Anak-anak Ibu Tunggal, Mereka yang Ditinggal oleh Jepang
Nasib sebagian anak Jepang memprihatinkan. Miskin karena diasuh oleh ibu tunggal.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Jepang adalah negara yang kaya. Akan tetapi, satu dari tujuh anak di sana hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang diasuh oleh ibu tunggal akibat perceraian.
Fenomena yang oleh masyarakat Jepang dianggap tabu itu diangkat Rionne McAvoy, seorang sutradara berkebangsaan Australia, melalui film berjudul The Ones Left Behind (Mereka yang Ditinggal). Film ini sejatinya sudah beredar sejak tahun 2023 dan sedang mengikuti Festival Film Internasional Yokohama.
”Para ibu tunggal dan anak-anak mereka benar-benar tidak terjamah kebijakan di Jepang. Film ini bagian dari menunjukkan kepada masyarakat luas, ada orang-orang yang memerlukan bantuan kita semua,” kata McAvoy, Selasa (23/1/2024).
Mayoritas ibu tunggal di Jepang adalah janda cerai dan disusul janda akibat kematian suami. Secara statistik, perempuan yang memiliki anak di luar pernikahan jarang. Kesamaan mereka semua ialah miskin.
McAvoy menunjukkan dalam filmnya bahwa penyebab kemiskinan ini ialah kebijakan Jepang yang kurang berpihak kepada perempuan. Sebagai masyarakat patriarkis, perusahaan-perusahaan Jepang mengutamakan menerima laki-laki sebagai pegawai. Kalaupun ada perempuan pegawai, gaji mereka di bawah laki-laki.
Memiliki anak berarti para ibu tunggal ini tidak bisa meniti karier sehingga hanya bisa bekerja paruh waktu dengan gaji yang jauh lebih kecil. Kalaupun bekerja sebagai pegawai tetap, waktunya habis sehingga tidak ada kesempatan untuk bersama dengan anak.
Di film itu ada satu perempuan yang bekerja mulai dari pukul 08.30 sampai 19.30, tetapi upahnya hanya 200.000 yen (Rp 21,3 juta) per bulan. Padahal, upah rata-rata di Jepang berdasarkan statistik negara tersebut ataupun lembaga-lembaga statistik independen adalah 515.000 yen per bulan. Praktis, ia kesulitan menafkahi diri dan anak.
Perbedaan kehidupan perempuan kepala keluarga di Jepang dengan di negara lain ialah nyaris tidak ada bantuan pemerintah ataupun organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan kebutuhan mereka.
”Budaya di sini sangat keras terhadap perempuan janda sehingga mereka takut, bahkan malu, untuk angkat bicara dan meminta pertolongan,” kata McAvoy.
Patriarkal
Undang-Undang Sipil Jepang disahkan pada tahun 1898 dan tidak pernah diubah walaupun sudah berumur 126 tahun. Aturan tersebut tidak mengenal kewajiban ayah membayar tunjangan anak setelah perceraian. Walhasil, perempuan bercerai harus menanggung semuanya.
Menurut Nippon.com edisi 27 Oktober 2022, baru di tahun itu masyarakat mulai mempermasalahkan aturan tersebut. Klausul yang baru dibuat menyebut bahwa bayi yang lahir 300 hari setelah orangtua bercerai oleh hukum dianggap sebagai anak dari mantan suami. Apabila lahir di atas 300 hari pascacerai suami dan istri, bayi itu dianggap anak istri dari laki-laki lain.
Berdasarkan statistik negara yang dikutip Nippon.com, pada tahun 2022 hanya 770.747 bayi yang lahir. Ini jumlah terendah sejak masa Perang Dunia II. Jumlah pernikahan ada 504.878 dan perceraian 179.096 pernikahan.
Jepang adalah anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi Dunia (OECD). Menurut lembaga itu, Jepang justru tertinggi dalam mempekerjakan ibu tunggal karena 85 persen dari mereka bekerja. Akan tetapi, angka ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan karena 56 persen ibu tunggal miskin. Bandingkan dengan di Amerika Serikat di mana angka kemiskinan ibu tunggal bekerja adalah 33,5 persen.
Jepang memang kaya dan modern, tetapi sekaligus sangat tertinggal dalam kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Di OECD, untuk kesetaraan jender, Jepang menduduki peringkat ke-121 dari 153 negara. Di sektor formal, perempuan digaji 23 persen lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Negara Asia Timur lain yang lebih buruk situasinya dari Jepang adalah Korea Selatan.
Mendiang Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengeluarkan program Womenonics, yakni meningkatkan keterlibatan perempuan dalam perekonomian. Harapannya, setelah menikah, perempuan tetap bisa kembali ke bursa tenaga kerja.
Namun, program ini tidak menyentuh akar permasalahan yang berupa pandangan diskriminatif jender di masyarakat Jepang. Sebanyak 56,4 persen perempuan bekerja di sektor paruh waktu dengan upahnya hanya 60 persen dari upah minimum pekerjaan tetap. Artinya, perempuan bekerja, tetapi tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan di masyarakat.
Berdasarkan survei Asosiasi Ibu Tunggal Jepang periode Oktober-November 2021, ada 1,23 juta rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan. Lebih dari setengah rumah tangga itu mengatakan bahwa pendapatan mereka hilang atau nyaris hilang selama pandemi Covid-19 karena pekerja paruh waktu adalah yang pertama dipecat.
Kunihisa Koyama, Direktur Kodomo Shokuda (Si Kecil), organisasi nirlaba yang memperjuangkan kesejahteraan anak-anak dari orangtua tunggal menjelaskan bahwa prosedur mendaftar untuk memperoleh bantuan sosial dari pemerintah sangat panjang dan berbelit-belit. Orangtua tunggal tidak punya waktu untuk mengurusnya selama berjam-jam di dinas kependudukan. Kodomo Shokuda membantu dengan mengunggah persyaratan dan angket bantuan sosial di laman mereka agar mudah diakses oleh para orangtua tunggal.
”Persoalannya, ibu-ibu tunggal di Jepang dianggap sebagai obyek belas kasihan. Masyarakat berpikir cukup diberi sumbangan, bukan sistem perekonomian kita yang dibenahi,” kata Koyama kepada Metropolis Japan edisi 28 September 2020. (AP)