Mutilasi, Ledakan Tekanan Remaja Korban Kekerasan Seksual
Jangan sampai ada korban yang tidak mampu menyuarakan ratapannya lagi sehingga akhirnya menimbulkan siklus kekerasan tiada henti.
Rentetan pemerkosaan oleh sesama lelaki mengubah A (17) menjadi sosok remaja berdarah dingin. Ia membunuh pemerkosanya dengan sadis. Pemberontakan ekstremnya membuka mata, betapa tekanan yang diderita anak korban kekerasan seksual bisa mewujudkan ledakan emosi serta tindakan yang membabi buta melanggar nurani, norma, dan hukum.
Baru sekitar satu jam hari berganti ke Minggu (6/12/2020) saat A terbangun dari tidur di rumahnya di Kayuringin Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Ia terperanjat karena celananya sudah melorot hingga lutut. DS (24), pria yang dikenalnya sejak Juni, memaksa A berhubungan badan. Waktu itu DS memang bermalam di rumah A.
A yang menolak justru diancam dengan pisau sehingga terpaksa menuruti nafsu bejat DS. Sakit hati tak tertahankan membuat A mengambil golok dari dapur sewaktu DS pulas terlelap seusai bersetubuh. Bacokan demi bacokan dilayangkan A ke sejumlah bagian tubuh pemerkosanya, termasuk hingga menghancurkan wajah.
Secara paripurna, rasa kemanusiaan ditanggalkan A. Ia memotong-motong tubuh DS, membagi ke dalam empat bungkusan plastik, dan membuangnya ke sejumlah tempat guna mengaburkan jejak pembunuhan.
Tekanan yang diderita anak korban kekerasan bisa mewujudkan ledakan emosi serta tindakan yang membabi buta melanggar nurani, norma, dan hukum.
”Niat membunuh sudah muncul sejak hubungan keempat atau kelima,” ucap Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam konferensi pers pada Kamis (10/12/2020). Ya, DS tidak hanya sekali melampiaskan nafsunya. A mengaku sudah lebih dari 50 kali disodomi.
A disebut hanya bersekolah hingga jenjang menengah pertama. Setelah itu, ia memilih bekerja serabutan, termasuk mengamen dari satu bus ke bus lain atau menjadi ”manusia silver”. Menurut Yusri, jumpa perdana dengan DS terjadi di sebuah bus ketika A mengamen.
Di hari ulang tahun A pada Juli, DS berhasil membujuk agar remaja itu mau diajak berhubungan seksual. DS menggaet menggunakan uang Rp 100.000. Rupanya, DS ketagihan sehingga terus meminta dilayani. Namun, nilai uang yang dibayarkan terus menciut, bahkan beberapa kali A tidak menerima sepeser pun. Ini turut membuncahkan amarahnya untuk memantapkan hati mengakhiri hidup DS.
Baca juga : Apakah Ada Keberpihakan kepada Korban Kekerasan Seksual?
Kabut kekerasan sebelumnya juga memerangkap NF (15), remaja putri yang hidup di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Segala bentuk ekspresi kengerian menjelma dalam personanya setelah ia mengaku membunuh bocah perempuan yang juga tetangganya, APA (5), tanpa rasa bersalah.
Siswi salah satu sekolah menengah pertama itu mengantarkan APA ke ajal saat si bocah bermain di rumah keluarga NF, Kamis (5/3/2020) sekitar pukul 16.00. Korban ditenggelamkan dalam bak kamar mandi, kemudian jasad dimasukkan ke dalam ember, lalu dipindahkan ke lemari kamar pelaku. Perbuatannya terungkap karena ia datang langsung ke kantor polisi keesokan harinya dan melaporkan dirinya.
Karena tidak disertai penyesalan sedikit pun, ada kecurigaan NF menderita gangguan psikopati. Bahkan, menurut Yusri Yunus, dari hasil investigasi polisi, NF memiliki hasrat membunuh sejak sebelum membunuh APA. NF juga gemar menonton cuplikan film-film berbau kesadisan dan piawai membuat gambar bernuansa suram.
Sama seperti pada A, tekanan pada NF layaknya bom menunggu dipicu. Harry menduga pemerkosaan-pemerkosaan punya hubungan sebab-akibat dengan pembunuhan APA.
Sekitar dua bulan kemudian, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat mengungkap fakta mengejutkan. Di tengah menanti proses hukum selesai, NF diketahui sedang mengandung. Rupanya, jauh sebelum membunuh APA, NF menjadi korban kejahatan seksual oleh F (anak dari kakak ibu tiri NF), R (cucu dari kakak ibu tiri), dan pacar NF yang berinisial A. Ketiganya secara keji memerkosa NF berkali-kali.
Baca juga : Alarm Perlindungan Anak dari Tragedi NF
NF memilih memendam sendirian perbuatan pelaku-pelaku biadab itu. Selain karena diancam, ia juga takut pengakuannya akan mengganggu keutuhan rumah tangga ayah dan ibu tirinya. Sebab, dua pelaku masih ada hubungan keluarga dengan sang ibu.
Namun, sama seperti pada A, tekanan pada NF layaknya bom menunggu dipicu. Harry menduga pemerkosaan-pemerkosaan punya hubungan sebab-akibat dengan pembunuhan APA. ”Saat pembunuhan, memang anak itu menyampaikan, dia dibayang-bayangi oleh perilaku R terutama,” ujarnya.
