Kinerja Perempuan Senilai 10 Triliun Dollar AS
Peran perempuan menangani urusan domestik tak dibayar atau dibayar rendah ternyata bernilai setara triliunan dollar AS per tahun dan kunci perputaran ekonomi dunia. Keberadaan mereka, fondasi pertumbuhan kota-kota.
Tak banyak orang yang tahu bahwa perempuan yang sehari-harinya memasak, mengasuh anak, merawat orang lanjut usia, membersihkan rumah, baik untuk keluarga sendiri maupun keluarga lain, adalah penggerak ekonomi dunia. Sepanjang 2019 saja, kinerja para perempuan rumah tangga itu setara 10,9 triliun dollar Amerika Serikat atau lebih dari Rp 156.000 triliun.
Hasil analisis Oxfam yang dipublikasikan pada Januari 2020, nilai ekonomi para perempuan pekerja domestik tanpa dibayar atau dibayar amat rendah itu bahkan melebihi gabungan 50 perusahaan raksasa penguasa ekonomi dunia.
Tahun 2019, besaran kekayaan 2.153 miliarder saja melebihi harta 4,6 miliar orang atau 65 persen penduduk Bumi. Oxfam menyebut kesenjangan besar ini akibat sistem ekonomi yang cacat dan seksis. Dunia jauh lebih ramah dan menghargai segelintir orang mahakaya yang dilimpahi keringanan pajak dan kemudahan perizinan untuk berbagai lini usaha ataupun pendapatannya. Mereka yang tergolong memiliki hak istimewa itu didominasi kaum adam.
Di dunia yang sama, jutaan sampai miliaran manusia tidak dibayar dan dibayar rendah untuk pekerjaan yang memakan waktu hingga belasan jam sehari. Perempuan dan anak-anak, terutama anak perempuan, sebut Oxfam, mengisi sebagian besar kelompok pekerja minus upah layak ini.
Sama-sama terimbas pandemi Covid-19, lebih banyak perempuan yang jatuh miskin atau menjadi lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki.
Ketidaksetaraan tersebut coba dikikis di kawasan perkotaan dengan berbagai fasilitas publik jauh lebih memadai daripada di perdesaan. Kaum perempuan perkotaan pun memiliki kesempatan mengakses pendidikan, kesehatan, juga pekerjaan berupah layak dibandingkan dengan mereka yang berada di perdesaan.
Meskipun demikian, United Nation Population Fund (UNFPA) menyatakan, kemiskinan perkotaan berkembang pesat di kawasan global selatan dan di beberapa negara daripada kemiskinan perdesaan. Perempuan dan anak-anak menyumbang jumlah terbesar dalam populasi kemiskinan perkotaan.
UNFPA menambahkan, era urbanisasi kini terkonsentrasi di kawasan global selatan yang di dalamnya termasuk sebagian besar Asia dan Afrika. Indonesia berada dalam jajaran negara global selatan ini.
Kondisi di Indonesia
Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia memiliki 270,2 juta penduduk. Sebanyak 56,7 persen warga republik ini tinggal di kawasan perkotaan dan akan menjadi 66,6 persen di tahun 2035. Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 menunjukkan, terdapat 102 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2020 sebanyak 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019. Dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin perkotaan pada September 2020 naik 876.500 orang, dari 11,16 juta orang (Maret 2020) menjadi 12,04 juta orang (September 2020). Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin perdesaan naik 249.100 orang, dari 15,26 juta orang pada Maret 2020 menjadi 15,51 juta orang pada September 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, pada Maret 2020 terdapat 9,59 persen penduduk laki-laki dan 9,96 persen penduduk perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2021, sebanyak 9,92 persen penduduk laki-laki dan 10,37 persen penduduk perempuan hidup di bawah garis kemiskinan. Sama-sama terimbas pandemi Covid-19, lebih banyak perempuan yang jatuh miskin ataupun menjadi lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki.
