Kemiskinan Picu Seorang Ibu Cabuli Anak Kandung
R (22) terpaksa merekam video asusila bersama anak kandungnya, MR (4), di Tangsel karena terdesak kebutuhan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Terdesak masalah ekonomi, R (22), seorang ibu asal Tangerang Selatan, merekam adegan asusila bersama anak kandungnya, MR (4). Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, R juga bisa ditempatkan sebagai korban sehingga peluang untuk restorative justice masih terbuka.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hendri Umar, Rabu (5/6/2024), mengatakan, kasus pelecehan seksual itu terungkap saat tim Subdirektorat Tindak Pidana Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menemukan dua video asusila yang melibatkan anak di bawah umur di media sosial.
Dari pengungkapan kasus itu, polisi menetapkan R sebagai tersangka. Ia terbukti telah mentransmisikan video asusila berkonten pornografi dan pelecehan seksual kepada anak kandungnya, MR.
Pelaku ditangkap saat menuju Polres Tangerang Selatan. Saat tahu dirinya sedang diburu, R berpindah tempat dari rumah kontrakannya ke rumah ibunya. Lalu, ia memutuskan untuk menyerahkan diri ke Polres Tangerang Selatan. ”R pun kami tangkap ketika sedang dalam perjalanan menuju ke Polres Tangerang Selatan,” ungkap Hendri.
Hasil pemeriksaan menunjukkan R membuat video asusila itu bersama anaknya, MR, sebanyak dua kali. Kedua video itu dibuat pada 30 Juli 2023 sekitar pukul 18.25 WIB. Video pertama berdurasi 4 menit 20 detik. Adapun video kedua berdurasi 7 menit 10 detik. Setelah video itu rampung, R segera mengirimkannya ke Icha Shakila (IS) melalui Facebook Messenger.
”Video itu dibuat atas permintaan pemilik akun Facebook IS dengan iming-iming uang sebesar Rp 15 juta. (R) tertarik karena sedang membutuhkan uang maka mengikuti perintah IS. Video itu dikirim melalui Facebook Messenger,” kata Hendri.
Baca juga: Waspada pada Jerat Prostitusi Anak
Awalnya, R mengajak suaminya untuk melakukan adegan asusila itu. Namun, sang suami menolak. Akhirnya, R pun memaksa anak kandungnya, MR, untuk menjadi lawan main dari pembuatan dua video asusila dengan total durasi 12 menit. ”R pun segera mengirim video itu kepada akun Icha. Namun, hingga kini, uang yang dijanjikan itu tak kunjung diterima,” papar Hendri.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, R sangat membutuhkan uang itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Praktis, ia dan anaknya hanya mengandalkan pendapatan suaminya, IM, yang bekerja sebagai seorang pengamen. Bahkan, saat ini ketiganya tinggal di sebuah rumah kontrakan berukuran 3 meter x 3 meter. ”Tentu rumah tersebut bukan tempat yang laik untuk ditinggali oleh keluarga kecil ini,” kata Hendri.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi menambahkan, sebenarnya tawaran untuk membuat video asusila itu sempat ditolak oleh R. Namun, ia tidak bisa mengelak lantaran Icha mengancam akan menyebarkan foto setengah badan tanpa busana yang dikirimkan R sebelumnya. Dengan foto itu, Icha dengan leluasa mengancam R walau sebenarnya keduanya tidak pernah bertemu secara langsung. Hubungan mereka hanya sebatas pertemanan di Facebook.
”Jadi, belum pernah ada kontak langsung sebelumnya antara pemilik akun IS dan terduga pelaku. (Komunikasi) baru broadcast message itu. Pesan dikirim (pertama) oleh IS,” ujar Hendri.
Hingga kini, polisi masih memburu pemilik akun Icha yang menyebarkan video tersebut. Dari hasil penelusuran diketahui akun Icha sudah tidak aktif tak lama setelah menyebarkan video asusila pada Juli 2023. Selain itu, jajaran Polda Metro Jaya juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menghapus video yang telanjur beredar di media sosial.
Baca juga: Prostitusi Anak di Balik Kamar-kamar Indekos
Hendri melanjutkan, untuk menyelidiki kasus ini, tim psikologi Polda Metro Jaya juga bekerja sama dengan sejumlah pihak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan UPT Perlindungan Perempuan Anak Jakarta. Kerja sama itu untuk memastikan perlindungan kepada korban. Ibu korban pun tak luput dalam pendampingan.
Meski R sudah ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti mentransmisikan video asusila dan pelecehan seksual kepada anak kandungnya, tim penyidik masih mendalami terkait R juga diduga sebagai korban. Upaya restorative justice pun akan dipertimbangkan demi perkembangan anak. Tim penyidik, kata Hendri, melakukan pemeriksaan laboratorium forensik terhadap barang bukti telepon seluler milik R untuk mengetahui apakah R mendapatkan paksaan.
