Gerakan “Slow Cities” agar Hidup Lebih Hidup
Kota-kota cenderung kian berkembang seragam, sebagai pusat segala kegiatan yang terbiasa sibuk 24 jam. Namun, kota dituntut tahu kapan harus melambat untuk menanamkan memori menyenangkan bagi warga penghuninya
Suatu hari di tahun 1986, warga Roma di Italia meradang melihat kehadiran waralaba kedai makanan cepat saji di kotanya. Kedai penjual burger kenamaan itu berlokasi di Piazza di Spagna berdekatan dengan Spanish Steps, salah satu lokasi bersejarah dan ikon Kota Roma.
The New York Times mengatakan, kota yang bangga sebagai bagian dari bangsa berjuluk “Land of Pasta” itu khawatir restoran cepat saji menandai merasuknya budaya Amerika Serikat yang serba instan, banyak, dan cepat ke kehidupan tradisional mereka. Benar saja, tak berapa lama setelah gerai pertamanya dibuka pada Maret 1986, dua gerai lain menyusul beroperasi.
Warga Kota Roma menuntut secara hukum, berunjukrasa, dan melancarkan protes. Si kedai dinilai tidak cocok berada di tengah bangunan kuno bersejarah. Gelombang penggemar burger yang datang dan pergi disebut menyumbat arus lalu lintas di sekitar Piazza di Spagna.
Prinsip kota lambat mengusung cara hidup mendukung orang untuk hidup lambat, menghargai tradisi dan cara tradisional dalam kegiatan sehari-hari.
Uniknya, perlawanan warga tersebut dibarengi gerakan anti fast food atau anti makanan cepat saji. Mereka menamainya Slow Food. Dimotori Carlo Petrini, seorang penulis sekaligus pemuja makanan khas Italia dan pendukung kelestarian makanan lokal di mana pun berada, gerakan Slow Food bertujuan untuk mempertahankan tradisi daerah, makanan enak diolah dari bahan demi bahan dengan tangan bukan pabrikan, kenikmatan gastronomi, dan hidup yang bergulir lambat.
Baca juga: Akankah Megakota Jakarta Menggeser Tokyo Tahun 2030?
Gerakan dengan pendekatan komprehensif terhadap makanan yang mengakui hubungan kuat antara sepiring hidangan, manusia, politik, budaya, dan Bumi tempat hidup manusia merembes ke luar Roma, ke luar Italia. Dalam 30 tahun terakhir, Slow Food menjadi strategi di kota-kota lain di lebih dari 160 negara lain untuk mengangkat harkat makanan serta budaya tradisional mereka. Dari gerakan ini bangkitlah tren wisata kuliner dan wisata lokal yang menyedot jutaan penikmat dari seluruh dunia.
Seiring diterimanya gagasan menikmati makanan dan kehidupan lokal yang terasa lebih humanis, muncul pula gerakan Cittaslow atau Slow Cities pada tahun 1999, yang secara harafiah berarti kota-kota yang lambat. Gerakan ini melawan stereotipe kota yang selalu berasosiasi dengan segala yang instan, cepat, efisien, sibuk luar biasa, tetapi homogen dengan kotak-kotak gedung yang mirip lengkap dengan waralaba restoran cepat saji di semua sudutnya.
Prinsip kota lambat mengusung cara hidup mendukung orang untuk hidup lambat, menghargai tradisi dan cara tradisional dalam kegiatan sehari-hari. Kota lambat muncul dari upaya akar rumput meningkatkan kualitas hidup warga, dengan mengurangi polusi, kepadatan lalu lintas, dan keramaian, serta mempromosikan interaksi sosial yang lebih baik dalam komunitas kaum urban.
Saat ini, sedikitnya terdapat 236 kota di 30 negara yang memenuhi kriteria kota lambat.
Seperti halnya Slow Food, Slow Cities memiliki organisasi resmi dan kuat. Setiap kota yang akan menjadi anggota harus mematuhi sederet kriteria, di antaranya berpenduduk maksimal 50.000 jiwa, berfokus pada penyediaan ruang hijau, memiliki infrastruktur publik memadai dan konektivitas internet mumpuni, mempromosikan energi terbarukan dan transportasi yang berkelanjutan, serta bersikap ramah dan bersahabat bagi semua.
Kota lambat dapat menciptakan peluang untuk pola perilaku lebih sehat bagi warga lokal maupun pendatang. Saat ini, sedikitnya terdapat 236 kota di 30 negara yang memenuhi kriteria kota lambat. Salah satunya adalah Kota Yaxi di Gaochun yang pada November 2010 menjadi Kota Lambat pertama di China. Mencakup area seluas 112 kilometer persegi, Yaxi berjarak sekitar 2 jam dari Nanjing. Akses utama yang menghubungkannya dengan dunia luar berupa jalan tanah. Yaxi menjadi Kota Lambat dengan fokus pada keindahan alam di enam desanya.
Penduduk Yaxi bergantung pada area persawahan yang luas di sekitar mereka. Selain itu, mereka dikenal sebagai pembuat sepatu tradisional buatan tangan. Kini, mereka menangguk untung dari para turis minat khusus yang mau bersusah-susah berkunjung demi merasakan kehidupan perdesaan Yaxi.
Sepintas Yaxi mengingatkan pada Desa Adat Penglipuran di Kabupaten Bangli, Bali. Desa Penglipuran masuk kategori desa berkelanjutan yang diakui dunia.