Baca juga : Zakat untuk Perlindungan Perempuan dan Anak
Profil Perempuan Indonesia 2020 menyatakan, sama seperti gejala di seluruh dunia, Indonesia kental dengan budaya patriarki. Dalam 10 tahun terakhir, perempuan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki dalam hal ketenagakerjaan dan bidang lain.
Di perkotaan dan perdesaan, kondisi ini sama-sama terjadi. Dari setiap tiga laki-laki yang bekerja, terdapat dua perempuan bekerja. Kegiatan utama 37,04 persen perempuan usia 15 tahun ke atas di 2019 adalah mengurus rumah tangga. Ini angka yang tinggi dibandingkan dengan kegiatan sekolah dan lainnya. Pada laki-laki, hanya 3,55 persen yang mengurus rumah tangga pada periode umur sama.
Upah rata-rata bulanan perempuan juga rendah, yaitu Rp 2.451.057 dibandingkan dengan upah laki-laki Rp 3.167.092 per bulan. Dari sisi pendidikan, rata-rata perempuan baru setingkat sekolah menengah pertama, sedangkan laki-laki sudah menyelesaikan atau melampaui tingkat SMP. Sekitar 58 persen perempuan Indonesia pun menikah di usia di bawah 20 tahun.
Khusus di perkotaan, jamak terjadi para perempuan dan anak-anak miskin itu menjadi pekerja berupah murah, bahkan tidak diupah. Di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, banyak dijumpai perempuan dan anak perempuan mengurus rumah dengan anak-anak kecil serta orang lanjut usia di dalamnya. Terkadang, para perempuan ini ikut merawat keluarga orang lain, membuka warung makan kecil-kecilan, toko kelontong, atau menerima jasa cuci pakaian demi mendapat tambahan uang, bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Tidak ada jam kerja pasti bagi para pekerja perempuan dan anak tersebut. Dengan status pekerja informal, tidak ada standar upah tertentu layaknya buruh pabrik ataupun pekerja kantor yang memiliki acuan upah minimum. Padahal, pekerja formal urban mendapat pasokan pangan murah. Demikian pula perawatan rumah, pakaian, hingga anak-anak mereka berkat kehadiran kaum perempuan berupah murah tersebut.
Baca juga : Menghitung Hidup dengan Upah Minimum Rp 150.000 Per Hari
Bukanlah hiperbola jika disebutkan bahwa kesibukan metropolitan Jakarta yang memutar 70 persen keuangan nasional ini sebenarnya amat tergantung kepada kaum perempuan berupah rendah, termasuk ibu-ibu serta anak perempuan yang mengurus rumah tanpa dibayar.
Namun, peran penting itu seringkali terkaburkan karena kokohnya budaya patriarki. Budaya ini ikut memuluskan dan mempertahankan posisi laki-laki sebagai pimpinan di dunia kerja ataupun rumah tangga. Laki-laki dinilai lebih utama. Perempuan serta anak-anak kadang diperlakukan kurang manusiawi karena posisinya dinilai lebih rendah. Penggunaan kekerasan untuk menunjukkan dominasi laki-laki pun terus terjadi.
Periode Januari-Desember 2019 terdapat 8.745 kasus kekerasan yang dilaporkan terjadi pada perempuan dewasa. Sebanyak 65,26 persen dari total kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terbanyak adalah kekerasan fisik, diikuti kekerasan psikis dan verbal. Kondisi itu, menurut paparan di dalam Profil Perempuan Indonesia 2020, menjadi salah satu hambatan perempuan untuk maju.
Terobosan India
India, negara dengan kesenjangan di berbagai bidang, termasuk antara perempuan dan laki-laki, beberapa tahun terakhir berupaya mendongkrak kesetaraan jender dengan mengusung konsep kemitraan ekonomi yang setara dalam rumah tangga. Hakim-hakim di India, seperti dilaporkan BBC.com, menyatakan konsep ini mengakui ibu rumah tangga berhak atas separuh gaji suaminya.
