Masuk dalam Tindak Pidana Pemilu, Polda Metro Jaya Hentikan Penyelidikan tentang Pencatutan KTP
Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus pencatutan KTP. Alasannya, masuk dalam pelanggaran pemilu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus pencatutan nomor induk kependudukan yang dipakai untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Dharma Porengkun dan Kun dalam Pilkada Jakarta. Alasannya, pelanggaran yang dilaporkan itu termasuk dalam tindak pidana pemilu yang penanganannya harus melalui Badan Pengawas Pemilu terlebih dahulu sebelum diteruskan ke pihak kepolisian.
Pada Jumat (16/8/2024), warga Jakarta bernama Samson melaporkan dugaan pencatutan nomor induk kependudukan (NIK) miliknya dalam Pilkada Jakarta. Padahal, dia tidak pernah mengenal atau memberikan dukungan pada pasangan tersebut.
Karena itu, Samson mengajukan laporan karena pasangan ini dianggap telah melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Namun, penyelidikan terhadap laporan tersebut dihentikan karena dianggap masuk dalam tindak pidana pemilu.
Fakta yang lebih dominan mengabsorbsi ketentuan pidana yang lain.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, Senin (19/8/2024), menjelaskan, setelah mempelajari dan menganalisis materi laporan yang diberikan, jajarannya segera mengadakan gelar perkara. Dari hasil gelar perkara, forum bersepakat untuk menghentikan penyelidikan atas penanganan perkara pencatutan NIK tersebut.
Menurut Ade, satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan pelanggaran pemilihan adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun Polri adalah lembaga yang menerima penerusan laporan dari Bawaslu.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 134 UU Pemilu tertulis bahwa Bawaslu, Bawaslu provinsi, Panwas kabupaten/kota, Panwas kecamatan, PPL, dan pengawas TPS menerima laporan pelanggaran pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.
Sebab, mengacu pada Pasal 185A UU RI No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, penerapan penegakan tindak pidana pemilu berlaku asas hukum lex consumen derogat legi consumte. Artinya, perbuatan yang memenuhi unsur delik dan di dalamnya terdapat pada beberapa ketentuan hukum pidana khusus, maka yang digunakan adalah hukum pidana yang khusus.
”Fakta yang lebih dominan mengabsorbsi ketentuan pidana yang lain,” katanya. Dalam hal ini tindak pidana pemilu mengabsorbsi aduan terkait pelanggaran pada perlindungan data pribadi.
Laporan tindak pidana dalam pemilu baru bisa diteruskan kepada Polri paling lama 1 x 24 jam sejak diputuskan oleh Bawaslu provinsi, Panwas kabupaten/kota, dan/atau Panwas kecamatan.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta berjanji mengawal seluruh tahapan Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2024. Jika ada yang tidak beres atau menyimpang, seperti dugaan pencatutan identitas kependudukan, bakal diusut secara tuntas.
Dugaan pencatutan identitas kependudukan oleh pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dari jalur perseorangan, yaitu Dharma Pongrekun-Kun Wardana, menjadi bola panas. Warga Jakarta ramai-ramai memprotes hal tersebut hingga meragukan tahapan Pilkada Jakarta 2024.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo menyebutkan, Bawaslu sedang menyelidiki dugaan pencatutan identitas kependudukan yang berpolemik sejak pekan lalu. Bawaslu juga berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu sebagai pusat aktivitas penegakan hukum pidana pemilihan.
”Tim kami terus bekerja dan mengumpulkan data, fakta, serta analisis hukum. Jika ada yang tidak beres atau menyimpang, kami pastikan usut tuntas dan menegakkan hukum, termasuk kepada kandidat dan penyelenggara pemilu,” ucap Benny, Senin (19/8/2024) sore.
Bawaslu DKI Jakarta terus mendorong warga melaporkan dugaan pencatutan identitas kependudukan tersebut. Sampai Senin sore, sudah masuk lima laporan resmi dan 280 aduan melalui hotline posko aduan.
Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menekankan, Bawaslu DKI Jakarta harus segera memeriksa potensi adanya dugaan pelanggaran. Sebab, banyak warga yang telah menjadi korban.
”Hal utama yang mesti diperiksa adalah kecukupan jumlah pendukungnya setelah memeriksa orang-orang yang mengaku dicatut karena pasti akan berkurang,” kata Fadli.
Fadli menegaskan, jika Bawaslu DKI tidak segera memeriksa, pendaftaran Dharma-Kun nantinya bisa disebut cacat prosedural dan esensi untuk mengikuti kontestasi pilkada serentak 2024.