Tak Habis Ide Generasi Z Memberontak Kultur Toksik Perusahaan
Rasa frustrasi milenial dan gen Z mendorong mereka lebih berani berserikat dan protes, dari yang nyeleneh sampai serius.
Bentuk pemberontakan generasi muda pada kerja kantoran seakan tiada habisnya. Dari bekerja apa adanya (quiet quitting), piknik rahasia (quiet vacationing), hingga sengaja berbusana berantakan (dress gross) ke kantor, bentuk pemberontakan mereka semakin nyeleneh.
Di balik segala pemberontakan itu terdapat rasa frustrasi generasi muda terhadap budaya kantoran. Faktor utamanya, hierarki atau hubungan atasan-bawahan yang kaku tak fleksibel, jam kerja yang panjang, dan budaya harus hadir.
Rasa frustrasi ini terutama dirasakan generasi z (gen Z) di Asia. Hal ini diungkapkan dalam survei terbaru Gallup, lembaga jajak pendapat di Amerika Serikat, yang dirilis April 2024. Kondisi ini membuat anak-anak muda di Asia sangat tidak puas dengan kehidupan mereka.
”Saya merasa lebih baik tidak bekerja daripada bekerja tapi tidak bahagia di pekerjaan,” kata Yaw (27), salah satu gen Z Malaysia, seperti dilaporkan situs berita Singapura, AsiaOne.
Yaw berhenti bekerja kantoran sejak empat tahun lalu. Ia memilih mengajar biola sekaligus mengejar gelar profesi hukum. Ia merasa perlu ada penyesuaian terhadap keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan yang ditawarkan oleh perusahaan.
”Beberapa dari kita memang berharap untuk mendapatkan pekerjaan dan mempelajari pengalaman baru, tetapi ada beberapa masalah di tempat kerja yang tidak ditanggapi serius oleh perusahaan sehingga membuat kita ingin berhenti dari pekerjaan tersebut,” katanya.
Baca juga: Piknik Rahasia
Bagi generasi X (gen X), apalagi Baby Boomer, sikap Yaw bisa jadi terdengar tak bertanggung jawab. Namun, ia tak sendirian dalam pemikirannya. Yaw merupakan cusper milenial-Gen Z (generasi MZz), yaitu generasi muda yang lahir pada masa transisi dari milennial ke gen Z.
Menurut survei Randstad tahun 2022, lebih dari setengah responden generasi milenial dan gen Z mengatakan mereka akan berhenti dari pekerjaan jika pekerjaan tersebut menghalangi mereka untuk menikmati hidup.
Semakin parah
Dalam survei global kesejahteraan karyawan Gallup tahun 2024, setiap tahun keterlibatan karyawan pada kantor terus menurun. Keterlibatan didefinisikan sebagai kontribusi dan antusiasme pada perusahaan. Tahun ini, angkanya mencapai titik terendah dalam 11 tahun.
Secara global, hanya 23 persen karyawan yang masih terlibat pada pekerjaan kantornya, 62 persen tidak terlibat, dan 15 persen bahkan sudah secara aktif tak mau terlibat (actively disengaged). Kondisi ini mengakibatkan kerugian perusahaan mencapai 8,9 triliun dollar AS secara global per tahun.
”Aku bisa saja memaksakannya, tapi aku sangat frustrasi dengan apa yang terjadi hari itu sehingga aku berpikir, aku tidak akan melakukan apa pun,” kata Steven, salah satu gen Z yang bekerja sebagai operator telepon di Kanada, seperti dimuat dalam laman Gallup.
Saya merasa lebih baik tidak bekerja daripada bekerja tapi tidak bahagia di pekerjaan.
Kondisi terparah ditemukan di Asia. Di kalangan pekerja berusia di bawah 35 tahun di Asia Timur, hanya 18 persen yang mengatakan bahwa mereka terlibat dalam pekerjaan.
Jumlah ini di bawah rata-rata global sebesar 23 persen. Jepang dan Hong Kong menduduki peringkat terbawah global dalam hal keterlibatan di semua kelompok umur.
Berontak
Beberapa pekerja menyatakan sudah merasa muak. Rasa frustrasi milenial dan gen Z di dunia kerja ini mendorong mereka lebih berani berserikat dan protes, dari yang nyeleneh sampai aktivisme serius.
Cara protes nyeleneh salah satunya seperti berpakaian berantakan ke kantor (dress gross to work) di China, seperti dilaporkan media CNN, The New York Times, hingga China Daily awal tahun ini. Di Barat ada bekerja apa adanya atau berhenti diam-diam (quiet quitting) yang mewabah di Eropa, AS, dan Asia Tenggara di akhir tahun 2022.
