Orang Dalam, Ketika Koneksi Mengalahkan Kompetensi di Dunia Kerja
Keberadaan orang dalam bukan sekadar isu etis, melainkan penghalang nyata terhadap kesempatan yang adil.
Fenomena orang dalam masih mengakar kuat dalam dunia kerja di Indonesia. Menguntungkan yang memiliki koneksi, namun merugikan para pencari kerja yang sebenarnya lebih berpotensi.
Di balik kilauan prestisius dunia korporat, terselip sebuah fenomena yang telah menjadi rahasia umum di antara para pencari kerja dan karyawan. Fenomena ini menciptakan nuansa ketidakadilan yang menyelimuti proses rekrutmen hingga promosi karier kerja.
Fenomena ini di dunia kerja dikenal dengan istilah orang dalam, atau ordal, yang telah menjadi momok tak terelakkan. Bagi banyak orang, keberadaan ordal bukan sekadar isu etis, melainkan penghalang nyata terhadap kesempatan yang adil.
Di tengah usaha keras untuk membuktikan kemampuan dan kompetensi, bayang-bayang ordal sering kali memupus harapan mereka yang layak, namun tidak memiliki akses pada koneksi yang tepat.
Baca juga: ”Orang Dalam” yang Jadi Andalan Para Pencari Kerja
Alda Octavia (22), seorang fresh graduate dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta, pernah menyaksikan bagaimana kekuatan ordal berperan dalam proses rekrutmen di sebuah perusahaan. Ketika perusahaan tersebut membuka lowongan pekerjaan, salah seorang kandidat yang memiliki kenalan di tim internal perusahaan tersebut seolah dengan serta-merta mendapatkan tiket emas untuk diterima bekerja di perusahaan tersebut.
”Selama proses seleksi, saya mendapat cerita bahwa banyak kandidat yang melamar dan tetap mengikuti prosesnya. Akan tetapi, proses tersebut hanya formalitas. Sudah ada keputusan orang-orang tersebut pasti diterima karena punya kenalan orang dalam,” ungkap Alda, Kamis (6/6/2024).
Selama proses seleksi, para pelamar semestinya mengikuti prosedur formal. Namun, bagi pelamar yang memiliki kenalan, tahapan ini hanya formalitas belaka.
”Orang ini hanya melakukan seleksi wawancara user tanpa melewati wawancara HR yang seharusnya tahapan itu ada. Pada akhirnya orang ini, yang mempunyai koneksi dengan karyawan di dalam, berhasil diterima tanpa melalui proses seleksi yang sebenarnya,” lanjutnya.
Hal tersebut jelas sangat merugikan bagi sekelompok orang yang telah berjuang untuk mendapatkan pekerjaan tanpa menggunakan koneksi atau ordal. Alda menggambarkan situasi di mana posisi dalam perusahaan diisi bukan berdasarkan kompetensi atau kinerja, melainkan semata-mata karena hubungan personal.
”Ini jelas merugikan kandidat layak yang seharusnya bisa mendapat kesempatan. Namun, karena kandidat lain enggak punya ordal, jadinya ke-skip (terlewat), deh,” ucap perempuan lulusan ekonomi pembangunan tersebut.
Begitu signifikannya peran ordal di dunia kerja. Selain membantu seseorang masuk ke perusahaan, ordal bahkan dapat mendukung peluang dan perkembangan karier seseorang. Hal ini, menurut dia, bukan hal yang baik karena sering kali justru merusak tatanan yang ada.
Merusak moral dan menurunkan produktivitas
Alda menuturkan, ketergantungan perusahaan pada koneksi ordal bisa merusak moral dan menurunkan produktivitas. ”Lingkungan kerja terlihat tidak adil, apalagi jika koneksi tersebut tidak hanya sebatas pada proses rekrutmen, tetapi juga digunakan untuk jenjang karier ke depannya,” ujarnya.
Annisa Nurhamidah (20), mahasiswi semester VI, juga mengakui bahwa fenomena ordal sudah seperti budaya di Indonesia. Ia bercerita bahwa ordal tidak hanya terjadi di dunia kerja, tetapi juga di institusi pendidikan.
