Merawat Tradisi Sedekah Bumi di Tengah Industri
Tradisi sedekah bumi masih terpelihara hingga kini di sejumlah desa di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tradisi itu bukan hanya wujud rasa syukur atas hasil bumi yang dinikmati warga setempat. Sedekah bumi itu juga menjadi sarana warga merawat kebersamaan, melestarikan nilai kerukunan dan menjaga gotong royong dalam kepungan kemajuan Gresik sebagai daerah industri. Gunungan tumpeng jumbo pun beragam, ada yang dirangkai dari sayuran, buah dan hasil bumi, hingga ikan.
Sedekah bumi itu diantaranya masih terjaga di Desa Kembangan, Kedanyang, dan Dahanrejo, Kecamatan Kebomas; Desa Banjarsari (Dusun Betiring) dan Desa Tambakberas, Kecamatan Cerme; Desa Domas, Menganti, Laban, Ngembung, Kepatihan (Dusun Glintung, Dusun Ngasinan), Hulaan, Kecamatan Menganti; serta Desa Sumari, Kecamatan Duduksampeyan. Sedekah bumi juga terpelihara di Desa Pongangan, Kecamatan Manyar.
Di Dusun Betiring, Desa Bajarsari, Kecamatan Cerme, biasanya sedekah bumi di Betiring digelar setiap 27 Dzulqaidah kalender Hijriah atau 27 sasi Sela penanggalan Jawa, tahun ini bertepatan Kamis (9/8/2018). Dalam tradisi sedekah bumi di Betiring selalu ada rengginang yang dibentuk menyerupai tanduk kerbau menghiasi aneka makanan ringan, jajanan pasar, minuman dan buah-buahan yang disusun rapi pada ancak atau asahan.
Simbol kemakmuran
Ancak itu berupa papan semacam meja altar yang dibuat mirip tandu. Ada ratusan ancak yang disiapkan. Setiap sembilan rumah di sembilan RT menyiapkan dua ancak. Biaya satu ancak mencapai Rp 1 juta-Rp 2 juta.
Tradisi sedekah bumi dihadiri pula warga dua desa. Pada saat sedekah bumi, warga tidak bekerja baik ke sawah maupun ke luar kota. Mereka meliburkan diri dari mencari nafkah dan bergotong royong melaksanakan sedekah bumi.
Kami hanya meneruskan tradisi dari leluhur
Menurut seorang warga Supi’in (56), sedekah bumi mengandung nilai ajaran sedekah. Esensi dan tujuan sedekah bumi sebetulnya dimaksudkan untuk melatih agar manusia biasa bersyukur atas nikmat Tuhan dan gemar bersedekah. “Kami hanya meneruskan tradisi dari leluhur,” katanya.
Ia menjelaskan berbagai macam makanan ditata sedemikian rupa, diletakkan di atas ancak. Ancak-ancak itu dibawa warga dari berbagai penjuru gang dan rumah, lalu ditata berderet ke pusat acara di perempatan jalan Dusun Betiring.
Kalau dulu ancak terbuat dari kayu dan perlu dicat menjelang sedekah bumi, kini sebagian warga sudah membuat ancak dari bahan stainless. Biaya pembuatan ancak dari stainless itu mencapai Rp 1,3 juta.
Setiap ancak dihiasi rangkaian rengginang atau kerupuk dari ketan sepanjang kurang lebih satu meter yang dibentuk menyerupai tanduk kerbau. Jumlahnya ada empat tanduk setiap ancak. Tanduk kerbau tersebut pertanda kesuburan, karena pada zaman dulu masyarakat Betiring membajak sawahnya dengan menggunakan kerbau.
Setiap tandu ancak perlu digotong oleh empat orang bahkan lebih, untuk membawanya ke tempat upacara. Beberapa di antaranya dibawa dengan mobil bak terbuka dan gerobak dorong. Tahun ini, ada sekitar 400 ancak, isinya berbeda-beda, tetapi ada satu ciri khas yang tidak boleh ditinggalkan, yakni wajib membuat tanduk kerbau dari rangkaian rengginang.
Ziarah leluhur
Ritual sedekah bumi di Betiring diawali sekitar pukul 06.00. Dipimpin sesepuh desa, Ki Priyo Anggodo, akrab disapa Mbah Pri yang menabuh bende (gong kecil) untuk mengumpulkan warga. Setelah warga berkumpul, Mbah Pri membuka payung pusaka. Payung dan bende yang berusia 301 tahun itu lalu diarak keliling kampung diiringi bacaan shalawat Nabi Muhammad hingga berakhir di tempat acara selamatan.
Kedua benda pusaka itu merupakan hadiah dari Kanjeng Raden Ngabehi Tumenggung Pusponegoro (Bupati Gresik) pada tahun 1617. Dua pusaka itu adalah hadiah keberhasilan dan kemakmuran warga Betiring. Payung dan bende menjadi bagian dari ritual sedekah bumi untuk menghormati Ki Pusponegoro yang dimakamkan di kompleks Pemakaman Maulana Malik Ibrahim.
Seusai acara mengarak bende dan payung pusaka, ada ritual gendingan di kompleks makam Ki Ageng Betiring. Nyanyian dari sang waranggono (biduan) diiringi gamelan jawa menembangkan shalawat. Setelah itu, gamelan dibawa ke panggung prosesi acara yang berjarak sekitar 700 meter dari kompleks makam.
Sepekan sebelumnya, sebagian laki-laki melaksanakan nyekar ke makam Kiai Ageng Betiring dan Makam Kanjeng Sunan Giri di kompleks pemakaman Sunan Giri. Ada juga warga yang nyekar ke kompleks Kulahan, makam leluhur di desa setempat.
