Menanti Gedung-gedung Jangkung Ibu Kota ”Terbangun” dari Tidurnya
Pagebluk mengurangi tingkat penggunaan bangunan tinggi di sentra bisnis di pusat kota. Kini, gedung-gedung yang menggapai langit itu butuh pengungkit untuk kembali hidup sekaligus menjadi perekat sosial masyarakat urban.
Oleh
neli triana
·6 menit baca
Deretan bangunan beton berlapis kaca berdiri menjulang di sepanjang akses utama Ibu Kota di ruas Jalan Sudirman-Thamrin. Di kala siang cerah, refleksi biru langit dan putih awan memantul dari sisi tubuh jangkung gedung. Sinar surya menemukan dinding pantul sempurna menciptakan kilau silau di puncak-puncak gedung. Di malam hari, kilau lampu dari tiap gedung tinggi ini tak kalah memukau.
Bergeser ke kawasan Kuningan di Jakarta Selatan, lalu kawasan Kemayoran di Jakarta Pusat, juga di pelbagai pusat bisnis dan sentra gedung tinggi multifungsi lain, terasa sensasi serupa dengan yang di Sudirman-Thamrin. Namun, di balik keangkuhan deretan gedung tinggi itu, kesan suwung alias kosong kini amat terasa.
Saat berkeliling di pusat belanja, di antara terang benderang sistem penerangan gedung dan rasa sejuk karena kerja maraton mesin pendingin ruangan beserta sistem sirkulasi udara, sebagian gerai menutup rapat pintu mereka. Tempat bisnis yang masih beroperasi rata-rata waralaba besar yang berjejaring nasional dan internasional. Di gedung-gedung khusus perkantoran, pada sebagian ruang hanya terisi sedikit karyawan. Karyawan lain tengah bekerja dari rumah.
Khusus untuk gedung perkantoran, laporan hasil riset Colliers International Indonesia pada 7 April 2021 menyebutkan, ketidakpastian masih membayangi pemilik bisnis berbasis kantor di Jakarta. Peningkatan ruang kosong terus berlanjut. Hanya komitmen penyewalah yang membantu mempertahankan tingkat hunian rata-rata pada kuarter pertama 2021 pada angka 80,7 persen.
Di masa penuh cobaan saat ini, kebutuhan ruang kerja secara fungsi dan maknanya justru makin meluas dan sulit terpenuhi oleh ruang kantor konvensional yang sekarang ada.
Namun, perlambatan kegiatan usaha akibat pandemi menekan penyewa, mendorong sebagian dari mereka untuk hengkang sehingga menurunkan tingkat hunian bangunan. Tingkat hunian gedung perkantoran di luar kawasan sentra bisnis (central business district/CBD) adalah 79,7 persen pada kuarter pertama 2021, turun sekitar 1 persen dibandingkan kuarter keempat 2020. Di tengah semua itu, kasatmata proyek pembangunan gedung tinggi berlanjut, yang berarti tambahan pasokan ruang tetap ada pada tahun-tahun mendatang.
”Perkiraan kami, untuk 2021, tingkat hunian rata-rata menurun 2 persen dibandingkan 2020, baik di dalam maupun di luar CBD. Bagaimanapun, okupansi pada periode 2020-2021 akan tercatat di bawah angka yang terlihat selama krisis keuangan 2008-2009,” demikian kutipan dari laporan Colliers tersebut.
Meskipun demikian, Colliers optimistis dalam meneropong nasib pasar perkantoran di Jakarta. Gedung perkantoran yang terintegrasi jaringan transportasi yang sangat baik, aksesibilitas ke daerah perumahan, harga sewa yang terjangkau, dan fasilitas ritel tetap akan sangat dicari di masa depan.
Pemilik tanah diharapkan memainkan peran penting dalam pemulihan pasar yang lebih fleksibel menanggapi kebutuhan pasar, terutama mengingat perjanjian sewa cenderung akan menjadi lebih pendek karena ketidakpastian terus berlanjut.
Kegelisahan lama
Kegelisahan tentang nasib gedung jangkung di sentra-sentra bisnis perkotaan sebenarnya sudah muncul sejak pandemi melanda dan membuat banyak orang tercerabut dari rutinitas bekerja di kantor. Sebagian perusahaan bahkan telah mengambil kebijakan sebagian karyawan secara permanen bekerja dari rumah selama dan setelah pandemi usai nanti.
Kecenderungan bekerja fleksibel, tidak harus hadir menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer di kubikel atau ruang rapat kantor, sebenarnya muncul jauh sebelum pandemi. Di era kemajuan teknologi digital, banyak jenis pekerjaan dapat diakses dan dikerjakan dari mana pun asal ada gawai dan sambungan internet. Kinerja setiap karyawan pun tidak lagi dimonitor secara fisik melalui kehadiran di kantor, tetapi dipantau secara digital jarak jauh.
Di sisi lain, gedung tinggi dan sentra-sentra bisnis baru terus dibangun di pusat kota dan di kawasan pertumbuhan urban lain. Ada semacam perang prinsip yang masih dianut. Ada pihak yang yakin pertumbuhan ekonomi kawasan salah satunya dimotori proyek konstruksi baru, baik perumahan, perkantoran, maupun gedung tinggi, untuk berbagai keperluan. Tingkat okupansi gedung perkantoran, seperti dilaporkan Colliers, menjadi acuan karena dinilai masih bagus meskipun ada sekitar 20 persen pasokan ruang yang kosong.
