Dua Bayi di Depok Diperjualbelikan Sindikat Lintas Provinsi, Martabat Manusia Direndahkan
Praktik jual beli bayi marak. Keterbatasan ekonomi dan kurangnya pemahaman orangtua terkait adopsi jadi pemicu.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik jual beli bayi lintas provinsi yang terungkap di Depok, Jawa Barat, menandakan masih banyak orangtua yang menganggap anak sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Padahal, praktik ini merendahkan harkat dan martabat manusia. Warga rentan pun berisiko menjadi korban.
Sebelumnya, Polres Depok mengungkap praktik jual beli bayi dengan mengiklankannya di media sosial. Orangtua bayi berada di wilayah Banten dan Jakarta, sementara orang yang akan membeli bayi berada di Bali. Praktik ini dilakukan oleh sindikat yang sudah terorganisasi. Dari pengungkapan kasus ini, delapan orang ditetapkan sebagai tersangka. Dua bayi menjadi korban.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, Selasa (3/9/2024), mengatakan, praktik jual beli bayi di Depok bukanlah yang pertama kali terjadi. Dari hasil catatan KPAI, kasus jual beli bayi dengan beragam modus sudah pernah terkuak.
Salah satu kasus yang menyedot perhatian publik adalah praktik jual beli bayi di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jabar, September 2022. Suhendra yang berjuluk ayah sejuta anak ini menjual bayi seharga Rp 15 juta kepada warga yang mengadopsi. ”Bahkan, KPAI mencatat, bayi yang dijual bisa mencapai 30 orang,” kata Ai.
Kasus jual beli bayi di Depok juga tidak kalah memprihatinkan karena dilakukan oleh sindikat lintas provinsi, sebab ibu bayi berasal dari Bekasi (Jabar) dan Banten, sedangkan calon orangtua angkat berada di Bali. Bayi rencananya dijual seharga Rp 45 juta.
Baca juga: Perdagangan Bayi Berkedok Adopsi Melibatkan Dokter dan Bidan
Masyarakat rentan
Kedua kasus yang terpaut dua tahun ini memiliki kesamaan karena menyasar kelompok masyarakat rentan, yakni mereka yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan tidak mengharapkan kehadiran bayi.
Selain itu, adopsi dilakukan secara ilegal. Situasi ini dikhawatirkan akan membahayakan bayi karena bukan tidak mungkin di masa yang akan datang bayi tersebut menjadi korban eksploitasi.
Kedua praktik ini, ucap Ai, menunjukkan masih adanya cara pandang orangtua yang menganggap anak sebagai komoditas demi meraup keuntungan. Di samping itu, ada orangtua yang menganggap bahwa orangtua angkat yang mengadopsi anak mereka merupakan orang baik dan memiliki kemampuan untuk menghidupi anaknya. Cara pandang ini seharusnya dihilangkan karena praktik ini sudah merendahkan harkat dan martabat bayi yang juga seorang manusia.
Dari kejadian ini, Ai memandang perlu untuk memberikan pengertian kepada semua pihak, terutama orangtua, bahwa anak adalah manusia yang memiliki hak hidup dan hak untuk tidak dieksploitasi secara serampangan. Apalagi untuk meraup keuntungan.
”Edukasi hingga penegakan hukum harus diberikan agar kejadian seperti ini tidak terulang,” katanya.
Oleh karena itu, Ai berharap agar polisi menangani kasus jual beli bayi ini dengan serius. ”Polda Metro Jaya dan Polda Bali perlu berkoordinasi lebih lanjut untuk menuntaskan kasus ini,” katanya.
Dia pun menduga ada peran tenaga kesehatan untuk memuluskan kejahatan ini. ”Mereka yang seharusnya mengedukasi masyarakat justru menjadi orang yang terlibat dalam kasus adopsi ilegal ini,” ujar Ai.
Investigasi harian Kompas pernah mengungkap bidan dan dokter terlibat dalam perdagangan bayi berkedok adopsi. Mereka menjadi bagian jejaring sindikat penjual bayi. Bidan membujuk ibu yang melahirkan anaknya di luar nikah, sedangkan dokter melegalisasi dokumen hingga mencarikan orangtua asuh melalui jalur tidak resmi.
Biaya pembelian bayi baru lahir mencapai Rp 30 juta. Uang itu dipakai untuk mengganti biaya persalinan dan pengurusan surat keterangan kelahiran. Keterlibatan tenaga kesehatan setidaknya terdapat di Jawa Timur, Banten, dan Jakarta.
Delapan tersangka
Kepala Kepolisian Resor Depok Komisaris Besar Arya Perdana menuturkan, pengungkapan kasus ini bermula pada Jumat (26/7/2024) Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Depok mendapatkan informasi bahwa terdapat tempat penampungan sementara bayi yang akan dijual di Jalan Haji Suaib RT 006 RW 002 Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Depok.
Baca juga: Anak-anak Perempuan Dijual dan Dilacurkan
Dari kasus ini, polisi menangkap delapan tersangka, yakni Rida Soniawati (24), Absa Nabilla Aulia Putri (22), Dayanti Apriani (26), Muhammad Diksi Hendika (32), Suryaningsih (24), Dahlia (23), Rudy Kelana Syah (30), dan I Made Aryadana (41).