Mbah Pri menuturkan, Kiai Ageng Betiring merupakan abdi dalem sekaligus penasihat Sunan Giri. Kiai Ageng Betiring menyiarkan agama Islam di beberapa tempat di Gresik, termasuk Desa Kedanyang, Tambakberas, dan Dahanrejo.
Kanjeng Sunan Giri bersama Ki Ageng Betiring melatih warga desa sekitar menjadi prajurit guna menghadapi perang melawan pasukan Brawijaya. ”Kawah candradimuka atau tempat latihan itu dinamakan kulahan (sekolahan),” tutur Mbah Pri.
Kawah candradimuka atau tempat latihan itu dinamakan kulahan
Dinikmati wWarga
Pada prosesi akhir, warga mempersembahkan makanan yang ditaruh di ancak. Makanan itu dinikmati bersama-sama. Setiap dua ancak dibagi rata ke sembilan keluarga yang patungan. Selebihnya, dibagikan kepada warga sekitar yang unjung-unjung (bersilaturahmi) di antaranya ada buah-buahan, wajik, roti, kembang gula, dan rengginang. Para pejabat dan tokoh yang datang pun mendapatkan berkat (makanan) untuk dibawa pulang.
Desa-desa yang menggelar ritual sedekah bumi di Gresik, dulunya merupakan penghasil beras. Saat ini, sebagian lahan beralih fungsi untuk permukiman dan industri. Tradisi itu tetap dilaksanakan dan tidak tergerus kemajuan zaman.
Menurut Bupati Gresik Sambari Halim Radianto, sedekah bumi di Betiring patut dilestarikan. Sedekah bumi itu lebih merajut kebersamaan antarwarga. Esensinya sama, sebagai wujud rasa syukur atas nikmat dan rezeki dari Tuhan.
“Ini bukan saja bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, tetapi meningkatkan kepedulian serta peran aktif masyarakat dengan semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan. Kami berharap bukan hanya dalam sedekah bumi masyarakat bersatu padu, tetapi juga dalam pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat,” paparnya.
Ikut memikul
Pada sedekah bumi di Desa Kedanyang, tahun ini terasa istimewa. Bupati Gresik Sambari Halim Radianto dan Wakilnya Mohammad Qosim pada Sabtu (4/8/2018) membaur bersama warga. Keduanya ikut merasakan memikul tumpeng sepanjang 100 meter menuju balai desa yang sebelumnya diarak keliling desa oleh warga.
Sambari mengimbau warga Gresik mengedepankan persatuan kesatuan dan kerukunan. Ia mengapresiasi warga Kedanyang hingga kini masih melestarikan sedekah bumi sebagai warisan budaya leluhur. “Kami berharap warga tetap bergotong royong dalam membangun demi kemajuan desa,” katanya.
Tahun ini tumpeng yang diarak berisi hasil pertanian. Setelah prosesi doa, tumpang berisi buah, sayuran dan polo pendem itu menjadi rebutan warga. Kepala Desa Kedanyang, Almuah, menyatakan melalui sedekah bumi yang sudah berlangsung turun temurun ini, masyarakat diajak tetap bersatu. “Ini mengandung makna rasa syukur atas kesejahteraan masyarakat. Melalui tradisi itu kerukunan 10.000 warga bisa semakin direkatkan,” katanya.
Ini mengandung makna rasa syukur atas kesejahteraan masyarakat. Melalui tradisi itu kerukunan 10.000 warga bisa semakin direkatkan
Menurut Almuah, awalnya, Kedanyang terdiri dari 500 jiwa penduduk, tersebar 12 RT di dua RW. Sejak tumbuhnya beberapa perumahan baru awal era 1990-an, dan hingga kini, warga Kedanyang mencapai lebih dari 10.000 orang tersebar di 67 RT di 16 RW. Melalui sedekah bumi, warga tetap menjaga nilai-nilai warisan leluhur.
Upaya melestarikan tradisi leluhur juga dipelihara warga Desa Tambakberas, Keamatan Cerme. Di daerah sawah tambak ini, hasil bumi yang dijadikan gunungan tumpeng setinggi 2 meter, dirangkai dari 1.600 ikan bandeng yang digoreng.
Gunungan bandeng itu diarak bersama hasil bumi lain dari tiga dusun pada Sabtu (28/7/2018) lalu. Kepala Desa Tambakberas, Wahyudi tumpengan bandeng ini bisa menjadi ikon Tambakberas sebagai tempat budi daya bandeng. “Yang penting ini wujud syukur, dan warga tetap bisa guyup rukun,” ujarnya.
Camat Cerme Arifin menilai, semangat kebersamaan, kerukunan dan kekompakan yang tercermin lewat sedekah bumi menjadi nilai tambah tersendiri. Apalagi semua perangkat desa mengenakan budaya Jawa, yang laki mengenakan blangkon. “Pesan penting sedekah bumi adalah mempererat silaturahmi,” katanya.
Tahun ini sedekah bumi di Dusun Glintung, Desa Kepatihan, Kecamatan Menganti tak kalah unik. Hasil bumi ditata dengan bentuk menyerupai gunungan wayang kulit setinggi 2 meter yang diarak keliling desa pada Minggu (12/8/2018) lalu.
Kepala Desa Kepatihan Nemo Noto, menyebutkan tradisi sedekah bumi juga dirangkai dengan khataman AlQuran, pengajian, istighatsah, dan kirab hasil bumi. Warga juga bisa menikmati hiburan wayang kulit dan campur sari di balai desa.