”Saat ini status R tersangka walaupun ada kemungkinan (R) adalah korban. Kami masih mendalami kasus ini. Kemungkinan restorative justice kami dalami,” ujar Hendri.
Atas perbuatannya itu, R dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar. R juga dijerat Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara dan maksimal denda Rp 6 miliar.
R juga diduga telah melanggar Pasal 88 juncto 76 I UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Selain menjalani proses hukum, R juga menjalani pemeriksaan kesehatan mental yang dilakukan psikolog. ”Butuh waktu dua hari untuk memastikan kondisi mental R,” ungkap Hendri.
Adapun untuk korban anak, tambah Hendri, saat ini MR tengah menjalani rehabilitasi di rumah aman. Untuk sementara, ia dipisahkan dengan ibunya sampai kondisi jiwanya membaik.
Secara terpisah, NK (42), kakak ipar R, sangat berharap R tidak ditahan demi kebaikan anaknya, MR. Jika ditahan, MR akan kehilangan sosok orangtua. ”Walau sudah berstatus tersangka, kami minta adik ipar saya jangan ditahan karena ia masih mempunyai anak kecil,” kata NK.
Meski saat ini telah mendapatkan perlindungan dan polisi masih mendalami kasus, pihak keluarga sangat khawatir dengan masa depan MR. Jika R sampai ditahan, pihak keluarga tak bisa membayangkan nasib anaknya.
Sejak kejadian pada 2023 hingga sebelum kasus terungkap, R selalu gelisah, terutama terkait ancaman dari Icha yang dikenalnya di Facebook. Tak hanya R, anaknya juga mengalami tekanan mental. Bahkan, anak sekecil itu pernah melontarkan kalimat ingin mati. ”Ada perubahan, jarang ngomong, enggak semangat. Di awal dulu, kalau ada teman perempuan, dia selalu mengusir,” katanya.
Butuh waktu dua hari untuk memastikan kondisi mental R.
Kasus kekerasan seksual meningkat
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Subkluster Anak Korban Pornografi dan Cyber Crime, Kawiyan, mengatakan, peristiwa memilukan ini menjadi bukti bahwa orangtua pun tidak bisa sepenuhnya menjadi pelindung anaknya sendiri. Bahkan, mereka menjadi pelaku kekerasan seksual tersebut.
KPAI mencatat, pada periode 2023 ada 2.656 pengaduan terkait kekerasan pada anak dengan jumlah korban mencapai 3.658 jiwa. Dari jumlah itu, 358 kasus merupakan kejahatan seksual.
Jika dilihat dari pelakunya, sebanyak 262 orang atau 9,6 persen kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya, sedangkan 6,1 persen dilakukan oleh ibu kandungnya. ”Dari data ini dapat dikatakan bahwa orangtua pun bisa menjadi pelaku kekerasan pada anak,” ucapnya.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022, terlihat ada peningkatan laporan. Selain karena banyak warga yang secara sadar melaporkan kasus yang mereka alami, peningkatan kasus ini juga dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh media sosial.
Melihat ancaman ini, Kawiyan berkomitmen terus mengedukasi, termasuk intervensi, untuk memberikan pengetahuan kepada orangtua, keluarga, ataupun lingkungan tempat anak itu berada. Kawiyan khawatir, jika fenomena ini terus berlanjut, anak yang menjadi korban kekerasan seksual berpotensi melakukan tindakan serupa ketika mereka sudah dewasa kelak.
Baca juga: Keceriaan GH Sirna Dibungkam Predator Anak
Penjabat Sementara Ketua Komnas Perlindungan Anak Lia Latifah mengatakan, konten asusila yang menjadikan anak sebagai korban masih banyak beredar di media sosial. ”Mereka yang menikmatinya adalah para pedofil atau predator anak yang memang menikmati keberadaan foto atau video ’syur’ tersebut,” katanya.
Bahkan, pihaknya menemukan adanya grup media sosial yang mengunggah foto dan video yang menjadikan anak sebagai modelnya. Sang anak yang menjadi obyek itu biasanya tergiur dengan iming-iming uang dan juga janji manis dari sang penyebar konten.
Latifah menambahkan, apabila situasi ini dibiarkan, akan sangat membahayakan sang anak, bahkan bisa merenggut nyawa. Diawali dengan foto atau video biasanya akan berlanjut pada pertemuan untuk memadu kasih. Di sinilah terjadi relasi yang kuat antara pembuat dan penikmat konten.
Mereka yang menjadi korban, ucap Latifah, biasanya merasa tidak nyaman berada di dekat keluarganya sehingga mencari kenyamanan di luar. ”Saat mereka berada di luar inilah anak-anak dijadikan obyek dari konten asusila tersebut,” ungkap Latifah.
Dari ancaman yang ada ini, ia berharap semua pihak dapat berperan untuk sama-sama menjadi pelindung anak-anak dari ancaman para pedofil ataupun predator anak.