Proteksionisme Trump Membuka Perang Dagang Baru
Proteksionisme hanya menguntungkan manajemen dan pemilik pabrik. Konsumen dan pekerja kelas menengah bawah rugi.
Seharusnya Mark Monroe (53) pensiun dari pabrik General Motors di Lansing, Michigan, Amerika Serikat, beberapa tahun lagi. Persaingan produsen otomotif, baik di AS maupun dengan pabrikan luar negeri, terancam membuat Monroe pensiun lebih cepat.
Pabrikan-pabrikan AS bersaing sesama mereka. Di luar negeri ada persaingan dari pabrikan Eropa dan Asia. Secara khusus, ada kekhawatiran serius dari pabrikan-pabrikan China. Produsen China membanjiri pasar global dengan mobil listrik yang harganya lebih murah dari mobil buatan AS-Eropa.
Baca juga: China yang Makin Menakutkan AS
Memang, kini ada harapan baru bagi Monroe dan koleganya sesama buruh pabrik mobil AS. Presiden AS Joe Biden mengumumkan subsidi besar-besaran untuk industri otomotif AS. Subsidi diarahkan untuk pengembangan kendaraan listrik.
Kami akan membuat dunia menggunakan kendaraan listrik. Kami tahu ini adalah masa depan.
Monroe menyebut, subsidi menaikkan moral para pekerja. ”Kami gembira dengan produk apa pun yang memberi kami masa depan, apa pun jenis mesinnya,” kata Monroe.
Kegembiraan tak hanya bagi para pekerja. Wali Kota Lansing Andy Schor mengatakan, menjadi orang paling bahagia di Lansing kala kebijakan itu dikeluarkan. Ia berbahagia bersama puluhan ribu pekerja otomotif AS.
”Kami membuat dunia menggunakan mobil. Sekarang, kami akan membuat dunia menggunakan kendaraan listrik. Kami tahu ini adalah masa depan,” katanya, seperti dikutip dari laman The Detroit News.
Baca juga: Produk Otomotif China Menantang Eropa
Subsidi dikucurkan beberapa bulan setelah salah satu serikat pekerja otomotif AS, UAW, mengumumkan dukungan kepada Biden. Kala itu, UAW mendukung Biden maju ke periode kedua. Meski Biden akhirnya mundur, UAW disebut terus mendukung Partai Demokrat.
Tidak baik
Industri otomotif AS sedang tidak baik-baik saja. Stellantis, yang anak usahanya termasuk Chrysler, terpukul setelah laba bersih semester I-2024 terpangkas. Mereka hanya mencatat llaba berkurang separuhnya menjadi hanya 5,6 miliar AS. Kondisi itu dibarengi turunnya penjualan sebesar 14 persen akibat merosotnya penjualan di Eropa dan Amerika Utara.
Pabrikan Jepang juga merasakan muramnya pasar otomotif AS. Nissan hanya mengumpulkan laba 996 juta yen pada triwulan II-2024. Nissan hanya menjual 800.000 unit secara global. CEO Nissan Makoto Uchida menyebut penurunan itu karena penjualan di AS terpuruk.
CEO Ford Motor Jim Farley menjelaskan kesuraman pasar otomotif AS. Daya beli konsumen turun dan banjir pasokan dari produsen negara lain jadi penyebabnya.
Baca juga: Transformasi Industri Otomotif China
Aliansi Perusahaan Manufaktur AS juga memperingatkan agar para pebisnis dan birokrat menyalakan alarm bahaya. Mereka menilai, jika kendaraan China bisa menembus pasar AS, industri otomotif AS bisa punah.
BYD, salah satu produsen mobil listrik China, telah membangun fasilitas produksinya di Meksiko, yang tergabung dalam area perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Dengan fasilitas NAFTA, BYD diperkirakan tidak sulit menembus pasar AS.
Bos Tesla, Elon Musk, menyatakan bahwa dengan produk bagus dan kompetitif, perusahaan otomotif China akan berhasil menguasai pasar global. ”Sejujurnya, menurut saya, jika hambatan perdagangan tidak ditetapkan, mereka akan menghancurkan sebagian besar perusahaan lain di dunia. Mereka sangat bagus,” kata Musk.
Pemerintahan Biden memang berusaha menghambat produk China. Salah satunya dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen bagi mobil listrik China. Sayangnya, tetap saja kebijakan itu diragukan bisa mencegah China masuk pasar AS.
Baca juga: Daihatsu hingga Volkswagen dalam Daftar Skandal Otomotif Global
Direktur Pelaksana AlixPartners Alexandre Marian mengatakan, jika produsen China sudah bertekad menaklukkan pasar tertentu, mereka akan bisa mencapainya. ”Mereka selalu menemukan cara untuk mengatasi masalah. Setelah menetapkan target, mereka menemukan cara untuk mencapainya,” ujarnya sebagaimana dikutip Bloomberg.
Pengajar bisnis pada John Hopkins University, Tinglon Dai, menyebut produsen China mendominasi pasar global karena produknya berkualitas tinggi dan harganya sangat terjangkau. ”Belum lagi dengan variasinya. Ini salah satu peluang yang luar biasa bagi China untuk mendominasi. Dan, (mobil listrik) itu juga sejalan dengan tujuan lingkungan yang luas di Barat,” kata Lai, dikutip dari laman media Inggris, The Guardian.
Perang dagang
Dai menilai, gencarnya mobil listrik China unjuk gigi di berbagai belahan dunia tidak semata-mata untuk ekonomi atau iklim. ”Ini lebih merupakan langkah geopolitik. Cara mencapai puncak rantai makanan dalam industri kelas atas dan berstatus tinggi,” kata Dai.
