Sebagian penyalur resmi pupuk bersubsidi ternyata malah memberatkan petani. Mereka menjual pupuk dengan bebas tanpa mengacu pada rencana definitif kebutuhan kelompok atau RDKK tani.
Oleh
ANDY RIZA HIDAYAT,DHANANG DAVID,IRENE SARWINDANINGRUM,INSAN ALFAJRI,RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
TUBAN, KOMPAS - Penyalur resmi diduga kuat menabrak aturan penebusan pupuk bersubsidi yang merugikan petani. Tidak hanya menjual pupuk di atas harga eceran tertinggi (HET), mereka juga membebaskan penebusan pupuk oleh siapa saja tanpa menggunakan KTP ataupun kartu tani.
Praktik ini melanggar Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021. Pupuk bersubsidi hanya boleh dijual kepada petani yang terdaftar di RDKK. Setiap tahun pemerintah menentukan alokasi pupuk subsidi setiap daerah, berdasarkan RDKK yang disusun kelompok tani dan penyuluh pertanian lapangan (PPL) serta disahkan pemerintah.
Di lapangan, aturan ini ditabrak oleh pihak yang seharusnya menjadi penjual resmi pupuk subsidi. Di Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Mansur, seorang penjaga kios resmi pupuk subsidi, Kios Ajiy Jaya, menyanggupi penjualan NPK Phonska satu karung (50 kg) dengan harga Rp 250.000. Harga ini jauh di atas HET (Rp 115.000) per zak kemasan 50 kg sesuai Permentan No 49/2020. Mansur juga tidak meminta syarat kartu tani, KTP, ataupun syarat-syarat lain.
Petani setempat membeli pupuk subsidi jenis Urea dan NPK Phonska di atas HET berkisar Rp 150.000-Rp 250.000. Untuk bisa membeli pupuk subsidi dengan harga tersebut, petani pun dibebani produk paketan berupa pestisida dan pupuk jenis lain, yang harus dibeli seharga Rp 100.000-an.
Khoirul Amin (30), petani di Desa Jengkok, membeli pupuk Urea bersubsidi dua zak seharga Rp 300.000. ”Ketika menebus pupuk pakai paketan, saya enggak pakai data. Saya datang, bawa uang, dan pulang. Saya juga tidak tahu berapa jatah saya di RDKK,” kata Khoirul, Kamis (20/1/2022).
Pemilik Kios Ajiy Jaya, Juhadi, menolak memberi penjelasan terkait penjualan pupuk subsidi di atas HET. ”Mohon maaf untuk saat ini saya sedang sibuk mengurus sawah saya yang kebanjiran. Saya juga sedang kekurangan orang untuk menggarap sawah, jadi belum bisa diwawancara,” katanya.
Keberatan
Atas masalah ini, petani berkeluh kesah dan mengadukan diam-diam kepada PPL. Kios resmi yang menjual pupuk subsidi di atas HET dianggap melanggar aturan. ”Petani sangat keberatan, pengecer jelas-jelas melanggar aturan pemerintah,” kata PPL Kecamatan Kertasemaya dengan nama samaran Dani.
Sebagai pendamping petani, mereka berharap Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) ikut membantu petani. Sebab, KP3 yang terdiri dari beberapa unsur lembaga pemerintah memiliki kewenangan menindak pelanggaran penebusan pupuk bersubsidi.
Terkait dengan penindakan terhadap kios-kios resmi yang menjual pupuk subsidi di atas HET di Jawa Barat, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Ibrahim Tompo akan mencari tahu lebih lanjut tentang persoalan itu. ”Nanti kami perjelas dahulu. Kami konfirmasi nanti setelah ada hasilnya,” ujarnya.
Bukan hanya di Indramayu, penjualan pupuk subsidi di atas HET juga terjadi di Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kompas sempat bekerja sama dengan petani setempat untuk membuktikan praktik yang melanggar ketentuan itu. Petani dari desa lain bisa membeli pupuk subsidi tanpa harus menunjukkan Kartu Tani.
Salah satu penyalur resmi yang menjual pupuk subsidi di atas HET ada di Kecamatan Grabagan. Di kios ini, pupuk subsidi jenis NPK Phonska dijual Rp 190.000 per karung (50 kg) dan Urea seharga Rp 200.000 per karung (50 kg). Sementara dalam Permentan No 49/2020, HET pupuk Urea subsidi hanya Rp 112.500 per karung (50 kg). Pengelola kios menyimpan pupuk di salah satu ruang di rumahnya. ”Silakan ambil sendiri, tadi pesanannya itu satu karung NPK Phonska dan Urea, ya,” kata Samsiati, penjaga kios.
Petani di Terkait dugaan penyelewengan penyaluran pupuk subsidi di Tuban, Grabagan rela membeli pupuk subsidi dengan harga mahal karena mereka tidak sanggup membeli pupuk nonsubsidi. ”Kalau beli pupuk NPK nonsubsidi per karung (25 kg), harganya bisa sekitar Rp 250.000. Kalau beli 50 kg, jadi sekitar Rp 500.000. Selisih harganya sangat jauh dengan pupuk subsidi. Ongkos produksi pun jadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual padi,” ujar salah satu petani di Grabagan, Qayim.
Minim pengawasan
Maraknya penjualan pupuk subsidi di atas HET oleh kios-kios resmi disebabkan kurangnya pengawasan dari KP3 di tiap daerah. Selain itu, tidak ada sanksi tegas bagi para pengelola kios yang menjual pupuk subsidi di atas HET.
Sesuai Pasal 29 Ayat 3 Peraturan Menteri Perdagangan No.15/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi, setiap kios resmi yang melakukan pelanggaran dengan menjual pupuk di atas HET harus dicabut izin usahanya.
Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jatim, Adi Mawardi, pupuk bersubsidi menyisakan banyak masalah karena pengawasannya sangat longgar. Ini lantaran KP3 pun belum bekerja efektif. ”Selama ini kami tidak pernah tahu hasil pengawasan mereka seperti apa,” katanya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tuban Ajun Komisaris M Adhi Makayasa menuturkan, telah menindak kasus penyelewengan pupuk bersubsidi di wilayahnya. ”Tahun 2021 kami menindak pelaku pelanggaran peredaran pupuk bersubsidi. Kami akan intens untuk mengecek distributor dan juga kios yang ada di Tuban. Bagi masyarakat yang mengetahui adanya penyalahgunaan pupuk bersubsidi, silakan laporkan ke Satreskrim Polres Tuban,” ujarnya, Selasa (25/1).
Sementara hingga Rabu (26/1), Kabid Humas Polda Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko belum menjawab pertanyaan soal penyelewengan pupuk subsidi di Jatim.