Kemiskinan Memicu Tingginya Pembunuhan
Faktor ekonomi memicu pembunuhan. Utang, kebutuhan, dan masalah uang jumlah kecil dapat menggelapkan mata.
[Tulisan 11 dari 15]
Sejumlah provinsi di Indonesia mencatatkan jumlah kejahatan pembunuhan yang tinggi di daerahnya. Faktor ketimpangan ekonomi dan kemiskinan dianggap sebagai salah satu faktor pencetus.
Berita tentang pembunuhan atau penganiayaan hingga meninggal seperti tidak putus-putusnya di Sumatera Utara. Dalam publikasi Statistik Kriminal 2023 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, daerah ini tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kejahatan pembunuhan kedua tertinggi di Indonesia.
Yang terbaru, wartawan Sempurna Pasaribu (47) bersama istri, anak, dan cucunya meninggal karena dibunuh dengan cara dibakar rumahnya di Kabupaten Karo, 27 Juni 2024. Diduga, kematiannya terkait erat pemberitaan Sempurna tentang maraknya rumah judi. Dua orang yang diduga membakar rumah kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Di Sumut, kasus pembunuhan paling sering terjadi di kawasan aglomerasi Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo (Mebidangro). Medan merupakan pusat industri dan perdagangan yang cukup maju. Sebagian besar warganya bekerja di kawasan perdagangan di pusat kota atau di pabrik-pabrik di kawasan industri.
Baca juga: Dari Hati Turun ke Nyawa
Ketua Laboratorium Sosiologi Universitas Sumatera Utara Muba Simanihuruk menjelaskan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya kasus pembunuhan di Sumut, yakni peredaran gelap narkoba, ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum, dan kesenjangan ekonomi.
Sumut menjadi pintu masuk penyelundupan narkoba dari sejumlah negara sekaligus menjadi provinsi dengan jumlah pencandu tertinggi. Lembaga pemasyarakatan sampai kelebihan beban berkali-kali lipat karena hampir 80 persen penghuninya adalah narapidana kejahatan narkoba.
Di sisi lain, di tingkat mikro, warga cenderung enggan mempercayakan penyelesaian kasusnya kepada lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk penyelesaian masalah, termasuk melakukan tindakan kriminal.
”Mungkin terlalu kasar kalau disebut semacam hukum rimba, siapa kuat dia yang menang. Namun, pada tingkatan tertentu, memang itu yang terjadi di tengah masyarakat. Jarang sekali yang lemah menang di jalur hukum resmi,” kata Muba.
Sejauh ini, menurut Muba, banyak kasus pembunuhan terjadi di daerah sub-urban, seperti di daerah satelit pinggiran kota Medan. Kawasan ini secara administratif masuk wilayah Deli Serdang, tetapi dihuni para pekerja yang sehari-hari pergi pulang ke Kota Medan.
Setiap pagi dan sore, jalan-jalan menuju daerah sub-urban, seperti Sunggal, Binjai, Tanjung Morawa, Percut, hingga Belawan, dipenuhi warga yang bersepeda motor. Mereka tinggal di kawasan padat penduduk. Berbeda jauh dengan kawasan Polonia, Petisah, dan Setia Budi di pusat kota Medan yang dipenuhi rumah-rumah mewah yang juga mereka saksikan dalam perjalanan pergi pulang.
Potret ketimpangan dan tingginya pembunuhan di Sumatera Utara ini sesuai catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi menjadi salah satu faktor risiko pembunuhan.
Baca juga: Mengapa Pembunuh (Tidak) Selalu Orang Terdekat?
Dari hasil analisis data BPS 2022 yang dilakukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, ditemukan adanya korelasi positif antara kemiskinan dan tingkat pembunuhan per 100.000 penduduk di Indonesia. Relasi positif berarti tingkat kemiskinan dan tingkat pembunuhan akan bergerak searah. Ketika kemiskinan meningkat, kasus pembunuhan juga akan semakin banyak. Korelasi kedua parameter ini berkekuatan sedang.
