang diikat dengan pengetahuan dan data.
Itu akan jadi positif saat dibuatkan narasi yang memunculkan harapan dan optimisme. Tetapi dalam kampanye hitam dan hoak yang dominan ditonjolkan adalah narasi kebencian. “Narasi kebencian menjadi senjata utama,” katanya.
Kris Nugroho dari FISIP Unair menyebutkan partai politik bisa mengantisipasi kampanye hitam dan berita bohong. Hoaks dan kampanye hitam bisa ditujukan untuk mendongkrak calon atau partainya sebaliknya mendegradasi elektabilitas.
Narasi kebencian menjadi senjata utama
Itu bisa membuat masyarakat bingung dan terbelah, bahkan ekstrem nya sama sama lain dianggap lawan. Situasi itu bisa merugikan satu pihak dan menimbulkan kelimbungan politik.
Taufikurrochman, menuturkan seharusnya segala hal itu dilihat manfaat dan mudharatnya. Dlaam persaingan politik butu strategi ideal dan canggih bukan represif. “Yang penting bisa mengubah keyakinan lawan dan pendukungnya seperti keyakinan kita. Itu strategi mencerahkan,” tuturnya.
Agus Mahfud Fauzi dari Universitas Negeri Surabaya menyampaikan pertarungan petahana dan penantang selalui beriringan dengan kampanye hitam dan hoaks. Informasi terkait kontestan akan sangat mempengaruhi preferensi pemilih.
Yang penting bisa mengubah keyakinan lawan dan pendukungnya seperti keyakinan kita. Itu strategi mencerahkan
Sayangnya, dalam sejarah, baik parpol, politisi dan capres cawapres tidak ada yang terdegradasi terkait hoaks atau kampanye hitam. Masyarakat yang harusnya mengantisipasi dan menghindarinya, malah ada terlibat kampanye hitam dan berita bohong.
Fika dari Untag Surabaya menilai kondisi saat ini menjadi momentum agar jurnalisme arus utama dekat dengan kehidupan sehari hari dan memunculkan narasi alternatif selain narasi politik. Pendidikan tinggi dan praktisi media boisa merumuskannya membangun jurnalisme warga menjadi mainstream. “Sekarang ngeri, di pengajian ibu-ibu ngomong soal politik dari persepsi,” katanya.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Unair, Henry Subiakto menuturkan menggunakan hoaks dan berita bohong adalah bagian dari mainan, sama dengan menggunakan agama untuk mempengaruhi keyakinan. Tetapi itu bisa menciptakan kegaduhan dan menggoyah stabilitas. Apalagi hoaks diproduksi dengan big data untuk menggoncang sikap politik.
“Kita semua mungkin tidak sadar juga menjadi korban hoaks. Ini mengancam logika dan bangsa. Meskipun teknologi digital bisa melacak pemroduksi dan penyebar, tetapi belum dibuka,” katanya.