”Thrifting”, antara Kesadaran Lingkungan dan Tekanan Kantong Gen Z
Semakin tua semakin tidak suka ”thrifting”. Ada alasan ekonomi dan lingkungan di balik pembelian baju bekas oleh gen Z.
Dari Jepang sampai ke Amerika Serikat, pasar busana dan aksesori bekas terus naik. Raksasa busana seperti Zara dan H&M pun tergiur ikut bermain. Pola konsumsi generasi Z menjadi pendorong tren yang kini disebut thrifting tersebut.
Dilaporkan Reuters, Kamis (12/9/2024), Zara mengumumkan akan lebih serius masuk ke pasar busana bekas. Laman penjualan barang bekas Zara direncanakan mulai melayani konsumen Amerika Serikat pada akhir Oktober 2024.
Baca juga: Tren Menukar Pakaian di Singapura, Tetap Keren Memakai Baju Bekas
Sebelum ini, laman itu melayani konsumen di 16 negara lain. Di Inggris, laman itu beroperasi sejak November 2022. Induk Zara, Inditex, menargetkan laman itu melayani konsumen di semua pasar strategis pada tahun depan.
CEO Inditex Oscar Garcia Maceiras mengatakan, toko daring Zara dikunjungi 22 juta orang per hari. Walakin, tidak diungkap berapa banyak yang membeli barang bekas dari laman itu.
Pesaing Zara, H&M, tidak menyediakan laman sendiri. Produk bekas H&M itu bisa dibeli di AS lewat ThredUp, salah satu raksasa di pasar busana bekas.
Baca juga: Belanja Barang Mewah demi Merasa Dekat ke Idola
Di pasar Inggris, ThredUp menaksir nilai penjualan pakaian bekas akan mencapai 3,5 miliar dollar AS pada 2027. Secara global, nilainya ditaksir akan menembus lebih dari 200 miliar dollar AS pada 2027.
Data lembaga riset dan data Statista menunjukkan, nilai pasar pakaian bekas secara global diperkirakan mencapai 197 miliar dollar AS pada 2023. Dari pertumbuhannya yang tinggi dari tahun ke tahun, nilai pasar itu diproyeksikan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang, dengan peningkatan nilai sekitar 100 miliar dollar AS pada tahun 2026.
Besarnya pasar baju bekas memang menarik banyak pemain. BBC menulis, banyak pedagang busana bekas semakin kesulitan. Pada 2022, Vinted mencatatkan kerugian 47,1 juta dollar AS.
Sementara Depop merugi 69 juta dollar AS pada 2023. Padahal, Depop mencatat hingga 464.000 unduhan pada Desember 2023. Sellpy, lokapasar barang bekas dari Swedia, ternyata tidak sepenuhnya sukses karena baju bekas. Laman itu ditopang penjualan baru dari H&M.
Ekonom pada Rotterdam School of Management, Thomas Bauwens, mengatakan, semakin sulit menjaga keberlanjutan bisnis barang bekas. Pertama, biaya pemrosesan busana berkas berkualitas ternyata lebih mahal dari membeli barang baru. Kedua, barang bekas berkualitas sedikit.
Baca juga: Memberontak lewat Gaya ”Compang-camping” ke Kantor
Di sejumlah negara, seiring pedagang yang semakin banyak, semakin sulit menemukan busana bekas berkualitas. Untuk busana berkualitas rendah, terpaksa dijual rugi.
Toko bekas
Pemain di perdagangan busana bekas memang banyak. Di Jepang, terdapat hampir 500.000 toko khusus barang bekas. Sebagian toko itu dikelola BookOff Bazaar.
Meski ada kata buku di jenamanya, BookOff tidak cuma menjual buku. Busana bekas sampai mainan dan gelas sloki juga dijual di berbagai toko BookOff.
Sebagian toko menyediakan layanan pembelian barang bekas. Sebagian lagi hanya menyediakan penjualan. Harganya tentu saja lebih murah dari barang baru.
Mengutip data ThredUp, BBC melaporkan 67 persen generasi Z dan milenial Inggris membeli baju bekas. Di kalangan gen Z, 40 persen isi lemari bajunya merupakan barang bekas.
Baca juga: Dari Mana Produkmu Berasal?
Hingga 62 persen pembeli baju bekas di Inggris berbelanja melalui toko daring. Sekitar 20 persen pembelian berupa tas. Hanya 15 persen membeli 15 sepatu.
Sementara riset oleh Garson&Shaw menemukan, 78 persen warga AS telah dan masih membeli baju bekas. Khusus gen Z, jumlahnya mencapai 90 persen. Adapun di kalangan milenial, porsinya 85 persen. Generasi yang lebih tua, gen X dan baby boomers, masing-masing hanya 77 persen dan 66 persen.
Data di AS dan Inggris menunjukkan, orang tua kurang berminat membeli baju bekas. Sementara orang-orang lebih muda cenderung membeli barang bekas karena beragam alasan.
Ekonomi dan lingkungan
Jajak pendapat Garson&Shaw menemukan, hanya 28 persen warga AS membeli baju bekas karena alasan lingkungan. Sementara 58 persen lain karena alasan mau berhemat.
Baca juga: Nasib Pemuda Global, dari Stres hingga "Madesu"
Ada juga yang karena mau mendorong ekonomi lokal. Hal ini berlaku bagi orang-orang yang membeli barang bekas dari pasar di sekitar lingkungannya.