Gerakan ini bagian dari upaya agar masyarakat dan pemerintah mengakui peran penting perempuan. Dalam kejadian seorang ibu rumah tangga berusia 33 tahun yang meninggal akibat kecelakaan di jalan, hakim India memutuskan penabrak wajib membayar kompensasi 1,7 miliar rupee atau sekitar Rp 322 miliar. Kompensasi itu berdasarkan perhitungan nilai upah korban sebagai ibu rumah tangga sebesar 5.000 rupee per bulan atau Rp 950.000 dikalikan usia produktif dan tanggung jawab dalam rumah tangga, seperti mengasuh anak dan lainnya.
Baca juga : Revolusi Toilet
Dalam kasus serupa lainnya, besaran kompensasi bisa berbeda karena perhitungan upah ibu rumah tangga dapat berubah sesuai keputusan hakim. Semakin lanjut usia korban serta tanggungan dalam keluarga, juga akan memengaruhi nilai perempuan tersebut.
Secara politis, calon pemimpin ataupun calon wakil rakyat dari sejumlah partai politik di India juga sudah mulai menjanjikan kebijakan mengupah ibu rumah tangga jika kelak nanti mereka terpilih. Upah ibu rumah tangga ini berbeda dengan subsidi bagi warga miskin dan fasilitas lain yang telah lebih dulu menjadi program pemerintah.
Jika kita menginginkan masyarakat yang lebih adil, lebih setara, dan lebih bahagia, yang terkaya harus membayar bagian pajak yang adil.
Akan tetapi, program upah bagi ibu rumah tangga itu menuai protes berbagai pihak. Program ini disebut sekadar memberi uang tak seberapa kepada perempuan, tetapi tidak mengangkat harkat dan martabat mereka menjadi lebih baik.
Ada banyak pertanyaan tentang bagaimana hal ini dapat dicapai dan apakah berlaku untuk laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga. Bagaimana dengan transjender?
Perlindungan hukum dan sistem
Djaffar Shalchi, Pendiri dan Ketua Dewan Human Act Foundation, seperti dikutip dari laporan UNFPA, menyatakan, mengatasi ketidaksetaraan jender ini sebenarnya cukup sederhana. ”Jika kita menginginkan masyarakat yang lebih adil, lebih setara, dan lebih bahagia, yang terkaya harus membayar bagian pajak yang adil,” ujarnya.
Pajak 1 persen atas kekayaan miliarder saja, menurut Shalchi, setara dengan miliaran dollar AS. Dana itu sangat bisa dimanfaatkan untuk memerangi kemiskinan global dan mengurangi ketidaksetaraan.
Namun, memerangi ketimpangan, khususnya ketimpangan jender, kuncinya ada pada dukungan hukum dan sistem. Berbicara tentang jender, tentu tidak berlaku untuk perempuan saja, tetapi juga untuk laki-laki ataupun transjender. Perempuan menjadi isu mengemuka karena dari data menunjukkan mereka masih terpinggirkan.
Baca juga : Jeratan Utang ”Squid Game” Rumah Tangga Perkotaan
Setidaknya dengan dana tambahan dari keadilan pajak itu, negara dan pemerintah bisa membayar ”utang” pada perempuan serta kaum terpinggirkan lain dengan memenuhi pembangunan fasilitas yang dekat dan mudah diakses. Fasilitas yang dibutuhkan, di antaranya, demi meningkatkan pendidikan, menjaga kesehatan sejak dini, mendapat informasi publik apa pun yang benar, bermobilitas dengan aman, bekerja di berbagai bidang yang disukai, serta perlindungan hukum.
Di sisi lain, perlu terus-menerus menyosialisasikan hingga akar rumput bahwa fokus mengurus keluarga di rumah bukanlah hal tabu atau harus dihindari perempuan dan laki-laki. Di rumah fokus mengurus keluarga, menjadi pekerja formal di luar rumah, atau bekerja di rumah sembari mengurus keluarga menjadi pilihan terbuka bagi setiap individu.
Jika individu pada akhirnya memilih total mengurus rumah tangga, posisinya tetap setara dengan mereka yang berperan sebaliknya. Mengurus rumah tangga adalah pekerjaan mulia dan faktor kunci terciptanya kota ataupun negara yang sejahtera.
Baca juga : Catatan Urban