Pihak lain melihat mengapa tidak menggelorakan pendekatan baru dalam memanfaatkan kecenderungan ruang yang senyatanya kini berlebih. Padahal, kasatmata saja masih ada orang tak punya tempat tinggal layak atau tidak memiliki ruang usaha memadai dan terjangkau. Mengapa tidak diatur saja kelebihan ruang fisik gedung-gedung yang ditinggal penyewanya dan bangunan-bangunan terbengkelai di sudut-sudut kota untuk difungsikan dan distribusikan demi memenuhi kebutuhan warga urban yang lebih mendesak.
Khusus untuk gedung-gedung tinggi di pusat bisnis di perkotaan yang selama ini sudah identik sebagai kawasan mahal, perlakuan berbeda diperlukan agar nilainya tidak merosot. Selain itu, supaya tetap dapat menjadi sentra kegiatan ekonomi yang mendongkrak kehidupan seluruh kawasan urban.
Richard Florida, salah satu pelopor teori kelas atau kelompok masyarakat kreatif sebagai motor menuju terciptanya kota-kota sejahtera menyatakan, kantor yang kita kenal sudah dalam pergolakan perubahan dan transformasi.
”Sekitar 20 tahun lalu, ketika saya meneliti (dan menulis buku ) TheRise of the Creative Class, saya bertanya kepada anak muda kreatif di bidang teknologi hingga seni, apa yang mereka inginkan di tempat kerja. Mereka mengatakan butuh mengerjakan proyek-proyek hebat, dengan orang-orang hebat, di ruang yang bagus, di lingkungan yang bagus,” tulis Florida di Bloomberg Citylab, 14 Mei lalu.
Namun, di masa penuh cobaan saat ini, kebutuhan ruang kerja secara fungsi dan maknanya justru makin meluas dan sulit terpenuhi oleh ruang kantor konvensional yang sekarang ada.
Tren bekerja di rumah sepenuhnya atau bergantian piket di kantor akan tetap menjadi opsi kantor di era pandemi dan pascavirus korona. Mengikuti tren yang ada dan jika ingin menarik lebih banyak karyawan bekerja di kantor, meminjam pendapat Florida, kantor di masa depan tidak lagi sekadar bilik tempat para pekerja ”parkir” di laptop mereka.
Penyedia kerja atau pengelola gedung perlu menyediakan ruang memadai dan arena interaksi sosial yang sehat di kantor. Sediakan pula opsi tempat kerja luar ruang yang nyaman. Upaya ekstra itu diperlukan untuk membujuk pekerja agar mau menjauh dari rumah sekaligus ruang berkarya mereka selama 1-2 tahun terakhir dan bersemangat datang ke kantor.
Bujuk rayu dengan penambahan fasilitas ruang olahraga, tempat makan higienis yang menyenangkan, ruang bermain, serta penitipan anak yang terjamin kesehatan dan keamanannya bakal menjadi daya untuk menarik banyak calon karyawan bertalenta.
Tak lupa, Florida menyarankan perusahaan menawarkan program khusus, seperti pelatihan dan pendidikan di kantor dan akses ke jenjang pendidikan formal lebih tinggi. Hal ini bukan sekadar agar karyawan naik pangkat atau meraih posisi tertentu, melainkan demi menjadikan mereka ahli di bidang masing-masing dan mewadahi dorongan mengejar passion individu yang dikelola agar sesuai kebutuhan perusahaan serta tuntutan persaingan.
Perekat sosial
Simbiosis mutualisme antara perusahaan dan aset terbesar perusahaan, yaitu karyawannya, menjadi ”roh” baru dalam menggelorakan semangat bangkit pada perusahaan. Hal ini akan berefek baik pula pada pemulihan denyut hidup gedung-gedung perkantoran serta pusat-pusat bisnis perkotaan yang terdampak pandemi.
Pastilah mahal biayanya dan hanya perusahaan mapan dan berpikiran terbuka yang bisa mewujudkan. Ternyata, tidak juga. Pada saat terguncang babak belur seperti sekarang, kolaborasi berbagai usaha dapat menjadi jaring pengaman sekaligus pondasi bersama-sama bangkit dan maju.
Bayangkan jika pengelola gedung atau penyedia kerja bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah menggamit komunitas-komunitas warga untuk menjadi penyedia penitipan anak di sekitar perkantoran, memasok makanan sehat bagi pekerja, dan mengelola ruang terbuka yang dapat menjadi ruang interaksi bersama. Harapan ahli pusat kota, N David Milder, untuk mengubah kawasan sentra bisnis menjadi central social district (CSD) pun bisa terealisasi.
Ide menggeser CBD menjadi CSD dari Milder tersebut tidak hanya berorientasi menjadikan suatu kawasan lengkap menara-menara penggapai langit sebagai pusat kegiatan ekonomi, tetapi juga mengikis jurang pemisah dan ketimpangan di internal masyarakat urban. Didukung kebijakan pemerintah, kolaborasi antarkomunitas akan menyediakan berbagai fasilitas bersama yang lebih terjangkau oleh berbagai kalangan.
Dengan demikian, gedung-gedung jangkung diharapkan tidak lagi angkuh, berjarak, tetapi kopong termakan pandemi. Sebaliknya, bangunan-bangunan bongsor di sentra-sentra bisnis urban itu kelak dapat mengayomi dan menjadi bagian dari perekat sosial warga kota.
Rekomendasi yang menggiurkan di masa-masa suram ini, bukan?