Bawaslu Terima Laporan Pencatutan KTP, Warga Butuh Calon Alternatif
Bawaslu DKI Jakarta menerima lima laporan resmi dan ratusan aduan pencatutan KTP. Warga butuh calon gubernur alternatif.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu DKI Jakarta telah menerima lima laporan resmi terkait dugaan pencatutan identitas kependudukan secara sepihak untuk mendukung Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang maju lewat jalur perseorangan dalam Pemilihan Gubernur Jakarta 2024. Pada saat yang sama sudah tercatat 224 aduan melalui hotline ke posko aduan.
Bawaslu DKI Jakarta membuka posko aduan sejak Jumat (16/8/2024). Hal ini menyusul keluhan banyak warga tentang pencatutan identitas kependudukannya secara sepihak untuk mendukung psangan Dharma-Kun setelah keduanya dinyatakan memenuhi syarat sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur jalur perseorangan pada pilgub.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Laporan resmi sampai pagi ini sudah ada lima (laporan). Kami terus mengajak warga Jakarta untuk berani melapor,” kata Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo, Senin (19/8/2024).
Selain laporan resmi, aduan masuk melalui hotline yang sampai Minggu (18/8/2024) malam sudah mencapai 224 pengaduan. Aduan yang masuk ini masih terus bertambah.
Benny belum menjelaskan lebih lanjut perihal lima laporan resmi tersebut. Begitu juga soal bagaimana proses penelusuran oleh Bawaslu DKI Jakarta, yakni apakah mengecek ke lokasi asal laporan, meminta keterangan tim sukses Dharma-Kun, atau meminta keterangan KPU DKI Jakarta.
”Nanti diinformasikan lagi perkembangannya,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Sabtu (17/8/2024), Bawaslu DKI Jakarta meminta warga segera melaporkan dugaan pencatutan identitas kependudukannya. Dengan demikian, Bawaslu dapat menelusuri dugaan pelanggaran, seperti tindak pidana pemilihan, pelanggaran administrasi pemilihan, dan pelanggaran peraturan hukum pidana umum atau pidana khusus.
”Jika ditemukan pelanggaran, pasti ditindak tegas sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.
Calon alternatif
Aspirasi warga Jakarta dinilai dikesampingkan oleh partai politik dalam menentukan calon pemimpinnya lima tahun ke depan. Sampai detik ini, pasangan Ridwan Kamil-Suswono dianggap menjadi kandidat paling kuat karena sokongan partai politik di Koalisi Indonesia Maju.
Koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Bahkan, partai lain di luar koalisi ini, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dikabarkan juga mendukung Ridwan-Suswono.
Dari situasi itu, peluang hadirnya nama lain, seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menipis. Warga Jakarta mau tidak mau atau suka tidak suka harus memilih Ridwan-Suswono, Dharma-Kun, atau golongan putih (golput) karena tidak mencoblos.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menuturkan, proses demokrasi tidak berjalan. Partai politik menunjukkan kekuasan mutlak dalam menentukan kepala daerah, dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
”Padahal, publik ingin sosok (atau) tokoh yang kompetitif demi masa depan Jakarta. Kepala daerah yang tidak hanya melobi hubungan Istana (Presiden RI) dan Balai Kota (Pemprov DKI Jakarta), tetapi juga wilayah tetangga, (yakni wilayah) Bodetabekjur,” tuturnya, Senin siang.
Menurut Trubus, alangkah baik jika ada sampai tiga pasangan yang berkontestasi dalam Pilgub Jakarta. Selain Ridwan-Suswono dan Dharma-Kun, selama ini publik menyuarakan dukungan kepada Anies dan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang memiliki pengalaman sebagai mantan gubernur.
”Ridwan Kamil hebat, tetapi di Jawa Barat. Belum tentu paham wilayah Jabodetabekjur. Kalau Dharma, kan, tidak banyak diketahui sepak terjangnya. Artinya apa, publik seperti dibuat tidak punya pilihan,” ujarnya.
Trubus menyarankan warga atau koalisi masyarakat sipil untuk membuat petisi. Isinya mendesak partai politik untuk menjalankan demokrasi. Paling tidak menghadirkan sosok alternatif sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.