Pembatasan interaksi pada anak dapat mencegah pelaku kejahatan yang menggunakan cara berteman atau ”grooming” untuk mendapatkan kepercayaan korbannya, seperti terjadi terhadap Malika.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Tahun 2022 menjadi tahun yang mengerikan bagi Komisi Nasional Perlindungan Anak. Lembaga itu menerima 21 laporan kasus penculikan anak, meningkat dari hanya 11 kasus di 2021. Mayoritas kasus dilaporkan terjadi di wilayah Jabodetabek. Dari jumlah tersebut, baru ada delapan kasus yang terungkap.
Salah satunya adalah kasus penculikan Malika Anastasya (6) di kawasan Gunung Sahari, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada awal Desember 2022. Penculik, seorang pemulung barang bekas bernama Iwan Sumarno (42), diketahui intens berinteraksi dengan keluarga Malika dua bulan sebelum kejadian. Malika akhirnya dibawa kabur oleh Iwan hingga hampir satu bulan sampai akhirnya ditemukan kembali pada Senin (2/1/2023).
”Pengungkapan motif masih dalam proses oleh tim medis dan kepolisian. Namun, sudah mulai terinformasi bahwa kasus ini bermotif eksploitasi ekonomi. Ini karena korban diminta memulung dari satu lapak ke lapak lain bersama pelaku,” kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait di Rumah Sakit Polri Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (5/1/2023).
Arist meyakini kasus penculikan lebih banyak terjadi dan tidak terlaporkan di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya menangani perkara itu, motif penculikan berkaitan dengan eksploitasi ekonomi, adopsi ilegal, kekerasan seksual, sampai pencurian organ tubuh.
Minimnya informasi kesaksian sampai kemauan melaporkan dan mengusut kasus ini menjadi tantangan dalam pengungkapannya. Masalah itu membuat penculikan anak kerap lama diusut atau bahkan gagal didalami. Seperti kasus Malika, Polres Metro Jakarta Pusat sempat kesulitan mencari pelaku dari saksi terdekat korban.
”Namun, karena kerja keras Polres Jakarta Pusat, kita minta lokalisasi penyelidikannya dari latar belakang ke lapak pelaku yang seorang pemulung. Ini berdasarkan pengalaman empirik kita, seperti pada kasus di Sukabumi, dengan pelaku berlatar belakang pemulung yang butuh lima bulan terungkap. Kita harapkan, informasi kasus seperti ini segera dilaporkan ke kepolisian,” pesannya.
Batasan pengasuhan
Sulitnya mengungkap kasus penculikan anak mengingatkan masyarakat agar lebih waspada dan serius mengupayakan perlindungan anak. Perlindungan anak sendiri berawal dari keluarga inti, khususnya orangtua.
Rini Hapsari Santosa, psikolog dewasa dari Enlightmind di Jakarta, orangtua atau pengasuh anak lainnya perlu mengajarkan batasan interaksi anak sesuai perkembangan usia. Sejak bayi, anak perlu konsisten dirawat dengan orang-orang yang mempunyai otoritas untuk mengasuh mereka.
”Pertama diciptakan konsistensi siapa yang mengasuh anak. Harus sama dari waktu ke waktu, apakah ayah, ibu, atau nenek dan kakek. Jadi, anak bisa membedakan siapa yang mengasuh dan siapa orang asing,” kata Rini melalui sambungan telepon.
Anak-anak enggak bisa kita harapkan bisa membedakan mana situasi aman atau tidak tanpa dibimbing. Jadi, orangtua harus bisa menjelaskan batasan dan konsisten dengan itu.
Kemudian, saat anak mulai bisa diajak berinteraksi atau bermain dengan orang luar, seperti tetangga atau teman sekolah, pengasuh bisa mulai memberi batasan lewat komunikasi verbal. Anak perlu diingatkan agar tidak pergi dengan orang lain atau tanpa seizin orangtua atau pengasuh lainnya.
”Anak-anak enggak bisa kita harapkan bisa membedakan mana situasi aman atau tidak tanpa dibimbing. Jadi, orangtua harus bisa menjelaskan batasan dan konsisten dengan itu,” katanya tegas.
Kebiasaan ini, menurut dia, bisa diterapkan pada anak dengan beragam karakter. Ini juga dapat mencegah pelaku kejahatan terhadap anak yang menggunakan cara berteman atau grooming untuk mendapatkan kepercayaan korbannya, seperti terjadi terhadap Malika.
Benteng sosial
Selain pengasuh, perlindungan anak juga menjadi tanggung jawab sosial masyarakat. ”Kembali ke prinsip melindungi anak, perlu orang sekampung, tidak hanya orangtua,” ungkap Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi atau biasa disapa Kak Seto.
Kesadaran masyarakat sekitar perlu dipacu dengan pemberdayaan. Ini seperti Seto, melalui lembaganya, yang menggagas pembentukan seksi perlindungan anak tingkat rukun tetangga (RT) sejak 2011. Wilayah yang sudah membentuk seksi ini antara lain Tangerang Selatan di Banten.
Selain itu, ada juga Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bengkulu, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bitung di Sulawesi Utara. Kini, ia juga sudah mengusulkan juga untuk dibentuk seksi perlindungan anak di Jakarta kepada Penjabat Gubernur Jakarta.
”Kalau perlu, jadikan Jakarta sebagai provinsi pertama di Indonesia yang memiliki seksi perlindungan anak di semua RT-nya. Jangan sampai ada pelaku penculikan anak lagi, apalagi orang dekat,” ujar Seto (Kompas.id, 4/1/2023).
Lembaga penegak hukum, seperti kepolisian di Polda Metro Jaya, juga berkomitmen terus menggalakkan upaya perlindungan anak. Hal ini salah satunya digerakkan melalui aparat Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang biasa terjun langsung di lingkungan masyarakat.
”Kita mau turun ke lingkungan RT RW, kita juga ada kegiatan Jumat Curhat di sana. Bhabinkamtibmas selalu sambangi RT RW untuk beri informasi, terutama ke ibu-ibu dan anak-anak, agar berhati-hati,” kata Direktur Pembinaan Masyarakat (Dirbinmas) Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Badya Wijaya.
Selain itu, ia mengatakan, aparat keamanan perlu memberdayakan kembali poskamling, mewajibkan tamu 24 jam untuk melapor, hingga mengintensifkan patroli kepolisian. Hadirnya 1.000 lebih Kampung Tangguh di wilayah Polda Metro Jaya menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan keamanan lingkungan.
Peran remaja melalui Karang Taruna dan perempuan melalui perkumpulan PKK juga dinilai strategis. Tidak ketinggalan, pemanfaatan teknologi, seperti kamera pemantau (CCTV), juga bisa menjadi media pengawasan anak. Infrastruktur ini terbukti mampu membantu polisi mengungkap kasus penculikan Malika dan beragam kasus kejahatan lainnya.