Kedelapan tersangka merupakan orangtua dari kedua bayi yang akan dijual, termasuk mereka yang mencari ibu hamil, serta satu tersangka lainnya adalah orang yang menerima bayi di Bali.
Ada dua bayi yang akan dijual, yakni satu bayi berjenis kelamin perempuan, anak dari pasangan Suryaningsih dan Rudy Kelana Syah, serta bayi laki-laki, anak dari pasangan Dayanti Apriyani dan Muhammad Diksi Hendika. Kedua bayi masing-masing akan dijual dengan harga Rp 45 juta. Adapun orangtua hanya memperoleh uang Rp 10 juta-Rp 15 juta.
Arya mengungkapkan, sindikat penjualan bayi ini cukup terorganisasi. Bahkan, salah satu tersangka sampai nekat mengiklankan melalui media sosial Facebook guna mendapatkan ibu atau perempuan yang ingin menjual bayinya. Selama beroperasi, mereka sudah menjual lima bayi.
Aktor di balik praktik ini adalah I Made Aryadana yang memerintahkan Absa untuk mencari wanita hamil yang akan menjual anaknya.
Selanjutnya, Absa mengunggah iklan untuk mencari ibu hamil melalui Facebook. Setelah iklan itu dipasang, Absa bertemu dengan Dayanti yang ketika itu sedang hamil. Mereka bersepakat untuk memperjualbelikan bayi yang akan dilahirkan itu.
Dayanti memutuskan untuk menjual bayinya karena merupakan hasil hubungan gelap bersama pacarnya, Muhammad Diksi Hendika. Absa bersedia menanggung segala biaya persalinan. Namun, bayinya akan langsung diserahkan untuk dikirim ke Bali via mobil travel.
Salah satu tersangka sampai nekat mengiklankan melalui media sosial Facebook guna mendapatkan ibu atau perempuan yang ingin menjual bayinya. Selama beroperasi, mereka sudah menjual lima bayi.
Pada Kamis (25/7/2024) sekitar pukul 00.33 WIB, Dayanti melahirkan seorang anak laki-laki di sebuah klinik bidan di Cibeber, Cilegon, Banten. Setelah persalinan, Absa menyerahkan uang Rp 15 juta kepada Dayanti sebagai uang persalinan. Lalu, Absa membawa bayi yang baru dilahirkan itu ke rumahnya di Jalan Haji Suaib, RT 002 RW 006, Kelurahan Krukut, Limo, Depok.
Dalam kasus lainnya, Absa menyuruh tersangka lain, Rida Soniawati, beserta suaminya untuk menjemput bayi perempuan yang dilahirkan oleh Suryaningsih di sebuah klinik yang berada di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Suryaningsih menjual bayinya karena sang suami, Rudy Kelana Syah, tidak ingin mengurus bayi tersebut. Kemudian Absa mengirim uang sebesar Rp 14 juta kepada Rida untuk diserahkan kepada Suryaningsih sebagai biaya persalinan.
Lalu Rida membawa bayi perempuan itu ke rumah Absa. Pada Kamis (25/7/2024) sekitar pukul 21.00 WIB, para pelaku membawa kedua bayi tersebut dengan menggunakan mobil travel sewaan yang telah dipesan oleh I Made Aryadana.
Atas perbuatannya, kedelapan tersangka dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau Pasal 83 UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Kedelapan tersangka terancam penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp 600 juta.
Ketua Dewan Pengurus Bidang Sosialisasi dan Edukasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Lia Latifah berpendapat, kasus jual beli bayi sudah tidak lagi tabu. ”Banyak orangtua yang menjual bayinya secara terbuka di media sosial,” katanya.
Bahkan, sepanjang 2024, Komnas PA sudah mendampingi delapan kasus jual beli anak di wilayah Jakarta dan Bekasi. Anak tersebut dijual kepada orangtua angkat yang tinggal di Banten, Jakarta, dan Lampung.
Alasannya, mereka tidak mampu membiayai kebutuhan anak. Selain itu, biasanya kelahiran anak tidak diinginkan karena merupakan hasil hubungan gelap atau prostitusi.
Biasanya, praktik ini dilakukan oleh pasangan muda yang belum memiliki pemikiran yang dewasa. ”Praktik ini kerap dilakukan oleh pasangan muda di bawah 30 tahun,” katanya.
Sebenarnya adopsi merupakan praktik yang bisa dilakukan, tetapi harus melalui jalur hukum yang benar. Tujuannya agar hak anak untuk mengetahui asal-usul keluarganya terpenuhi. Sebaliknya, dengan cara adopsi yang legal, latar belakang keluarga angkat pun bisa digali dan diawasi. ”Jangan sampai anak menjadi korban eksploitasi di kemudian hari,” ucapnya.
Lia pun berharap pihak yang terlibat dalam praktik jual beli bayi ini dijerat dengan hukuman berat agar bisa memberikan efek jera.