Alarm Kecurangan dari Kasus Pengalihan Suara di Samarinda
(Tulisan 15 dari 16) Penyelenggara pemilu tingkat kecamatan di Samarinda divonis penjara akibat mengalihkan suara caleg.
Oleh
JOG/FRD/VAN/ILO
·4 menit baca
SAMARINDA, KOMPAS — Tindak pidana kecurangan pemilu tetap berpeluang kuat terjadi setelah pencoblosan. Salah satunya adalah manipulasi hasil rekapitulasi suara, seperti yang pernah terjadi di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, pada Pemilu 2019. Hal ini menjadi alarm bagi badan pengawas pemilu agar kecurangan serupa tidak terulang.
Pada 2019 di Samarinda terjadi pengalihan suara calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda dari salah satu partai dalam tahap rekapitulasi di Kecamatan Loa Janan Ilir. Kasus ini berakhir di persidangan dengan menyeret para penyelenggara tingkat kecamatan sebagai terpidana.
Pada 1 Juli 2019, majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda yang diketuai Lucius Sunarno menjatuhkan hukuman penjara 8 bulan kepada DN sebagai Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Loa Janan Ilir. Hakim memberikan hukuman penjara 6 bulan kepada empat anggota PPK lain.
Hakim menyatakan kelimanya terbukti bersalah turut serta melakukan secara sengaja mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara. Itu sesuai dengan Pasal 551 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Bab XVI Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
”Kami diingatkan oleh KPU Provinsi (Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Timur) agar jangan terjadi lagi peristiwa tahun 2019,” ucap Ketua KPU Kota Samarinda Firman Hidayat, saat menceritakan kembali pidana penggeseran suara tersebut, Minggu (24/12/2023), di Samarinda.
Dokumen putusan PN Samarinda menunjukkan, ruang untuk utak-atik suara tercipta ketika PPK Loa Janan Ilir menunda penandatanganan sertifikat rekapitulasi untuk tingkat DPRD Kota Samarinda.
Rekapitulasi tingkat kecamatan selesai pada 30 April 2019 malam, kemudian PPK meminta kesepakatan saksi partai politik untuk menandatangani dokumennya pada 1 Mei 2019. Dokumen bernama sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara calon anggota DPRD kabupaten/kota, atau formulir model DA-1 DPRD kabupaten/kota.
Kronologi
Alur perubahan suara juga dijabarkan di putusan. Rekapitulasi di tingkat kecamatan diawali dengan rekapitulasi pada tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS) di lima kelurahan, yaitu Harapan Baru, Tani Aman, Rapak Dalam, Sengkotek, dan Simpang Tiga.
Kami dari KPU tentu tidak akan ikut campur dalam hal pembelaan-pembelaan hukum, karena itu perilaku pribadi dan keuntungan pribadi.
Semua kotak suara dari lima kelurahan masuk ke Kecamatan Loa Janan Ilir pada 18 April, lalu dibuka pada 20 April. Rekapitulasinya dituangkan pada formulir model DAA1-DPRD kab/kota plano dan formulir model DAA1-DPRD kab/kota atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara setiap TPS dalam wilayah kelurahan. Rapat pleno hasil rekapitulasi di setiap kelurahan untuk penerbitan DAA-1 selesai 25 April.
DN dan anggota PPK lainnya lantas menggelar rapat pleno rekapitulasi tingkat kecamatan pada 30 April di aula kantor kecamatan yang dihadiri para saksi parpol. Mereka membacakan rekap berdasarkan formulir model DAA-1 dan menuliskannya di plano (kertas besar).
Seharusnya, data dimasukkan ke komputer lalu dicetak menjadi dokumen formulir model DA-1. Namun, karena rapat pleno berjalan hingga malam, DA-1 belum dicetak. PPK pun sepakat dengan saksi parpol untuk baru menandatangani DA-1 pada 1 Mei.
Rupanya, jumlah suara sejumlah caleg DPRD Samarinda dari satu partai di Kecamatan Loa Janan Ilir berbeda antara versi DAA-1 dan DA-1. Pergeseran suara membuat caleg nomor urut dua, IT, mendapat tambahan 704 suara dari 1.338 menjadi 2.042 suara di Loa Janan Ilir.
Saksi caleg yang suaranya berkurang hingga 403 suara memergoki perubahan itu dan protes pada 1 Mei. Praktik penggeseran suara pun terbongkar hingga akhirnya membuat kelima anggota PPK Loa Janan Ilir dibui. Semua mengaku bersalah kecuali DN, Ketua PPK.
Dikonfirmasi pada Desember 2023, DN tetap pada pendiriannya bahwa dirinya tidak bersalah. Tidak ada penggeseran suara, tetapi faktor kesalahan manusia pada anggota PPK.
Waktu rapat pleno di tingkat kota, dokumen yang dibutuhkan tidak ada. ”Dibawa sama anggota (PKK), dikira arsip. Akhirnya malam itu ngambil ke rumahnya,” ucap DN.
Saat ada protes, lanjut DN, dirinya mengklaim bersedia untuk memperbaiki. ”Di mana ada kesalahan, saya perbaiki. Kalau saya tidak perbaiki, berarti saya jahat,” katanya.
Selain itu, tidak adanya caleg yang melanjutkan proses ke Mahkamah Konstitusi bagi DN membuktikan dirinya tidak punya niat curang.
Adapun caleg IT terkesan diuntungkan dengan perubahan suara di Loa Janan Ilir 2019. Sebab, jika tidak dilaporkan, pergeseran suara berpeluang membuat IT mendapat jatah kursi DPRD Samarinda. Saat tim Kompas menanyakannya, ia pun mengaku heran terkait kejadian itu hingga kini hampir lima tahun berselang.
IT menyatakan tidak paham bagaimana metode penggeseran suara untuk menggelembungkan suara caleg tertentu. Ia pun tidak mengenal para anggota PPK yang dipidana. ”Dan saya satu rupiah pun enggak keluar biaya, enggak keluar uang (untuk mengubah suara),” ujarnya.
Merujuk kasus pidana 2019 itu, Firman mengingatkan seluruh PPK di tingkat kecamatan, panitia pemungutan suara (PPS) di level kelurahan, serta kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di setiap tempat pemungutan suara (TPS) untuk tidak tergiur terlibat kecurangan pemilu.
”Kami dari KPU tentu tidak akan ikut campur dalam hal pembelaan-pembelaan hukum, karena itu perilaku pribadi dan keuntungan pribadi, ujarnya.
Kasus di Loa Janan Ilir tersebut terus digaungkan untuk jadi pembelajaran bagi para penyelenggara Pemilu 2024 di Samarinda, bahwa vonis penjara terbukti bisa dijatuhkan jika mereka melanggar hukum saat bertugas.