Dibandingkan generasi sebelumnya, gen Z kerap merasa paling sulit secara ekonomi. Kombinasi upah rendah dan inflasi tinggi membuat gen Z amat sensitif pada harga.
Data Statista menunjukkan, generasi muda yang didominasi gen Z menggemari pakaian bekas karena ramah kantong dan ramah lingkungan. Dalam survei tahun 2023, konsumen Eropa mengungkapkan motivasi utama untuk membeli pakaian bekas adalah karena lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Harga pakaian bekas yang lebih murah juga membuat pakaian yang sebelumnya terlalu mahal menjadi bisa dibeli. Hal ini menyebabkan pasar barang mewah bekas tumbuh dengan pesat.
Dengan tren pakaian bekas, produksi pakaian baru bisa diperlambat dan pakaian lama tidak perlu dibuang sehingga mengurangi jumlah sampah pakaian.
Baca juga: Baju Rasa Baru Lungsuran Mama
Dalam berbagai penelitian, konsumen generasi Z mempunyai karakter kesadaran lingkungan dan kepekaan sosial yang sangat tinggi. Hal ini membuat mereka menjadi konsumen yang lebih kritis dari generasi sebelumnya, termasuk memperhitungkan dampak lingkungan dan dampak sosial dari barang-barang yang mereka beli.
Riset Garson&Shaw menemukan, setiap warga AS rata-rata memiliki 6,2 potong baju yang tak pernah dipakai. Jika dijual di pasar barang bekas, baju-baju itu bisa mengurangi setidaknya 255.747 ton sampah. Selain itu, bisa dicegah juga pembakaran 458.307 ton sampah.
Hal itu juga bisa menghemat air dalam jumlah amat banyak. Jumlah airnya cukup untuk mengisi 3 juta kolam renang standar Olimpiade.
CEO Vestiaire Collective Samina Virk menyebut, membeli baju bekas berarti memperpanjang usia pakai pakaian. Rata-rata hingga 2,2 tahun. ”Dengan tren pakaian bekas, produksi pakaian baru bisa diperlambat dan pakaian lama tidak perlu dibuang sehingga mengurangi jumlah sampah pakaian,” katanya, seperti dikutip BBC, 12 September 2024.
Isu lingkungan
Dari sisi pelestarian alam, strategi berjualan pakaian bekas dinilai juga memberi citra positif bagi raksasa industri pakaian jadi. Selama ini, industri itu sering dituduh berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Sebab, industri itu menyebabkan sampah dan merusak hutan karena kebutuhan bahan bakunya yang besar.
Raksasa mode cepat H&M dan Zara, misalnya, sempat dikaitkan dengan penggunaan kapas dari pertanian yang berkontribusi pada penggundulan hutan di Brasil. Laporan itu diterbitkan kelompok lingkungan Earthsight pada April 2024 dengan judul ”Kejahatan Mode”.
Laporan itu mengungkap, perusahaan-perusahaan pakaian terbesar di dunia tersebut menggunakan kapas yang ditanam di sabana Cerrado. Kapas itu ditanam dua perusahaan agrobisnis terbesar di Brasil, yaitu SLC Agricola dan Horita Group. Temuan ini didasarkan atas citra satelit, putusan pengadilan, catatan pengiriman, dan investigasi rahasia.
Sabana Cerrado merupakan salah satu bentang alam yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Bumi. Namun, lingkungan itu semakin rusak oleh maraknya industri agribisnis besar di Brasil yang semakin merambah kawasan itu.
Baca juga: Industri Busana Global Terancam Perang Dagang AS-China
Laporan itu menuduh adanya penyalahgunaan lingkungan dalam penanaman kapas meskipun kapas tersebut telah diberi label etis oleh lembaga sertifikasi Better Cotton.
Kelompok Earthsight yang berbasis di Inggris itu melacak setidaknya 816.000 ton kapas yang diekspor dari Brasil selama periode 2014-2023 berasal dari pertanian yang dikelola oleh SLC dan Horita. Sebelumnya, SLC dan Horita telah dikaitkan dengan pembukaan lahan sekitar 100.000 hektar di wilayah Cerrado.
Laporan itu mengatakan, kapas yang dimaksud ditanam di Negara Bagian Bahia di timur laut dan dikirim ke delapan produsen pakaian Asia, di antaranya H&M yang berbasis di Swedia dan Zara yang berbasis di Spanyol.
Terkait laporan itu, Better Cotton menyatakan telah melakukan audit independen terkait tuduhan tersebut. Lembaga sertifikasi itu menyebutnya sebagai masalah yang sangat memprihatinkan. Inditex dan H&M mengatakan, mereka akan menangani tuduhan tersebut dengan serius. Mereka juga mendesak Better Cotton untuk merilis temuan auditor.
Toko Zara di New Jersey, Amerika Serikat, Desember 2022.
Sementara itu, Asosiasi Produsen Kapas Brasil (Abrapa) menyangkal tuduhan dalam laporan itu. Mereka mengatakan telah bekerja sama dengan para petani kapas di Cerrado untuk menyusun catatan dan bukti yang membantah tuduhan dalam laporan tersebut. Sayangnya, sebagian besar bukti yang menyangkal laporan itu diabaikan.
”Abrapa dengan tegas mengecam segala praktik yang merusak pelestarian lingkungan, melanggar hak asasi manusia, atau merugikan masyarakat setempat,” demikian pernyataan Abrapa. (REUTERS/AP)