Struktur ekonomi Indonesia belum banyak mengimplementasikan teknologi dalam operasional sehari-hari dan justru mengandalkan buruh murah. Hal ini membuat penggunaan AI mungkin belum begitu menarik di Indonesia
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara dengan ongkos tenaga kerja rendah cenderung mengalami disrupsi kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) yang juga rendah. Namun di sisi lain, hal ini juga berarti, negara-negara dengan ongkos tenaga kerja relatif rendah, seperti Indonesia, belum dapat menikmati manfaat AI secara maksimal.
Analisis Kompas mengombinasikan tingkat penghasilan rata-rata di berbagai negara dan kerentanan mereka terhadap disrupsi yang disebabkan oleh kecerdasan buatan (AI). Pada negara dengan tenaga kerja yang lebih murah, AI cenderung tidak bisa diimplementasikan dengan luas.
Dua data yang digunakan adalah persentase tingkat disrupsi AI di sejumlah negara menurut penelitian dari bank investasi Goldman Sachs berjudul “The Potentially Large Effects of Artificial Intelligence on Economic Growth” yang dipublikasikan pada akhir Maret 2023 lalu, dan data rata-rata besar penghasilan per bulan dari Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO).
Dua data ini diketahui memiliki korelasi yang tergolong kuat dengan nilai koefisien sebesar 0,67. Dengan kata lain, koefisien semakin tinggi rata-rata penghasilan warga suatu negara, semakin besar potensi kerentanan mereka terhadap disrupsi oleh AI.
Misalnya, India dan Kenya, yang memiliki rata-rata penghasilan per kapita di bawah 2 dollar AS (sekitar Rp 30.000) per hari, memiliki tingkat kerentanan terhadap AI masing-masing sebesar 12 persen dan 13 persen. Sebaliknya, Amerika Serikat, Inggris, dan Swedia, yang memiliki pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi, memiliki tingkat kerentanan terhadap AI di kisaran 25 persen.
Kepala Center of Digital Economy and SMEs dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbini menilai, temuan Kompas menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia belum banyak mengimplementasikan teknologi dalam operasional sehari-hari dan justru mengandalkan buruh murah. Hal ini membuat penggunaan AI mungkin belum begitu menarik di Indonesia.
“Mengapa kita harus pakai AI kalau ternyata buruh tergolong murah? Mungkin seperti itu,” kata Eisha saat dihubungi Rabu (21/6/2023) dari Jakarta.
Negara dengan ongkos tenaga kerja rendah cenderung mengalami disrupsi kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) yang juga rendah
Di sisi lain, temuan ini juga menggarisbawahi perbedaan struktur ketenagakerjaan setiap negara. Indonesia, bersama dengan negara-negara dengan ongkos buruh murah menunjukkan bahwa struktur tenaga kerjanya didominasi pekerja lapangan usaha yang tidak berpenghasilan tinggi.
Eisha mengatakan, negara dengan ongkos buruh yang tinggi kebanyakan memiliki pekerja di sektor yang juga berpenghasilan tinggi, seperti information, technology, and communication atau ICT. Sektor industri seperti ICT juga yang memiliki potensi untuk segera memanfaatkan AI secara luas.
“AI ini pasti lebih memengaruhi sektor seperti ICT yang memang secara upah dan nilai penghargaannya lebih tinggi. Nah tetapi pengaruh AI ini tentu ada positif dan negatifnya,” kata Eisha.
Namun, menurut Eisha temuan ini bukan berarti negara dengan pendapatan rendah, aman dari disrupsi teknologi. Indonesia juga mungkin menghadapi risiko lebih besar dalam jangka panjang jika tidak berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk pekerjaan masa depan. Karena AI adalah perubahan yang tidak bisa dihindari.
Dengan demikian, kata Eisha, penting mempersiapkan masyarakat untuk dunia kerja masa depan. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan, dan menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan adopsi teknologi baru, akan sangat penting untuk memastikan bahwa tenaga kerja siap menghadapi masa depan yang semakin digital.
“Mau tidak mau, kita harus beradaptasi. Harus siap. Tantangan Indonesia ke depan ini adalah kita kelak akan pindah pakai AI. Jadi, bagaimana kita bisa meningkatkan skill tenaga kerja kita dan secara bertahap bertransisi ke sektor jasa. Ini artinya kita harus tingkatkan sistem pendidikan generasi muda ini,” kata Eisha.
Penulis filsafat Martin Suryajaya mengatakan, kehadiran AI memang memberikan dilema khususnya terkait upah pekerja. Ia berpendapat negara dengan upah rendah biasanya tidak memiliki insentif untuk AI. Sebab dengan upah buruh yang rendah pun proses produksi masih tetap bisa berjalan.
Oleh karena itu, di masa transisi saat ini, regulasi menjadi kunci guna melindungi pekerja dari perubahan struktur ekonomi yang mulai terjadi akibat AI. Ia berharap penyusunan regulasi mulai dipikirkan oleh pemerintah. “Penggunaan AI kalau sifatnya berkaitan dengan industri perlu ada regulasi dengan pertimbangan melindungi tenaga kerja,” ujarnya.
Martin juga berpendapat, sebagian AI yang berkembang saat ini dinilai sebagai suatu solusi untuk masalah yang sebenarnya tidak ada.
Sebagai contoh di bidang seni, kegiatan menggambar yang biasa dilakukan manusia dan tidak ada masalah, namun kemudian muncul AI dengan sistem otomatisasinya. Beda halnya dengan pemrosesan data yang selama ini tidak dapat dikerjakan manusia karena keterbatasannya, kemudian ada AI sebagai solusi.