Menghadapi itu, semua kekuatan politik AS sama sikapnya. Donald Trump telah menyatakan akan lebih keras pada impor produk China. Salah satunya menaikkan tarif bea masuk menjadi 200 persen bagi mobil listrik buatan China.
Jika dibuat di luar China, tarifnya menjadi 50 persen saja. Dengan demikian, mobil buatan China di Meksiko akan kena ketentuan itu juga. Trump tidak mau tahu Meksiko dan AS terikat perjanjian perdagangan bebas.
Baca juga: Produsen Barat Eksodus, China Kuasai Pasar Otomotif Rusia
Untuk produk selain mobil listrik, tarifnya 60 persen. Sementara berbagai komoditas dari luar China akan dikenai bea masuk minimal 10 persen. Nilai impornya 3 triliun dollar AS.
Ia juga menyatakan akan menghapuskan subsidi pembelian mobil listrik. Dananya akan dipakai untuk mendanai proyek infrastruktur. Proyek-proyek itu dinyatakan meningkatkan kehidupan pekerja.
Tentu saja kebijakan itu tidak bagus bagi AS. Dalam kajian pada Mei 2024, Peterson Institute for International Economics (PIIE) menaksir konsumen AS bisa dirugikan 500 miliar dollar AS per tahun jika Trump jadi menerapkan kebijakannya. Setiap rumah tangga menengah AS harus menanggung tambahan biaya 1.700 dollar AS per tahun kalau tarif BMI naik.
”Kebijakan ini lebih cenderung merugikan daripada membantu warga Amerika berpenghasilan rendah dan menengah,” kata penulis laporan itu, Kimberly Clausing dan Mary Lovely.
Baca juga: Perang Dagang di Depan Mata, China-UE Rundingkan Isu Tarif Mobil Listrik
Taksiran itu hanya hitungan moderat. Kerugian belum termasuk dampak pembalasan mitra dagang AS dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, produk AS bisa kehilangan daya saing.
Penulis laporan PIIE khawatir, dampak sebenarnya dari kenaikan BMI bisa lebih buruk. ”Ini adalah puncak gunung es,” kata Clausing, Ketua Jurusan Hukum dan Kebijakan Pajak Fakultas Hukum UCLA, dikutip dari laman CNN.
Dia mengingatkan, pembalasan tidak hanya akan datang dari China. Negara-negara sahabat AS juga akan ikut mengenakan BMI bagi impor dari AS. ”Tindakan pembalasan akan sangat besar. Orang Eropa akan mengenakan tarif kepada kita. Orang Meksiko dan Kanada akan sangat marah. Orang tidak akan tinggal diam,” kata Clausing.
Ekonom pada Moody’s, Mark Zandi, khawatir AS terjerembab dalam resesi jika pembalasan besar-besaran menimpa AS. Moody’s menaksir, 600.000 orang kehilangan pekerjaan jika kebijakan Trump diterapkan. PDB AS bisa merosot sampai 0,6 persen dan inflansi akan semakin buruk.
Baca juga: Perang Dagang oleh Trump-Biden Ikut Terbangkan Inflasi (2)
Dalam gambaran yang lebih besar, risiko perang dagang global yang lebih luas juga dapat memengaruhi hubungan internasional. PIIE menilai, ketegangan akibat perang dagang bisa berdampak pada urusan lain. Perundingan soal perubahan iklim, penanggulangan bencana, hingga nuklir bisa terhambat ketegangan akibat perang dagang.
Sentimen negatif di satu bidang akan menjalar menjadi permasalahan global dan berujung pada ketegangan-ketegangan baru di sektor lain. ”Singkatnya, kebijakan yang diusulkan disertai dengan risiko keamanan nasional yang serius,” demikian tercampur di laporan PIIE.
Presiden UAW Shawn Fain mengatakan, rencana kebijakan Trump membawa efek buruk tidak hanya bagi para pekerja otomotif. Khalayak juga bisa terdampak. Proteksionisme dalam perdagangan hanya menguntungkan manajer dan pemilik pabrik.
”Dia ingin menggemukkan kantong para eksekutif otomotif yang sangat kaya. Dia ingin memangkas tarif pajak perusahaan dari teman-teman golfnya. Dia ingin pekerja otomotif diam dan menerima sisa-sisa, bukan bangkit dan berjuang untuk mendapatkan lebih banyak,” ujar Fain.
Baca juga: ”Perang Dingin” AS-China Mentalkan Pembahasan Utang Negara-negara Termiskin
Christopher S Tang, profesor bidang manajemen rantai pasok UCLA AS, dikutip dari laman Barrons, mengatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah AS, siapa pun yang memerintah nanti. Pertama, mengakui keunggulan industri otomotif China, khususnya mobil listrik dan teknologi yang melingkupinya.
Kedua, strategi pemberian subsidi oleh Pemerintah China pada industri otomotifnya bukanlah kebijakan dumping. AS dan berbagai negara menuding AS melakukan itu. Kebijakan subsidi menguntungkan pengusaha dan konsumen.
Ketiga, AS harus mengakui proteksionisme tidak akan berguna dan malah buruk bagi perekonomian AS. ”Proteksionisme melahirkan stagnasi, sementara inovasi tumbuh subur melalui kolaborasi. Sudah saatnya bagi AS untuk memilih jalan yang mengarah ke masa depan yang lebih cerah bagi bisnis dan rakyatnya. Jika Anda tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka,” katanya.
(AP)