Meskipun tidak berafiliasi dengan gerakan Kota Lambat, kehidupan di Penglipuran sangat bergantung pada harmoni hubungan komunitas warga. Dari penataan kampung hingga penggarapan lahan serta cara hidup sehari-hari, penduduk desa ini menekankan keselarasan dengan alam sekitar. Di tengah pengaruh kehidupan modern, suasana dan kerekatan komunitas masih mendominasi desa ini. Sebuah kekuatan yang menjadi magnet penarik turis yang turut menguatkan eksistensi Penglipuran.
Hujan kritik
Gerakan kehidupan yang lambat tak sepi dari cibiran dan kritikan. Sebagian kalangan menyebutnya utopia belaka, karena pada kenyataannya sulit menerapkan 100 persen konsep “slow” yang sering diterjemahkan sebagai sustainable, local, organic, dan whole itu. Pengaruh dari luar mau tidak mau tetap masuk yang turut membentuk wajah kota tersebut.
Ada yang menyebut gerakan ini sebagai merek dan cara kota mengeksplorasi potensi internal agar bisa menjajakan diri. Dengan itu, kota unjuk gigi lagi eksis di kancah persaingan industri pariwisata dunia yang sedang menuju masa puncaknya tepat sebelum pandemi menghadang.
Di Italia, tempat lahirnya gerakan melambat itu, masih banyak hal buruk terjadi dan salah satunya adalah sistem layanan kesehatan yang dituding jauh dari memuaskan. Dengan jumlah penduduk 60,4 juta jiwa sesuai data Eurostat, Organisasi Kesehatan Dunia mencatat di negara itu sampai 14 April 2021 ada 3,81 kasus Covid-19 dengan 116.000 kematian dan 3,18 juta pasien sembuh. Tingkat penularan dan kematian itu termasuk tertinggi di dunia.
Dalam skala konsep, Slow Cities juga dinilai bukan terobosan baru karena gagasan kota layak huni digaungkan banyak perencana dan penata kota progresif sejak lama. Pada 1960-an, misalnya, Jane Jacobs dan William H Whyte berpendapat, kota yang melayani pejalan kaki yang lambat dan bermobilitas dengan angkutan umum layak daripada mobil pribadi, dapat menghasilkan kota yang lebih baik bagi warganya.
Sayangnya, banyak kota di dunia termasuk di Jakarta, baru separuh abad kemudian tersadar membangun trotoar nan apik penghubung ke berbagai moda transportasi publik serta fasilitas lain. Tren ruang terbuka hijau publik pun baru benar-benar menjangkiti Jakarta kurang dari 10 tahun terakhir. Semua itu kini menjadi oase berharga di tengah hiruk pikuk Jakarta yang lebih dulu dikuasai jutaan kendaraan bermotor pribadi.
Baca juga: Dari Kota Satelit ke Ibu Kota Baru
The Conversation menyatakan, strategi yang mengutamakan kenyamaan warga itu lebih cepat diserap swasta, khususnya para pengembang. Mereka jor-joran membuka permukiman baru dengan memasang label sebagai "komunitas yang dinamis", "lingkungan yang layak huni", dan "kawasan yang berbeda". Kota nyaman untuk semua warga yang diidamkan Jacobs justru lebih banyak dinikmati kaum berpunya yang mampu membeli “lokasi” dan menerapkan penataan humanis modern.
Kembali ke esensi melambat
Namun, para pendukung Kota Lambat menyatakan, terlepas dari masih adanya kekurangan, konsep dasar gerakan ini sesuai tuntutan kehidupan normal baru pascapandemi Covid-19. Pada saat seluruh penjuru Bumi kalut diguncang wabah global dan dipaksa melambat dengan mengurangi berbagai kesibukan maupun pergerakan fisik, patut melihat kembali arah kebijakan penataan kota sebagai tempat hidup 60 persen penduduk dunia. Keberpihakan dan mengembalikan hak publik untuk publik adalah keniscayaan.
Untuk itu, di masa kini, perlu melepaskan diri dari jargon dan merek, tetapi memahami serta mengadopsi esensi berbagai konsep pembangunan kota inklusif. Saat kemajuan teknologi tak terbendung, mengapa tidak mengawinkan konsep Kota Pintar dengan Kota Lambat dan memberi warga sarana untuk menjelajahi lingkungan perkotaan dengan langkah berbeda untuk mendapat pengalaman berbeda? Menggunakan pendekatan kota lambat dan cerdas membantu warga terhubung dengan sejarah, masa kini, dan masa depan.
Kota sebagai pusat segala kegiatan yang tetap butuh efisien dan produktif, bukan berarti halangan untuk sesekali melambat. Warga kota dapat meluangkan waktu di ruang publik, museum, berolah raga di taman kota, berkelana dengan angkutan umum, berjalan santai menapaki trotoar yang nyaman, dan menyantap makanan kesukaan, bahkan terlibat dalam berbagai kegiatan baru. Semua bisa dilakukan dengan aman berkat panduan teknologi yang sekarang ada di gawai kita.
Baca juga: Makanan Penyembuh Kota yang Lara
Teknologi dapat difungsikan untuk mengenalkan sekaligus menanamkan karakter lokal. Juga membangun rasa kebersamaan di dalam koridor protokol kesehatan yang menjadi tuntutan di masa pandemi saat ini maupun di bawah bayang-bayang ancaman serangan wabah global selanjutnya.
Ingin melambat atau bergerak cepat, pilihan ada di tangan kita dan kita bisa mengaturnya agar keseimbangan terwujud, sembari membuka peluang untuk kehidupan yang lebih baik kapanpun itu. Paling tidak di akhir pekan ini, sinyal melambat sangat kuat. Mari syukuri hidup, melambat, dan bersenang-senang.