Motif pembunuhan bisa saja berbeda-beda, tetapi motif mutilasi cenderung seragam, yaitu berupaya menghilangkan jejak yang bisa mengarahkan polisi pada pelaku.
Oleh
STEFANUS ATO
·6 menit baca
Polisi tak ingin gegabah dalam menguak kasus mutilasi di Bekasi. Namun, kepingan kasus mutilasi yang berulang terjadi akibat cara pikir sederhana demi kepentingan sesaat. Tindakan sadis itu kerap ditempuh orang waras karena sakit hati hingga impian bergelimang harta yang membutakan nurani.
Aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya, awalnya tak menyangka, penyelidikan laporan orang hilang berinisial MEL (34), yang pergi dari rumah sejak 23 Desember 2022, berakhir dengan misteri besar sekaligus mengagetkan, yakni temuan dua boks kontainer berisi jasad manusia yang tak lagi utuh. Jasad itu ditemukan di kontrakan MEL, di Kampung Buaran, Desa Lambangsari, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, 29 Desember 2022.
Di Kampung Buaran, warga yang tinggal berdampingan dengan MEL pun tak menyangka ada jenazah manusia yang sudah tak utuh tersimpan di salah satu kamar kontrakan di desa itu. Selama berhari-hari, sebelum kasus itu dibongkar polisi, tak ada aroma busuk dari kamar yang dikontrak MEL.
"Tidak mencium bau busuk sama sekali. Saya biasanya parkir di dekat kamar, memang ada bau kimia dan bau bubuk kopi," ujar Fajar Agung (23) Senin (2/1/2023) seperti dikutip dari Kompas.com.
Bau cairan kimia bercampur aroma kopi itu kian menusuk indera penciuman saat polisi membuka pintu kontrakan MEL. Bau busuk saat itu makin terasa menyengat saat polisi kembali membuka pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi itu, dua boks kontainer berisi jasad manusia disimpan pelaku mutilasi.
"Jenazah ini diduga sudah lama ada di kos-kosan tersebut. Sampai saat ini, kami masih melakukan penyelidikan. Kami tidak boleh gegabah," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi, Sabtu (31/12/2022) di Jakarta.
Dari hasil penyelidikan awal tim kedokteran forensik, jenazah korban tak dimutilasi menggunakan parang atau golok. Hal ini terlihat dari sejumlah anggota tubuh, terutama tulang korban yang tampak bergerigi. Polisi pun menduga korban dimutilasi menggunakan gergaji listrik.
Korban mutilasi sejauh ini mengarah ke seorang perempuan berdasarkan temuan indetitas dalam kontrakan MEL. Namun, polisi masih menunggu uji asam deoksiribonukleat (DNA) untuk mendapat hasil yang sahih terkait dengan kecocokan DNA antara jasad korban mutilasi dan identitas seorang perempuan yang ditemukan di lokasi temuan jasad mutilasi.
Sakit hati
Kasus mutilasi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, juga pernah terjadi pada 27 Oktober 2021. Dua pelaku, masing-masing FR (20) dan MP (29) nekat membunuh kerabat mereka, RS (28), karena sakit hati (Kompas, 28/11/2021).
RS dibunuh dan dimutilasi oleh kedua pelaku usai diajak mengonsumsi narkoba. Jasad korban kemudian dibuang di tiga tempat berbeda, di sepanjang Jalan Raya Pantura, Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi.
Kedua pelaku saat ditangkap polisi, mengaku nekat membunuh dan memutilasi korban karena istri mereka pernah dicabuli dan diperkosa oleh korban. Mutilasi jadi pilihan paling logis bagi mereka karena dianggap mampu menghilangkan jejak kejahatan.
Namun, pilihan yang dianggap logis itu mampu dibongkar polisi. Hanya delapan jam setelah pembunuhan itu, FR (20) dan MP (29) dibekuk polisi.
Di Jakarta, dua tahun silam atau pada 12-13 September 2020, di sebuah apartemen di Pasar Baru, Jakarta Pusat, jadi ruang bisu kekejian dari perempuan berinisial LAS (27) dan lelaki DAF (27). Mereka tak hanya merampok korban bernisial RHW (33), seorang manajer sumber daya manusia dan operasional salah satu perusahaan swasta, tetapi juga membunuh korban (Kompas, 23/9/2020).
