Polda Metro Jaya Dampingi Korban Jual Ginjal di Kamboja
Kepolisian mengecek kesehatan fisik dan psikologis korban jual ginjal ke Kamboja. Pemeriksaan kesehatan ini untuk mengetahui keluhan saksi dan korban setelah operasi ginjal.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya mendampingi beberapa korban tindak pidana perdagangan orang atau TPPO asal Indonesia yang menjual ginjal di Kamboja. Ini menjadi langkah lanjutan seusai polisi membongkar pengiriman warga Indonesia dari Kota Bekasi untuk prosedur ilegal ini ke luar negeri.
Pada Senin (24/7/2023), tiga laki-laki yang merupakan saksi sekaligus korban kasus tersebut menjalani pemeriksaan kesehatan di Pusat Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Dokkes) Polda Metro Jaya di Jakarta. Tim dokter mengecek kesehatan fisik awal pascapengambilan ginjal pada tiga orang tersebut.
Kepala Bidang Dokkes Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hery Wijatmoko menjelaskan, pemeriksaan antara lain bertujuan mengetahui keluhan para saksi setelah operasi ginjal. ”Rata-rata sudah sembuh semua, walaupun baru satu bulan, tetapi secara fisik kondisi luka pascaoperasinya cukup bagus. Nanti, kita akan tindak lanjuti dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk menentukan organ yang diambil tersebut,” tuturnya.
Hery menambahkan, mereka juga akan mendampingi secara psikologis para pasien tersebut bekerja sama dengan Polda lainnya untuk para pasien yang bertempat tinggal di luar wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Salah satu saksi dan korban yang tidak disebutkan namanya mengatakan, dirinya menjalani operasi di sebuah rumah sakit di Kamboja pada 25 Juni 2023. ”Untuk saat ini belum ada keluhan. Paling mudah lelah. Buang air kecil alhamdulillah tidak ada kendala, paling sedikit berbusa saja,” ucapnya.
Terkait kasus TPPO ini, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, Polda Metro Jaya masih intens menyelidiki kasus ini setelah menangkap 12 tersangka seusai membongkar rumah kontrakan untuk menampung calon donor di Bekasi, Jawa Barat.
Kedua belas tersangka itu, antara lain, sembilan perantara jual ginjal berinisial H (40), D (30), A (42), E (23), M (21), S (30), R (26), HS (43), G (31), dan L (23).
Lalu, anggota polisi Aipda M alias D dan serta seorang pegawai imigrasi berinisial AH alias A. Aparat negara itu ikut membantu melancarkan TPPO ini, bahkan anggota polisi yang ditindak ikut merintangi penyidikan sejak pengungkapan markas penampungan calon donor di Bekasi pada Senin (19/6/2023) dini hari.
Salah satu tersangka yang menjadi perantara, Hanim alias H (40), bahkan menjadi donor pada awalnya. Saat diwawancarai wartawan di Jakarta, Jumat (21/7/2023), ia pertama kali mendonorkan ginjalnya tahun 2018 karena faktor ekonomi keluarga.
Karena kebingungan mencari uang, ia menemukan grup donor ginjal di Facebook. Grup itu mengumumkan kebutuhan donor ginjal dengan beberapa golongan darah dan syarat-syarat tertentu. Ia yang tertarik lalu mengirim pesan ke admin grup media sosial tersebut.
”Setelah ngobrol dan setuju, saya langsung disuruh ke kontrakan brokernya di sekitar Bojonggede, Bogor. Awalnya, saya diproses di salah satu rumah sakit di Jakarta. Cuma karena butuh banyak tahapan, harus ada persetujuan dari keluarga, saya gagal donor di Indonesia karena istri saya enggak setuju,” ujarnya.
Gagal donor ginjal di Jakarta, Hanim memutuskan untuk tinggal di rumah broker selama sekitar setahun. Ia pun berbohong kepada istrinya dengan mengatakan ada pekerjaan proyek. Pada Juli 2019, ia lalu diberangkatkan ke Kamboja oleh sang broker. Biaya cek kesehatan, pembuatan paspor, dan tiket pesawat ditanggung oleh broker.
Di sana ia bertemu dengan broker lain bernama Miss Huang yang mengantarkannya ke rumah sakit. Di Kamboja ia mendapatkan pasien asal Singapura yang cocok untuk menerima ginjalnya sehingga prosedur transplantasi dilakukan. Ginjalnya saat itu dihargai Rp 120 juta. Uang itu kemudian dipakai untuk membelikan rumah bagi orangtuanya di Subang, Jawa Barat.
Sang broker ternyata memercayakan dirinya untuk menjadi koordinator calon donor Indonesia di Kamboja. Lagi-lagi, ia berbohong pada keluarganya bahwa ia mendapat pekerjaan proyek di Kamboja. Tugasnya antara lain mengatur konsumsi untuk calon donor selama ada di Kamboja. Ia dijanjikan komisi dari potongan biaya beli ginjal dari rumah sakit ke pendonor senilai Rp 15 juta.
Tugas itu berhenti karena pandemi Covid-19 pada 2020. Ia kembali menerima calon donor pada akhir 2022. Setelah kembali aktif, broker seperti Miss Huang pun semakin masif meminta donor dari Indonesia. Dari yang awalnya hanya 5-7 calon donor sekali permintaan, kemudian menjadi 10-20 donor ketika India membatasi donor keluar negaranya.
Kondisi ini justru merugikan Hanim. Pasalnya, tidak semua pasien yang diberangkatkan ke Kamboja lolos tes kesehatan. Dari total 40 calon donor yang ia dampingi di Kamboja, hanya 35 orang yang berhasil melakukan transplantasi dan mendapat bayaran dari rumah sakit.
Sementara itu, Hanim harus menanggung rugi karena ia dan broker lainnya telah membiayai lebih dulu pemberangkatan calon donor. Ia mengaku masih memiliki hutang Rp 700 juta ke rumah sakit karena calon donor yang gagal tersebut.
”Saya sebenarnya dari dulu malahan, dari 2019, itu pengin berhenti karena ngurus anak-anak (calon donor) yang segitu banyak, risikonya gede, saya hampir enggak sanggup juga. Cuma karena broker saya dan Miss Huang mengharuskan saya untuk tetap membantu dengan dalih 'kasihan anak-anak yang butuh bantuan kita, gimana kalau ibaratnya mereka enggak jadi sampai berangkat, kemudian gagal, ada yang bunuh diri atau jadi copet atau gimana?',” katanya.