Di ranah serius, protes mereka juga bisa menjadi gerakan aktivisme yang mengancam produktivitas perusahaan. Ribuan dokter muda Korea Selatan, misalnya, gantung stetoskop pada Februari 2024. Mereka protes terhadap rencana pemerintah untuk menambah jumlah mahasiswa kedokteran.
Baca juga: Generasi Z Mendesak Perbaikan Kinerja Hukum dan Ekonomi
Pada 7 Juni 2024, para pekerja di Samsung Electronics, perusahaan publik terbesar di sana, mogok massal untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Dilaporkan media Inggris, The Economist, pejabat serikat pekerja menyarankan agar pemimpin perusahaan diganti para pekerja muda.
Penelitian Shin Min-ju dari Pukyong National University dan Jung Heung-jun dari Seoul National University of Science and Technology menunjukkan, generasi MZ lebih tertarik untuk bergabung dengan serikat pekerja dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Mereka juga lebih optimistis pada aktivisme buruh dapat memperbaiki kondisi kerja.
Di Jepang, para pekerja lebih tenang dan belum memunculkan tren ”pemberontakan”. Di China, tak ada protes terbuka karena ada hukuman penjara bagi pelaku aksi mogok kerja.
Namun, gen Z China menjadi sangat kreatif. Beragam protes aneh terhadap pekerjaan kantoran muncul di sana. Salah satunya gerakan rebahan (tang ping) yang dimulai 2021. Gerakan ini protes terhadap kultur kantoran yang membuat kerja lembur, sulit cuti, dan terus didorong kompetitif.
Baca juga: Generasi Pandemi Tak Mudah Masuk Dunia Kerja
Di akhir 2023, muncullah gerakan berbusana berantakan ke kantor yang menjadi tren di media sosial China. Seperti dilaporkan media China, China Daily, gerakan ini menyindir perusahaan yang mereka nilai tak menghargai karyawannya. Para pekerja muda mengenakan piyama, sandal rumah, hingga baju bergambar kartun buluk ke kantor.
Rasa putus asa ini juga mendorong hasrat pindah ke negara lain ini. Topik emigrasi ini menjadi bahasan rahasia di kalangan pekerja muda di China via media sosial. Dengan cerdik, topik ini disamarkan dengan kata ”Run” yang dalam bahasa Mandarin berarti ’menguntungkan’, tetapi dalam bahasa Inggris berarti ’lari’.
Demikian pula di Jepang, jumlah pekerja muda Jepang yang mengambil visa kerja-liburan di Australia mencapai rekor tertinggi. Mereka memilih memetik mentimun dan stroberi di Australia daripada mengejar karier di perkantoran di Tokyo.
Di Barat, pemberontakan karyawan gen Z ini mewujud dalam gerakan bekerja apa adanya, lalu sekarang muncul gerakan piknik rahasia (quiet vacationing), artinya mengaku bekerja padahal sebenarnya liburan.
Sikap perusahaan
Para pemimpin korporasi dan politik akhirnya mulai memperhatikan keresahan ini. Bulan lalu, Kepala hubungan masyarakat di Baidu, raksasa teknologi China, harus meminta maaf karena memerintahkan karyawannya bisa dihubungi 24 jam sehari. Dalam pernyataan maafnya, ia mengatakan, ”Saya bukan ibumu”.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol terpaksa membatalkan rencana untuk menaikkan jam kerja maksimum sepekan, dari 52 jam menjadi 69 jam. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong menjanjikan bentuk yang lebih menyenangkan bagi generasi muda mereka yang marah pada kapitalisme.
Namun, sejumlah perusahaan yang awalnya mengakomodasi para pekerja muda justru membalik kebijakan. Di Eropa, 5.000 karyawan perusahaan SAP menandatangani petisi internal pada Februari 2024. Mereka merasa dikhianati oleh perusahaan mereka.
Masalahnya, raksasa perangkat lunak asal Jerman itu mewajibkan seluruh karyawan bekerja di kantor atau bertemu pelanggan tiga hari dalam sepekan. Padahal, sebelumnya, perusahaan itu menjanjikan jam kerja yang fleksibel dan bisa dilakukan dari mana saja.
”Kami merasa dikhianati oleh perusahaan yang sebelumnya mendorong kami untuk bekerja dari rumah, tapi lalu melakukan perubahan radikal,” demikian isi pernyataan karyawan itu seperti dilaporkan Bloomberg News.
Lewat surat internal tersebut, 5.000 karyawan itu mengancam untuk mencari pekerjaan baru daripada dipaksa bekerja di kantor. (Reuters/AP/AFP)