Pembunuhan yang berakhir dengan mutilasi itu bermula saat LAS menggaet RHW lewat aplikasi kencan. Mereka sejak awal memang berkenalan melalui sebuah aplikasi pencarian jodoh. LAS lantas pada 5 September mengirim pesan kepada RHW untuk bertemu dan disetujui korban.
DAF dan LAS kemudian memesan satu apartemen yang disewakan di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat, sebagai tempat jumpa LAS dan RHW pada 9 September. Namun, sebelum LAS dan RHW masuk pada malam hari, DAF masuk terlebih dulu sambil membawa batu bata dan senjata tajam. Dia lalu bersembunyi di kamar mandi.
Sesudah LAS dan RHW masuk dan berhubungan badan, DAF menyerang korban dengan batu dan senjata tajam. RHW lalu ditusuk DAF berkali-kali karena tidak mau menyebutkan nomor identifikasi personal (PIN) gawainya kepada LAS. RHW akhirnya menyerah dan menuruti permintaan DAF. Namun, saat itu kesadaran RHW perlahan menurun hingga akhirnya tewas.
Jasad RHW lalu diletakkan di kamar mandi apartemen dan didiamkan selama tiga hari. Tanggal 12-13 September, kedua pelaku kembali memutilasi korban lalu dikemas dalam kantong-kantong keresek dan disimpan pada dua tas ransel serta dua koper.
Kasus itu, dari hasil penyidikan aparat Polda Metro Jaya, berlatar belakang ekonomi. Kedua pelaku setelah tinggal berdua, kesulitan membayar uang sewa indekos dan biaya hidup sehari-hari. DAF menganggur, sedangkan LAS bekerja sebagai tenaga kursus pelajaran. LAS tergolong berpendidikan tinggi karena lulus dari jurusan geografi salah satu universitas negeri ternama. Namun, uang yang dihasilkan tetap tidak menutup kebutuhan.
Cenderung seragam
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai kasus mutilasi biasanya muncul dengan tujuan instrumental, yakni menghilangkan barang bukti kejahatan. Namun, usai memutilasi korban, pelaku kebingungan sehingga belum menemukan cara untuk segera membuang jasad korban.
"Dia alpa memikirkan misi kedua, yakni menghindari tanggung jawab hukum. Akibatnya, begitu korban tewas pelaku bingung sendiri," kata Reza.
Meski mutilasi adalah perbuatan sadis, hal yang pertama terjadi adalah pembunuhan atau penghilangan nyawa orang. Setelah itu, umumnya pelaku akan melarikan diri atau akan menghilangkan dan merusak jasad korban sehingga pelaku tidak perlu kabur.
"Apabila yang dipilih merusak jasad, dilakukan dengan cara memutilasi bagian-bagian tubuh yang terkait dengan penanda seperti wajah, tangan dan lainnya. Pelaku menghilangkan jejak yang bisa mengarah pada pelaku," ucap kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala.
Latar belakang munculnya kasus mutilasi pun biasanya dipicu hubungan personal antara pelaku dan korban. Namun, motif pembunuhan bisa saja berbeda-beda, tetapi motif mutilasi cenderung seragam, yaitu berupaya menghilangkan jejak yang bisa mengarahkan polisi pada pelaku.
Dalam buku Mutilasi di Indonesia: Modus, Tempus, Locus, Actus (2015), Inspektur Jenderal M Fadil Imran (Kepala Polda Metro Jaya) menyebut, mutilasi merupakan hasil pertimbangan sederhana dan hanya demi kepentingan sesaat, yaitu memindahkan mayat atau membuat agar mayat tidak dikenali atau diketahui orang lain. Mereka mengabaikan pertimbangan perihal risiko tertangkap atau beratnya hukuman.
Pola itu terlihat dari pengamatan Fadil terhadap lima pelaku mutilasi yang menghebohkan publik, yakni Baekuni alias Babe, Zaky Afrizal Nurfaizin, Very Idham Henyansyah atau Ryan Jombang, Muryani, dan Sri Rumiyati. Semuanya memilih jalan pemotongan tubuh korban untuk menghilangkan jejak meski ada juga yang mengaku sekaligus menumpahkan kekesalan atau emosi kepada korban.
Kasus mutilasi di Bekasi yang terjadi di akhir 2022, masih dalam proses pemeriksaan polisi. Pendekatan ilmiah atau scientific crime investigation yang dijadikan polisi sebagai landasan penyidikan, patut ditunggu untuk menguak tabir potongan jenazah dalam dua kontainer tersebut.