Kemiskinan menyuburkan pembunuhan
Tingginya kasus pembunuhan di wilayah Kalimantan Selatan yang dikenal agamis dipandang sebagai ironi tersendiri. Ini tidak lepas dari kehidupan masyarakat setempat yang dinilai terlalu berorientasi pada ekonomi dan tak mau kalah gengsi. Menurut Statistik Kriminal 2023 dari BPS, pada tahun 2022, Kalsel masuk 10 provinsi dengan laporan pembunuhan terbanyak.
Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat, Dimas Asto Aji An’amta, berpandangan, masyarakat Banjar dari aspek sosio kultural termasuk masyarakat yang ”gengsian”. Mereka selalu ingin menonjolkan diri dan tidak mau dipandang remeh.
”Jika diremehkan, mereka mudah tersinggung. Apalagi kalau sedang di bawah pengaruh alkohol, mereka bisa nekat dan tak berpikir panjang lagi menghilangkan nyawa orang,” katanya.
Salah satu contoh, sebuah kasus pembunuhan yang berawal dari perkelahian warga di Kampung Kenanga, Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, pada 7 Oktober 2023. Kasus yang sempat menggegerkan ini menyebabkan dua orang tewas dan tiga orang lainnya terluka. Tiga orang kemudian ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Mungkin terlalu kasar kalau disebut semacam hukum rimba, siapa kuat dia yang menang. Namun, pada tingkatan tertentu, memang itu yang terjadi di tengah masyarakat.
Ironisnya, perkelahian maut itu berawal dari cekcok antarwarga yang sedang minum minuman keras atau minuman beralkohol, tidak jauh dari mushala.
Tidak sampai sebulan sebelumnya juga terjadi pembunuhan di Jalan Kelayan A, Gang 12, Banjarmasin Selatan. Pembunuhan itu juga berawal dari perkelahian dua warga. Sebelum berkelahi, keduanya menenggak miras di kawasan wisata siring Banjarmasin di Jalan Pierre Tendean.
Direktur Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin Abdani Solihin mengatakan, beberapa kasus pembunuhan di Kalsel memperlihatkan nyawa manusia seakan tidak ada harganya. Hanya karena tersinggung atau emosi sesaat, orang bisa nekat menghilangkan nyawa orang lain.
”Kenekatan itu kerap dilakukan oleh warga yang tingkat pendidikannya rendah dan tingkat ekonominya juga tergolong menengah ke bawah,” katanya, Senin (8/7/2024).
Secara sosio-ekonomi, menurut Abdani, orientasi kehidupan masyarakat Banjar Kalsel umumnya adalah ekonomi atau uang. Mereka ingin mendapatkan banyak uang dengan kerja yang relatif tidak berat. Karena itulah, banyak dari mereka yang memilih berdagang. Tidak sedikit pula yang menjadi tukang parkir atau preman kampung. ”Karena tuntutan ekonomi, orang sering egois dan berbuat nekat,” ujarnya.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai, ada sejumlah faktor yang mendorong mudahnya terjadi pembunuhan, yakni faktor psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya.
Faktor ekonomi sering kali menjadi pemicu kejahatan, di mana masalah utang atau kebutuhan finansial dapat membuat seseorang gelap mata. Bahkan, jumlah uang yang kecil saja dapat menyebabkan konflik yang berujung pada pembunuhan.
Baca juga: Tiga Jam Paling Berbahaya dalam Sehari
Faktor psikologis melibatkan kondisi mental dan kepribadian pelaku yang mudah terpancing emosi dan tidak dapat berpikir rasional. Sementara faktor sosial berhubungan dengan interaksi dan sosialisasi pelaku dengan lingkungan sekitar. Kurangnya kemampuan bersosialisasi dapat memicu tindakan kriminal.
Faktor budaya juga memainkan peran penting, seperti latar belakang etnis dan budaya yang terbiasa dengan kekerasan. Budaya yang menoleransi kekerasan dapat memperkuat kecenderungan individu melakukan tindakan kriminal. ”Ada etnis yang terbiasa dengan kekerasan. Ini berpengaruh pada kecenderungan individu,” kata Rakhmat. (EKI/SPW/RSW/NSA/JUM)