Syarat Tes Covid-19 bagi Awak Pesawat Dinilai Terlampau Longgar
Pengambilan sampel bagi awak pesawat boleh dalam rentang waktu 14 x 24 jam sebelum keberangkatan, sedangkan bagi penumpang maksimal 2-3 x 24 jam saja sebelum keberangkatan.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan ketentuan terbaru, awak pesawat yang bertugas dalam penerbangan wajib menunjukkan surat keterangan hasil tes Covid-19 yang sampelnya diambil maksimal 14 x 24 jam sebelum keberangkatan. Syarat ini dinilai terlampau longgar dan memperbesar risiko penularan di pesawat.
Syarat tersebut tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Perhubungan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksana Penerbangan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara dalam Masa Pandemi Covid-19, Nomor 4 huruf e. Awak pesawat boleh memilih antara pemeriksaan transkriptase balik-reaksi rantai polimerase (RT-PCR) dan tes cepat antigen.
Sementara itu, syarat bagi penumpang pesawat malah lebih ketat. Berdasarkan ketentuan Nomor 3 Huruf d Ayat 2, penumpang harus menunjukkan surat hasil tes RT-PCR yang sampelnya diambil maksimal 3 x 24 jam sebelum berangkat atau hasil tes cepat antigen yang sampelnya diambil maksimal 2 x 24 jam sebelum berangkat. Untuk yang ke Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, Bali, syarat lebih berat lagi, yakni sampel diambil maksimal 2 x 24 jam sebelum berangkat bagi yang menggunakan hasil tes RT-PCR dan 1 x 24 jam untuk tes antigen.
”Apakah virus bisa membedakan antara kru dan penumpang?” tutur anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, saat dihubungi pada Selasa (26/1/2021). Padahal, menurut dia, para pilot dan awak kabin sesungguhnya jauh lebih rentan tertular Covid-19 dibandingkan dengan penumpang.
Ini, kan, berbahaya kalau mereka dalam 14 hari sudah positif dan tidak ketahuan. (Alvin Lie)
Alvin menyebutkan, ia bepergian dengan pesawat rata-rata dua kali sepekan. Namun, kru pesawat bisa 3-4 kali dalam sehari. Para pramugara dan pramugari, misalnya, sekali terbang melayani puluhan hingga ratusan penumpang sehingga meningkatkan risiko paparan Covid-19 bagi mereka. Selain itu, para kru pesawat bisa saja berinteraksi dengan orang lain saat di darat dan bandara.
”Ini, kan, berbahaya kalau mereka dalam 14 hari sudah positif dan tidak ketahuan,” ujar Alvin yang juga pengamat penerbangan. Ia menduga syarat batas waktu tes Covid-19 bagi awak pesawat dilonggarkan demi efisiensi pengeluaran maskapai penerbangan. Di pasaran, tarif tes antigen Rp 250.000 per orang dan tes RT-PCR sekitar Rp 900.000 per orang.
Namun, Alvin memandang besarnya pengeluaran tidak boleh jadi alasan untuk melonggarkan syarat tes Covid-19 bagi awak pesawat demi keselamatan mereka sendiri dan penumpang. Jika pemerintah ingin membantu maskapai bisa efisien, ia mengusulkan agar pemerintah menanggung biaya tes bagi para personel pesawat.
Risiko penularan Covid-19 di transportasi udara kian besar dengan masih maraknya pemalsuan surat keterangan hasil tes Covid-19. Baru-baru ini, personel Kepolisian Daerah Metro Jaya kembali mengungkap tindak pidana pemalsuan surat hasil tes Covid-19 yang melibatkan delapan tersangka. Sebanyak dua orang di antaranya merupakan ”orang dalam”, yakni pegawai di klinik dan laboratorium yang memang menyediakan layanan tes Covid-19 resmi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam konferensi pers hari Senin (25/1/2021) menyampaikan, Polda Metro dan jajaran setidaknya sudah tiga kali mengungkap sindikat pemalsu surat hasil tes Covid-19. Pemalsuan yang dibongkar Tim Garuda Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, juga melibatkan orang dalam, antara lain, sukarelawan validasi pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) bandara dan pegawai fasilitas tes cepat sebuah perusahaan yang ditempatkan di bandara.
Pelaku pemalsuan yang ditangkap tim Polda Metro Jaya mengaku sudah membuat 11 surat hasil tes bodong sejak November lalu, sedangkan yang diringkus tim Polresta Bandara Soekarno-Hatta menyebutkan sudah menerbitkan lebih dari 100 surat palsu sejak Oktober.
Para pengguna surat palsu tidak perlu ikut tes cepat atau tes RT-PCR untuk mendapatkan bukti nonreaktif atau negatif Covid-19 sehingga bisa saja di antara mereka ada yang sebenarnya terpapar virus. ”Kasihan bagi yang sudah mengikuti aturan, saat masuk pesawat atau kereta api, terjadi penyebaran di dalamnya,” kata Yusri.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Muhammad Budi Hidayat menuturkan, pihaknya tengah menggencarkan sosialisasi penggunaan bukti hasil tes yang bisa divalidasi secara digital kepada para pelaku perjalanan. ”Salah satu peluang untuk memalsukan kan kalau (pemeriksaan validitas hasil tes) manual,” ujarnya.
Budi menyebutkan, baru 5 persen penumpang pesawat via Bandara Soekarno-Hatta pada November lalu yang menggunakan bukti digital terkait hasil tes Covid-19. Saat ini jumlahnya masih rendah, tetapi terdapat kemajuan, sudah mencakup 20 persen penumpang.
Alvin berpendapat, biaya tes yang mahal termasuk salah satu faktor yang memicu suburnya jasa manipulasi dokumen bagi calon penumpang yang ingin menggunting pengeluaran dalam bepergian. Alvin mencontohkan, harga tiket penerbangan Jakarta ke Semarang, Jawa Tengah, sekitar Rp 320.000, tetapi biaya tes cepat antigen Rp 200.000 atau setara 62,5 persen harga tiket.
Karena itu, ia juga merekomendasikan biaya tes Covid-19 bagi para pelaku perjalanan turut ditanggung pemerintah. Apalagi, tes terhadap mereka sebenarnya sekaligus bermanfaat untuk skrining warga yang sudah terpapar Covid-19 sehingga pelacakan kontak erat dan perawatan atau isolasi terhadap yang positif bisa segera dilakukan.