Pemidanaan
Namun, kekejian yang diderita NF dan A bukan berarti perbuatan mereka bisa dimaklumi. Empati tetap mesti hadir bagi keluarga yang merana ditinggal pergi untuk selamanya oleh para korban. Seto Mulyadi atau Kak Seto, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), saat menjadi saksi ahli di persidangan menyatakan, NF boleh diadili, tetapi pemidanaannya mesti berjalan di fasilitas yang ramah anak.
Hakim pun sepakat dengan pandangan itu. NF dinyatakan bersalah dan divonis 2 tahun menjalani rehabilitasi sosial di Handayani, fasilitas milik Kemensos. Pada 31 Oktober pukul 11.45, NF melahirkan dengan operasi caesar. ”Sekarang anaknya sudah dua bulan dalam keadaan sehat,” kata Harry.
Terhadap A, polisi juga menjamin haknya sebagai anak tetap dipenuhi layaknya NF. Indonesia pun sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ”Sistemnya berbeda dengan orang dewasa, termasuk nanti peradilannya. Ia juga perlu pendampingan. Semua ada,” kata Yusri.
Pekerja LPAI dan Yayasan Lentera Anak, Reza Indragiri Amriel, menyebutkan, kejahatan seksual menurut Presiden Joko Widodo merupakan kejahatan luar biasa. Karena itu, A tergolong korban kejahatan luar biasa. ”Okelah anggap dia berstatus ganda, pelaku sekaligus korban. Lantas, status manakah yang didahulukan? Hemat saya, status korbannya didahulukan,” kata Reza.
Baca juga : Hak Pemutilasi sebagai Anak Tetap Dilindungi
Sebagai korban kejahatan seksual, mengacu UU Perlindungan Anak, A harus mendapat perlindungan khusus. Dengan demikian, Reza mendorong instansi-instansi selain polisi ikut turun tangan memastikan perlindungan khusus bagi korban kejahatan ini terealisasi. Instansi itu, antara lain, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Pengalaman A sebagai korban kekerasan seksual pun harus mendapatkan penanganan yang sesuai. Jika tidak, lingkaran baru kejahatan seksual dikhawatirkan muncul kembali.
Pada 2010, misalnya, Baekuni alias Babeh mencuat sebagai legenda sodomi sekaligus mutilasi. Ia mengaku membunuh 14 orang, delapan di antaranya dipotong-potong. Babeh juga diketahui menyodomi korban-korbannya.
Sewaktu kecil, ketika hidup menggelandang di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Babeh disodomi oleh seorang preman. Pengalaman itu diduga mendorong dia berhasrat membalas ”kekalahannya” dengan membuat anak-anak lain merasakan kegetiran serupa.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 4.116 kasus kekerasan anak di seluruh Indonesia kurun Januari-Juli 2020,. Sebanyak 2.556 kasus atau lebih dari 60 persennya berupa kekerasan seksual.
Pencegahan
Mungkinkah pembunuhan sadis dengan begitu ringannya oleh pelaku anak akan terjadi lagi? Jawabannya—dan bukan mendoakan—mungkin. Apalagi, di antara anak-anak di sekitar kita mungkin saja ada yang punya kecenderungan psikopati, tetapi kita tidak pernah tahu sebelum kecenderungan itu bermanifestasi menjadi perbuatan, ekstremnya seperti yang dilakukan NF dan A.
Namun, perwujudan itu bisa dihindari. Kak Seto mencontohkan, dirinya kenal seseorang yang punya kecenderungan psikopati sewaktu kecil. Kenalannya dahulu menikmati penyiksaan serangga. Namun, setelah dewasa, nyatanya ia menjadi psikolog andal.
Kuncinya, meniadakan pencetus rasa kecewa, frustrasi,dan marah yang bisa memunculkan sosok monster dari anak-anak pemilik jiwa psikopati. Caranya? Terhadap semua anak apa pun latar belakang kepribadiannya, sama. Cegah kekerasan!
Kak Seto mengingatkan, penihilan kekerasan pada anak bukan hanya tanggung jawab orangtua dan keluarga. ”Melindungi anak perlu orang sekampung,” ucapnya.
Karena itu, LPAI, misalnya, mengusung ide bertajuk Sparta (seksi perlindungan anak tingkat rukun tetangga). Di Kota Tangerang Selatan, seluruh RT memiliki Sparta sejak 2011, disusul Banyuwangi, Bengkulu Utara, dan sejumlah lokasi di Bekasi. ”Biasanya di pengurus RT ada seksi kebersihan, seksi keamanan, nah ini ada seksi perlindungan anak,” ujar dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma itu.
Kak Seto menjelaskan, warga yang mengemban amanah sebagai seksi perlindungan anak punya tugas memastikan seluruh anggota masyarakat menjaga suasana lingkungan ramah anak. Sudah bukan zamannya lagi mendidik anak dengan melancarkan kekerasan.
Selain itu, warga yang membiarkan terjadinya kekerasan pada anak juga berpeluang dihukum. Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, bisa dipenjara hingga lima tahun.
Jangan sampai ada korban yang tidak mampu menyuarakan ratapannya lagi sehingga akhirnya menimbulkan siklus kekerasan tiada henti. Lindungilah anak-anak, siapa pun dan di mana pun mereka, demi yang kita sayangi.