”Enggak sedikit gue temuin orang yang bisa lolos karena orang dalam, kayak masuk universitas karena saudaranya dekan, jadi karyawan karena orang-orang ngelihat siapa yang bawa,” katanya pada Jumat (7/6/2024).
Karena gue putus asa, sedangkan DL (”deadline”) udah sebentar lagi, jadi gue memanfaatkan ordal juga, akhirnya lolos, gue keterima di salah satu instansi pemerintah.
Annisa pernah memanfaatkan ordal ketika ia putus asa mencari tempat praktik kerja lapangan (PKL) saat masih duduk di bangku SMK. ”Ketika gue PKL di SMK, itu ke sana kemari gue daftar enggak ada yang terima," kenangnya.
Annisa kemudian diterima oleh suatu perusahaan, namun tiba-tiba dibatalkan karena sudah ada yang menggantikan. Setelah ditelusuri, orang yang menggantikannya tersebut ternyata masih berkerabat dengan seseorang di dalam perusahaan.
Karena tekanan dan tuntutan yang semakin tinggi untuk mendapatkan perusahaan tempat PKL, ia pun mengandalkan ordal. ”Karena gue putus asa, sedangkan DL (deadline) udah dekat, jadi gue memanfaatkan ordal juga. Akhirnya lolos, gue keterima di salah satu instantsi pemerintah,” ujarnya.
Menanggapi banyaknya fenomena ordal saat mencari pekerjaan, Alda berpendapat, sebenarnya tidak semua orang membutuhkan ordal untuk mendapatkan pekerjaan. ”Butuh enggak butuh, sih,” katanya sambil terkekeh.
Meskipun kekuatan ordal nyata adanya, tetapi jika seseorang memiliki keahlian yang baik, serta mampu menunjukkan keahlian tersebut, itu sudah cukup. ”Walaupun kekuatan ordal benar adanya, tapi menurut gue, kalau lu keren, skill lu oke, terus lu juga bisa menunjukkan kebisaan lu apa aja, itu udah cukup, kok,” tambahnya.
Baca juga: Lapangan Kerja Menyempit, Gen Z Makin Terimpit?
Tak selalu buruk
Bagi Siti Aminah (24), keberadaan orang dalam tak selamanya buruk. Menurut dia, ada beberapa pemberi kerja yang lebih memercayai rekomendasi pihak internal ketika ingin merekrut pekerja baru.
”Karena beberapa perusahaan juga menerapkan rekrutment rekomendasi di mana pemberi kerja memercayai relasi pekerjanya karena kinerja pekerjanya baik,” ujar perempuan yang akrab disapa Ina ini melalui platform pesan singkat pada Kamis (6/6/2024).
Hal ini, lanjut Ina, berguna agar perusahaan mendapat pekerja baru dengan kualitas serupa pemberi rekomendasi. Selain itu, perusahaan tak perlu repot memeriksa latar belakang pelamar.
”Tentunya juga akan mempersingkat proses rekrutmen dan memperoleh kandidat yang layak dan potensial dengan trusted, (tepercaya)” tambahnya.
Namun, Ina tak menampik adanya potensi buruk normalisasi jalur orang dalam seperti pada keterangan Alda. ”Apabila konteksnya ’orang dalam negatif’, maka itu menjadi masalah karena tentunya merugikan banyak pihak serta dapat berpengaruh pada keberlanjutan dan merusak sistem yang ada,” katanya.
Karena itu, Alda menekankan pentingnya promosi atau pengangkatan karyawan berdasarkan kinerja dan kompetensi, bukan koneksi. Ia juga berharap ke depan perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa menerapkan proses seleksi yang lebih adil dan transparan.
”Diharapkan perusahaan-perusahaan menerapkan proses seleksi yang nyata dan info loker (lowongan kerja) disebarluaskan melalui platform-platform loker. Kan, udah banyak ya, jangan lingkup internal aja,” ujarnya.
Kamu, setuju yang mana?
Baca juga: Kompetisi Pencari Kerja di Ibu Kota Bakal Sengit Lagi
Catatan: Artikel ini merupakan hasil kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas, Daffa Almaas Pramesthy dari Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Rilanda Virasma Meiprita dari Sastra Indonesia Universitas Diponegoro.