Anak Terpapar Judi ”Online” Naik Signifikan Tujuh Tahun Terakhir
PPATK mencatat, sepanjang tahun 2024, jumlah anak yang terlibat judi ”online” mencapai 197.540 anak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam tujuh tahun terakhir, jumlah anak yang terpapar judi daring atau judi online terus meningkat. Aktivitas ini dikhawatirkan memicu anak terjerumus pada tindak pidana lain, seperti penipuan, atau menjadi korban prostitusi daring. Mitigasi dinilai perlu untuk mencegah anak menjadi korbannya.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, seusai menandatangani nota kesepahaman dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang kolaborasi antarlembaga tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan anak, Jumat (26/7/2024), mengatakan, dalam kurun tujuh tahun, yakni selama 2017-2023, aktivitas judi daring meningkat signifikan, yakni naik hingga 300 persen.
Pandemi Covid-19 membuat aktivitas masyarakat dengan perangkat gawai meningkat. Setali tiga uang, anak yang terpapar judi daring meningkat karena anak-anak umumnya belajar di rumah saat pandemi. Menurut dia, fenomena itu perlu segera ditindaklanjuti. Sebab, jika tidak diantisipasi, situasi itu dikhawatirkan berpengaruh pada masa depan bangsa.
PPATK mencatat, sepanjang tahun 2024, jumlah anak yang terlibat judi daring mencapai 197.540 anak dengan jumlah transaksi mencapai Rp 293,4 miliar. Adapun jumlah transaksinya mencapai 2,2 juta transaksi.
Jika dirinci, kata Ivan, anak yang paling banyak bertransaksi judi daring berada di rentang usia 17-19 tahun, yakni dengan jumlah pemain mencapai 191.380 anak dengan nominal transaksi mencapai Rp 282 miliar dan total frekuensi transaksi sebanyak 2,1 juta kali. Hal ini cukup ironis karena generasi inilah yang sedang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia.
Adapun anak berusia 11 tahun sampai 16 tahun yang terpapar judi daring mencapai 4.514 anak dengan nominal transaksi mencapai Rp 7,9 miliar dan jumlah transaksi sekitar 45.000 kali.
Sementara anak berusia di bawah 11 tahun yang bertransaksi judi online mencapai 1.160 anak dengan nominal transaksi mencapai Rp 3 miliar dan jumlah frekuensi transaksi mencapai 22.000 kali.
Jika dikulik dari aspek kewilayahan, daerah dengan jumlah pemain judi daring anak terbanyak ada di wilayah Jawa Barat, yang mencapai 41.000 anak dengan transaksi sekitar Rp 49,8 miliar dan jumlah transaksi sampai 459.000 kali.
Adapun Wilayah Administrasi Jakarta Barat menjadi kota dengan pemain judi daring anak terbanyak, yakni 4.300 anak terpapar dengan transaksi mencapai Rp 9 miliar dan 68.000 transaksi. Sementara kecamatan dengan jumlah anak paling banyak terpapar judi daring di Indonesia ada di Cengkareng, yakni dengan 1.000 anak dan jumlah transaksi mencapai 14.000 kali.
Sementara untuk anak yang paling banyak mengalokasikan deposit judi daring ada di Karawaci, Tangerang, dengan nilai deposit mencapai Rp 5 miliar dan jumlah transaksi 7.000 kali. Transaksi judi daring yang melibatkan anak ini dikhawatirkan menjerumuskan anak pada tindak pidana lain. Sebab, berdasarkan hasil penelusuran PPATK, komposisi pengeluaran yang digelontorkan untuk judi daring kian besar.
Pada 2017, pemain judi daring hanya mengeluarkan dana sekitar 10 persen dari pendapatannya. Namun, pada tahun 2023, uang yang dikeluarkan mencapai 80 persen dari total pendapatannya.
”Jika pendapatan seseorang mencapai Rp 100.000 per bulan, 80 persen di antaranya dikeluarkan untuk judi online. Hanya 20 persen yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lain,” katanya.
Situasi ini akan memicu orang, termasuk anak, terjerumus pada tindak pidana lain, seperti pada pinjaman daring, penipuan, atau bahkan menjual diri. Oleh karena itu, dari data ini, Ivan berharap dapat ditindaklanjuti oleh lembaga atau instansi lain untuk meindungi, menindak, sekaligus mengawasi agar anak tidak lagi jadi korban judi daring.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah berharap informasi dari PPATK ini dapat segera ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan terkait. Dia mengakui saat ini pengungkapan kasus pencucian uang yang melibatkan anak, termasuk judi online, terkendala alat atau perangkat yang mampu melacak dan menangkap aktivitas judi daring atau prostitusi sampai pada tingkat hulu.
Padahal, alat tersebut sangat dibutuhkan untuk mencari alat bukti guna menjerat pelaku atau bandar judi daring. ”Harapannya, ini bisa memberikan efek jera,” katanya.
Di sisi lain, literasi digital perlu diperkuat, terutama kepada orangtua dan keluarga yang menjadi benteng terkuat untuk melindungi anak dari paparan judi daring atau prostitusi daring. Selain itu, ia meminta kepada Kepala Polri untuk menambah jumlah polisi siber di setiap daerah untuk menangani kasus pencucian uang atau tindak kejahatan daring yang melibatkan anak.
”Dari 38 provinsi di Indonesia, hanya ada 10 daerah yang memiliki polisi siber. Tentu perangkat ini perlu ditambah agar kasus eksploitasi anak dapat diselesaikan dengan cepat,” kata Ai.